Monday, June 27, 2005

Ketika Tahu Di Luaran Sana....

Membaca e-mail dari seorang teman membuat aku sedikit tersentak lagi, betapa beberapa waktu ke belakang ini aku telah begitu santainya. Aku jadi takut sendiri apakah masa depan tentang kesuksesan yang aku dambakan di depan bakal terwujud? Ehm... kadang begitu iri melihat mereka yang punya energi yang luar biasa untuk melakukan banyak hal sekaligus dan tetap cemerlang gemintang.
Rasanya pengin deh menonjok diri sendiri dan bertanya "apa yang udah aku lakukan?".
Dan muncul lagi rasa kegelisahan ternyata aku ini belum apa-apa. Aku tak bisa berpuas diri begitu saja, karena di luaran sana teman-temanku yang luar biasa itu akan siap menerkamku bila sepenggal saja aku lengah.
Ya... sesama teman bukan untuk menerkam seperti apa, tapi bagaimanapun ia adalah pesaing dalam artian positif. Kita bersaing dengan kompetensi masing-masing untuk menjadi yang terbaik, selain itu kami tetaplah teman, dan saling berbagi tentang banyak hal.
Semoga cerita dari seorang teman itu menjadi suntikan semangat baru, bukan menjadi momok yang membuat aku takut untuk bertarung....

Thursday, June 23, 2005

Menyikapi Perubahan...

Sudah beberapa lama aku tak bertemu dengan seorang teman, lalu tiba-tiba hari ini aku membuka friensternya. Dan betapa kagetnya aku ketika menemukan banyak hal yang telah berubah dari dirinya. Walaupun aku juga tak tahu apakah yang tertulis itu memang benar atau hanya jokes aja. Aku tak tahu juga apakah berhak untuk mengatakan bahwa perubahan itu menuju ke kemunduran.
Apalah hakku untuk mengatakan hal itu. Satu hal yang pasti adalah aku tak punya standar untuk bisa dan boleh mengatakan bahwa dia telah mengalami kemunduran atau justru kemajuan? Toh aku tak tahu apa yang terjadi di balik semua itu?
Lalu apakah kemudian standar benar salah itu menjadi harus sangat relatif. Lalu nilai-nilai mana yang harus aku ikuti?
Ini menjadi perdebatan dalam diri aku sendiri dan sampe sekarang belum terjawab.......

Tuesday, June 21, 2005

Epik Ini Terbenam Tak Untuk Terbit

Kutak ingin melihat kekuyuan wajahmu
Kita berlalu menuju arus yang berlawanan
Karena cinta ini terlanjur kokoh untuk tercerabut
Tiap detak langkahmu berarti irisan keperihan

Meski aku ingin menatapmu sekali saja...
Sekali karena mungkin untuk terakhir
Namun itu pun tak mungkin...
Terkutuk memang epik ini

Kita telah berjanji untuk tak saling menengok ke belakang
Apapun yang akan terjadi pada diri masing-masing
Janganlah pernah terhiraukan
Karena kita berada pada jalur yang berbeda

Suara hatiku mengatakan kau terantuk dalam sedu sedan
Namun demi janji yang telah terjalin
Aku hanya berlari semakin kencang
Dalam raungan tanpa daya upaya

Semuanya memang telah berakhir
Ini bukanlah akhir suatu bab
Yang mungkin berlanjut babak berikutnya
Tapi memang serial ini telah tamat

Tamat untuk membangun alur baru
Masing-masing berkarya pada genre masing-masing
Apabila memang karya itu akan ada


Yogyakarta, 200605

Monday, June 13, 2005

Seikat Kata Untuk Cinta

Dua mata saling menatap, ketika kita bertemu kembali setelah sekian lama Sang Waktu memisahkan kita. Sorot mata itu tampak begitu lain. Terlukiskan petikan dawai-dawai kerinduan yang tercipta mengiringi nyanyian cinta yang terpendam. Sorot mata yang membisu seakan bercerita segalanya, tentang selapis tirai yang ingin kau bentangkan untuk menutupi kata hati yang sebenarnya.
Anganku mengintip nuranimu, menjenguk bagaimana hatimu bertalu-talu menyerukan bisikan cinta yang membara yang tak akan padam dimakan Sang Waktu. Oh….., tatapan itu mengunciku dalam sebuah perangkap yang kau tebar. Ketika sebuah cinta yang selama ini kupendam bertemu dengan pasangan jiwanya dan tumbuh subur layaknya bunga-bunga sakura di musim semi.
Aku pun tak dapat membohongi ragaku. Aku mungkin bisa menipu dunia, bahwa aku tak mencintaimu. Tapi tentu tidak dengan dirimu yang sekarang berada di hadapanku. Tapi tak sepatah kata pun hendak terucap dari bibir ini untuk mengatakan ”aku selalu menantimu”.
Aku justru merasa benci dengan pertemuan kita. Suatu pertemuan tiba-tiba yang telah menggoyahkan jagad keseimbangan dalam jiwaku. Kasih aku sangat mengerti bahwa kau mencintaiku. Tanpa seuntai kata terucap pun aku bisa mengenalinya. Cinta sejati bisa diraba melalui rasa, ditatap oleh mata, dan dikecap melalui ekspresi.
Aku telah berjuang keras untuk mengubur namamu dalam hatiku yang terdalam. Ingin kulupakan semuanya, seperti angin lalu di musim kemarau. Tapi pertemuan ini akan membangkitkan kembali ziarah itu. Semuanya akan mengawali awalnya kembali.
Tidak ada yang salah dengan cintamu. Dan juga tidak berdosa ketika aku pun mencintaimu. Tapi saat ini waktulah yang tidak mengizinkannya. Hari-hariku hanya penuh dengan cita, dan tak ada sedikit pun waktuku untuk cinta. Begitu banyak angan ini yang belum terlunaskan. Masih setumpuk harapan yang harus kutebus.
Aku tak ingin memberatkan setiap langkahku dengan dirimu mengganjal setiap langkahku. Kau mungkin akan beralasan bukankah cinta sebuah penyemangat di kala aku lelah dan pendorong ketika aku putus asa. Tapi semua itu hanyalah teori cinta yang tak semanis kenyataannya, ketika kau telah menjadi milikku semua akan berkata lain. Seorang wanita begitu posesif terhadap miliknya. Wanita mencintai kepastian dan keterikatan. Sementara aku hanya ingin dimiliki oleh angan dan citaku. Dan aku adalah pendamba dan pemuja kebebasan.
Wanita begitu lembut, selembut sutra. Ia adalah makhluk yang ingin selalu diperhatikan. Sementara untuk saat ini aku tak memiliki secuil pun waktu, bahkan hanya untuk memikirkannya. Wanita memimpikan pangeran-pangeran romantis bak dongeng. Sementara aku terlalu asyik mengembara bersama imajinasiku dan mencari semua anganku. Hingga terkadang aku merasa tidak memberiku sedikit pun kesenangan. Oleh karena itu maafkan aku wahai cintaku.
Aku tak ingin membuatmu tak nyaman dengan cintaku. Aku tak ingin melihat rentetan kristal air matamu menjelajahi menuruni matamu, yang indah bak bulan purnama. Aku tak rela melukai hati orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku tak ingin kau harus menyusuri hari-hari sepi seorang diri, sementara aku sibuk dengan diriku sendiri.
Ketahuilah Kekasihku, cinta sejati tak pernah menuntut untuk memiliki. Cinta sejati tak perlu terucap dengan kata, cukup dirasa dengan getaran hati. Cintaku ini mungkin tampak aneh dan asing, tapi itu lebih baik bagi kita berdua.
Kasihku tolonglah jangan kau ikuti aku dengan bayang-bayangmu. Berikanlah kerelaanmu untuk melepaskanku bebas terbang di angkasa. Biarkanlah aku terbang bebas di angkasa raya layaknya burung layang-layang yang meliuk penuh keriangan. Aku masih menginginkan kebebasanku untuk berlari ke realitas dunia lain yang aku ciptakan sendiri. Pengembaraanku begitu jauh dan berliku. Aku pun tak tahu pasti apakah aku akan tiba pada tujuanku atau tidak.
Kumohonkan dengan sepenuh hati agar kau berhenti mengetuk alam bawah sadarku. Dirimu yang selalu hadir dalam mimpiku, hanya menyadarkan aku bahwa selama ini aku memang kesepian di tengah-tengah hingar –bingarnya kehidupanku.
Kehadiranmu hanya akan menciptakan sebuah ruang kosong dalam hatiku yang selama ini berusaha kulupakan. Jujur kuakui ketika Sang malam tiba dan yang menemaniku hanyalah nyanyian suara-suara malam. Aku sering merasa aku sendirian di dunia ini. Dan aku membutuhkan permaisuri hatiku, untuk mengarungi malam-malam yang sepi. Beribu teman yang kumiliki seakan tak dapat menggantikannya. Aroma kesepian menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku.
Tapi bagaimanapun juga aku belum bisa mengajakmu memasuki kehidupanku saat ini. Mungkin suatu saat nanti ketika aku sudah menebus semuanya. Ketika aku sudah mengungkap misteri kayalku. Aku akan menjemput hatimu di stasiun cinta itu.
Ini bukan berarti kau harus selalu menungguku dengan setia di stasiun itu. Berangkatlah bersama kereta lain apabila kau merasa yakin dengannya. Apabila ia bisa memberikan apa yang kau inginkan. Hidup ini adalah sebuah pilihan dan hakmu untuk memilih kepada siapa hatimu akan kau serahkan.
Bukankah cinta itu membebaskan? Dan bukankah cinta itu berkorban, bukannya meminta pengorbanan? Cinta sejati tak pernah menuntut. Cinta sejati merasa bahagia ketika yang dikasihinya bahagia.
Seandainya kau telah berlalu bersama hati yang lain. Aku pun akan melanjutkan hidupku, aku akan berlindung di balik hati yang lain. Aku tak akan mengganggumu lagi wahai pujaanku. Tapi kau akan kubuatkan istana yang termegah di sudut hatiku, melebihi keindahan Taj Mahal yang termasyhur itu. Di sanalah kenanganku tentangmu akan bersemayam untuk selama-lamanya. Dan tak seorang pun akan mengetahuinya kecuali diriku seorang.
Tak pernah kusesali semua yang terjadi. Karena semua atas perjanjian rahasiaku dengan permainan nasib. Semua adalah harga mahal untuk pilihan antara cita dan cinta.

Ketika cinta datang
Aku hanya terdiam
Ketika dia meninggalkanku
Aku menghantarkannya

Cintaku membebaskan
Pergilah bersama ragamu
Dan bayangmu selalu kugenggam
Wahai Sang Cinta sejati

Jatinangor, 29 Maret 2003

Reuni Kedua, Menalukkan Waktu

Saat itu aku sedang bersantai di rumah. Termangu mendengarkan musik yang sayup-sayup mengalun. Hingga aku mendengar pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Siapa pikirku. Aku merasa jarang sekali ada yang mengetahui tempat tinggalku. Karena memang rumahku kubangun jauh dari hiruk pikuk keramaian. Aku bosan dengan keramaian, aku ingin menikmati kesendirian. Karena aku memang tercipta untuk sendiri. Tanpa anak dan istri atau mungkin juga keluarga.
Meski hatiku lumayan ciut membayangkan seandainya yang bertandang adalah orang jahat. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Setelah itu aku kehilangan kendali. Mereka ternyata bertiga, terdiri dua orang pria dan seorang wanita. Tiba-tiba saja mulutku dibekap dan aku langsung dimasukkan ke dalam mobil. Di mobil tanganku diikat di belakang, dan mulutku disumpal menggunakan kain serta mataku ditutup.
Mobil pun melaju entah kemana. Aku hanya tahu kami menempuh perjalanan yang termata jauh. Mungkin lebih dari satu jam perjalanan. Menyusuri daerah-daerah perbukitan. Aku hanya merasakan saja, karena tubuhku sering terguling-guling, dan aku menyimpulkan berarti kami sedang melalui jalan berkelok. Hatiku berdebar-debar akan dibawa sebenarnya aku. Dan apa pula salahku. Aku ulang kembali ke masa lalu, dan berpikir apakah aku mempunyai musuh? Ataukah ada orang yang pernah aku kecewakan? Semuanya tak ada, aku berpikir lebih keras lagi. Tapi tetap saja aku tak menemukan jawabannya.
Hingga akhirnya tibalah kami entah di mana. Suatu tempat antah berantah yang tak kukenali. Mereka membopongku memasuki ruangan. Pintu itu berderit keras ketika dibuka. Pastinya ini ruangan yang tak pernmah dipakai untuk waktu yang cukup lama. Kemudian mereka menghempaskan tubuhku begitu saja ke lantai. Setelah itu mereka baru membuka penutup mataku.
Aku ngeri melihat keadaan di sekitarku. Ternyata tempat ini sebuah gudang tua yang tak lagi terpakai. Barang-barang berdebu dan berantakan. Atapnya yang tinggi dipenuhi sarang laba-laba. Hari yang gelap saat itu membuat suasana semakin mencekam. Suara-suara tikus berdecit menyambut kedatangan kami. Mungkin mereka protes karena kedatangan kami mengganggu kenyamanan mereka. Aku tak terbayangkan ketika tikus-tikus itu menggerayangi tubuhku. Aku bisa mati berdiri karenanya. Di dunia ini entah mengapa aku sangat takut dengan tikus.
Mereka tak puas melepaskanku begitu saja. Mereka mengikat tanganku pada salah satu tiang penyangga yang ada di gudang tersebut. Konstruksi gudang itu memang disangga oleh banyak tiang yang tak jelas berapa jumlahnya. Aku tak sempat menghitungnya, karena otakku bukan digunakan untuk menghitung jumlah tiang. Tapi mencari tahu apa yang mereka inginkan dariku.
Lalu aku bertanya pada mereka apa yang mereka mau dariku. Baru kali ini aku bisa menatap wajah mereka satu persatu dengan jelas. Tampang mereka tidak menunjukkan ciri-ciri penjahat. Wajah mereka adalah tipikal orang baik-baik, meski agak kusam dan sepertinya sedikit putus asa. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang perasaan aku kenal wajahnya. Wajah itu sering berseliweran di layar televisi. Belakangan aku tahu kalau ia ternyata adalah pejabat penting republik ini.
Maka mulailah mereka bercerita dari awal. Siang itu, matahari lumayan terik. Di pinggir air mancur yang terletak di tengah kota. Duduklah dua orang anak manusia yang sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Pada awalnya merekja tak saling tahu satu sama lain. Karena terlalu sibuk dengan masalah masing-masing. Hingga akhirnya mereka berdua menyadari kalau mereka salaing kenal. Mereka berdua adalah teman satu SMA dulu, lama sekali karena sekarang umur mereka telah menjamah pertengahan abad.
Lalu Sang Pria yang duluan bertanya pada Si Wanita. Ada apa gerangan hingga siang bolong begini ia berada di air mancur itu. Maka berceritalahg Si Wanita tentang masalahnya, biasalah wanita di manapun adalah pendongeng yang ulung. Bahkan ketika kau tak menyuruhnya bercerita pun maka ia akan tak henti-hentinya berbicara.
Ia mengaku mengalami kesulitan keuangan saat ini. Ia takut menghadapi esok, karena semua orang akan menagih janji esok. Ia terlilit utang pada banyak pihak. Cicilan rumahnya sudah menunggak enam bulan, kartu kreditnya juga belum terbayarkan selama tiga bulan. Belum lagi kalung berlian dan perhiasan lainnya yang ia beli dari ibu-ibu arisan juga belum terbayar. Dan ia menjanjikan semuanya untuk menagih esok hari. Tapi hingga siang itu, dia belum dapat sepeserpun uang untuk membayar semua utangnya.
Ia sangat bingung akan apa yang ia lakukan. Ia takut menghadapi esok, esok berarti kiamat baginya. Rumahnya akan disita, debt collector akan mengancam membunuhnya atau menjebloskan ke penjara bila ia tak bisa membayar tagihan kartu kredit berserta bunganya yang telah membumbung tinggi. Hutangnya telah berlipat tiga kali, dari apa yang dipinjamnya dulu. Akibat ia terus menunggak pembayaran. Belum lagi bagaimana kalau pemilik perhiasan itu menagihnya, dan mengambil kembali perhiasannya. Bisa gawat..., bukan hanya malu karena tak bisa bayar. Namanya pun akan dicoret dari daftar ibu-ibu arisan. Dan ia akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan oleh teman-temannya. Kalau itu terjadi maka ia lebih baik mati, daripada harus menanggung malu akibat jatuh gengsi. Eh... tapi jangan bilang siapa-siapa ya pesannya pada temannya.
Si pria pun terkaget-kaget, ia jadi teringat beberapa hari yang lalu. Kebetulan mereka bertemu saat reuni. Tampaknya temannya yang satu ini hidupnya makmur, perhiasannya saja melimpah samapi orang-orang bergosip kalau dia seperti toko berjalan. Ia juga memamerkan kalau tinggal di kawasan mewah dengan fasilitas yang lengkap. Tidak menyangka tenyata kenyataan tak seindah yang dibicarakan.
Wanita itu gantian bertanya, ngapain juga kamu di sini masih dengan berpakaian lengkap. Pria itu memang masih dengan pakaian rapi kantoran lengkap dengan dasi, dan tas kerja. Dan pria itu pun mulai bercerita dan berkeluh kesah tentang kerjanya. Ia stres berat karena beban kerjanya yang di luar batas kemampuannya. Ia tiap hari harus pulang hingga larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannnya. Semuanya membuatnya merasa jenuh. Dan ia sangat kawatir bila pekerjaannya kali ini tak akan rampung esok hari. Padahal esok semuanya sudah harus selesai. Sementara itu suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Seandainya waktu dapat diperpanjang desisnya....
Wanita itu pun terkaget-kaget. Bukannya saat reuni kamu bilang kamu sangat menikmati pekerjaan dan kariermu yang terus menanjak. Saat itu dengan sangat yakin kamu membanggakan perusahaan tempatmu bekerja. Bahkan banyak lho yang memuji kariermu yang menanjak dan menjadi manajer top dalam waktu yang singkat, sahut Si Wanita.
Pria itu hanya terdiam sejenak. Lalu bergumam, itu kan hanya yang ada dipermukaan. Tak mungkin lah mengatakan hal yang buruk kal reuni. Reuni itu kan ajang pameran kesuksesan. Bukan ajang curhat tentang kemalangan. Gengsi dong dengan teman-teman yang lain, tambahnya.
Mereka pun melanjutkan perbicangan mereka, hingga mereka melihat sosok yang mereka kenal. Lho itu kan teman kita, pejabat publik yang sangat tersohor di negeri ini. Pria itu mengenakan pakaian safari berwarna bitu, khas pejabat negeri ini. Ada apa ya, kok dia juga sepertinya berwajah kusut? Mereka berdua saling berbisik.
Pria dan wanita itu lalu memanggil teman mereka itu untuk ikut bergabung bersama. Lalu bertanyalah mereka berdua pada Sang Pejabat, ada apa gerangan hingga wajahnya kusut seperti siang dirundung mendung. Dan mulailah Si Pejabat yang terhormat itu bercerita tentang kesulitan yang sedang dihadapinya saat ini.
Ternyata ia terlibat kasus korupsi dalam jumlah yang sangat besar. Bukan hanya dalam angka “M”, tapi triliunan rupiah. Wah... kedua temannya pun sampai ternganga mendengar ceritanya. Pejabat itu pun melanjutkan ceritanya, kalau besok polisi akan menyelidiki kasusnya. Dan ia sangat takut kasusnya akan diketahui publik. Dan dirinya akan menjadi bulan-bulanan pers. Ia mengeluh andai saja hari esok bisa ditunda, maka ia bisa mengatur strategi untuk menyembunyikan barang bukti, untuk menghilangkan jejaknya bahwa ia terkait dalam kasus korupsi itu.
Kedua kawannya yang lain hanya semakin terpana. Dalam hati keduanya berkata, sungguh tak dinyana. Pejabat publik yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang bersih, dan dihormati oleh masyarakat. Ternyata tak ada bedanya dengan pejabat-pejabat lain di republik ini. Belum lekang pula dalam ingatan mereka, saat reuni nama sang pejabat dielu-elukan karena menjadi penyumbang terbesar bagi sekolah mereka dahulu. Jangan-jangan uang yang disumbangkan juga hasil korupsi?
Setelah cerita itu berakhir. Ketiganya terpekur dalam sunyi. Masing-masing asyik dengan pikiran mereka sendiri. Suasana benar-benar sepi, hari mulai menjelang sore, matahari mulai meredup di ufuk Barat. Entah siapa yang mencetuskan ide pertama kali. Tiba-tiba salah satu dari mereka mempunyai idebrilian untuk menculik waktu agar mau menunda esok dan memperpanjang hari. Dan waktu itu adalah aku.
Jadi begitu ceritanya. Aku baru mengerti mengapa wajah mereka kusut begitu. Tapi aku tak cukup mengerti apa yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka? Tanyaku pada mereka bertiga. Mereka justru membetakku, dan mengatai aku berlagak pilon. Tapi aku memang benar-benar tak mengerti apa yang bisa aku lakukan. Tapi jawaban itu hanya membuat mereka naik pitam. Sang Pejabat tanpa segan-segan menyarangkan bogem mentah ke perutku. Ouh... sakit sekali rasanya, perutku seperti diremas-remas dan napasku tersengal.
Aku coba jelaskan aku tak punya hak atas berjalannya waktu. Memang benar aku adalah Sang Waktu. Tapi aku hanya berjalan berdasarkan apa yang telah digariskan. Aku ini hanyalah budak manusia, bukankah begitu? Kalian sendiri manusia yang membagi waktu. Manusialah yang menetapkan sehari adalah duapuluh empat jam. Satu jam, enam puluh menit, dan satu menit enam puluh detik.
Tapi mereka menyanggah, bukankah itu adalah kesepakatan dan bisa saja diubah menjadi satu hari empatpuluh delapan jam kek, atau berapapun it. Yang penting hari esok tak boleh datang begitu cepat. Duapuluh empat jam itu tak cukup. Iya benar, itu semua memang kesepakatan. Tapi jangan lupa bahwa di atas segalanya adalah hukum alam yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum alam tak bisa ditentang oleh manusia, apapun dan bagaimanapun kuatnya manusia bila Tuhan berkehendak maka tak akan ada yang bisa melawan.
Mereka tak perduli dengan omonganku. Justru mereka menghadiahiku bogem mentah kembali, yang kali ini bersarang di wajahku. Wajahku memar-memar jadinya. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan. Dalam hati aku justru tertawa. Mereka pikir dengan menyekapku maka hari akan terhenti. Karena aku waktu, yang bertugas memutar roda perputaran telah terlumpuhkan. Manusia yang menganggap dirinya makhluk yang terhebat di muka bumi ternyata bisa terlihat bodoh juga. Terkadang memang keadaan mebuat siapapun bertindak bodoh, dan tidak rasional. Semuanya berada diluar kendali, emosi lebih banyak berkuasa meski tak akan menghasilkan pemecahan apapun. Justru menimbulkan masalah-masalah baru.
Mereka bereaksi atas kebisuanku dengan melontarkan ancaman-ancaman serta terus memukuliku sekujur tubuh. Aku hanya pasrah, karena memang tak ada yang bisa kulakukan. Kubiarkan saja mereka menjadikanku karung tempat bertinju. Mungkin itu bisa meredakan sedikit emosi dan stres yang menggelegak dalam jiwa. Tapi toh masalah tentunya tak akan berhenti di sana. Memukul hanya membuang waktu yang tersisa untuk mencoba menyelesaikan masalah.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam kelelahan untuk terus memukul diriku. Dan aku tetap saja cuek dengan keadaan ini. Mereka akhirnya memohon-mohon padaku sambil menyembah. Sepertinya gelombang putus asa semakin mencekam dalam diri. Tapi aku tetap saja membisu, toh aku sudah menjawab segalanya. Berbicara hanya akan menghabiskan energi.
Dan tiba-tiba saja, ayam jantan berkokok. Pertanda hari telah menjelang pagi. Ketiganya berteriak histeris dan menangis meraung-raung. Ibarat mereka melihat hantu sedang menggoda di hadapan. Tapi semuanya telah terjadi, hari telah berganti. Semua harus dihadapi, apapun jadinya. Tangisan dan raungan tak akan menyebabkan masalah akan selesai begitu saja.


Jatinangor, 241204

Klan Okumichi yang Gue Banget....

Beberapa hari yang lalu aku baca buku "Samurai", meninggalkan kesan yang luar biasa. Kayaknya sudah lama aku tidak menemukan sebuah novel yang begitu melekat di benak setelah menyelesaikannya. Novel ini begitu banyak menawarkan pemikiran dan perenungan yang luar biasa. Yng tak mungkin semuanya ditulis dalam tulisan ini. Di sini aku hanya akan membahas satu hal.
Yang ingin aku tulis adalah kemampuan klan Okumichi yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut. Klan yang dianugerahi kemampuan untuk melihat jauh ke masa depan, bahkan hingga penyebab kematiannya. Ingat kemampuan itu jadi ingat diri sendiri he... he... Tampaknya aku menderita narsis akut. Yah... tak papalah, bukankah itu tujuan blog dibuat?
Tapi berbeda dengan Okumichi yang merupakanbagian dari klanOkumichi yang menganggap kemampuan itu sebagai kutukan.Aku melihat ini adalah sebuah anugerah.
Walau memang tak mudah pada awalnya. Sangat tidak mudah untuk meyakinkan orang lain atas apa yang aku lihat di masa depan. Hal yang tidak mungkin dimengerti orang lain. Butuh tenaga ekstra untuk bisa meyakinkan mereka. Bahkan butuh tenaga yang lebih besar lagi untuk bisa mengerti diri sendiri, bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam diri ini.
Pada awalnya ini menimbulkan perasaan sedih. Mengapa aku harus tahu yang seharusnya tak diketahui? Dari sanalah kemudian aku belajar ketidaktahuan dan kelupaan itu juga anugerah.
Di awal adaptasi, aku kadang merasa bersalah mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya. Namun dalam perjalanan waktu, aku sadar, ini bukan salahku. Dan tak ada yang tahu kecuali aku. Dan di sisi lain ini mungkin berguna bagi orang lain. Lalu muncul ide untuk mengendalikan rasa ingin tahuku yang besar, dan terkadang menjerumuskan diri sendiri pada kegelisahan.
Dan juga berlatih untuk bisa memilah diri sendiri untuk tidak terlarut dalam permasalahan orang lain. Hanya sebatas empati dalam bahasa psikologi. Bila telah mencapai tahap simpati maka kita telah terlarut dalam permasalahan orang lain. Kalau gitu caranya lama-lama bisa gila atuh akang......

Memaknai Keseimbangan

Beberapa hari ke belakang aku merasa ada yang salah dengan diri sendiri. Entah kenapa ada semacam warning dalam diri yang membuat perasaan selalu gelisah. Setelah direnungkan untuk beberapa saat aku pun menyadari ternyata ada ang salah dalam cara hidup aku belakangan ini.
Apa yang salah? Aku sedang tidak ada dalam kondisi seimbang. Ya dimana keseimbangan atas banyak aktivitas yang dilakukan adalah pusat dari kehidupanku yang sebenarnya. Bila salah satu ada yang berlebihan dan akhirnya mengorbankan aktivitas yang lainnya, maka akan muncul sebuah kegelisahan pertanda bahwaaku harus kembali ke titik awal.
Apabila itu tidak dilakukan maka entah konsekuensi apa yang kana terjadi. Yang jelas konsekuensi itu tak menyenangkan. Dan tentunya harus dibayar dengan biaya yang mahal.
Ketidakseimbangan itu meliputi jarangnya aku untuk menulis dalam blog ini. Dan juga banyak hal lain yang juga aku tinggalkan karena akusedang memfokuskan banyak waktukupada kegiatan lain.
Jarang menulis berarti lupa untuk bercermin pada diri sendiri. Lupa bahwa fondasi yang aku bangun harus dirawat setiap saat, bila tak ingin bangunan yang ada di atasnya akan roboh.
Namun kini aku telah kembali untuk menggoreskan satu dua patah kata. Aku mulai kembali untuk menyeimbangkan bagian-bagian dari kehidupanku. Dan aku menemukan kegelisahan itu mulai memudar. Thanks God, aku selalu mempunyai kepekaan untuk mengenali apa yang terjadi pada diri sendiri.

Tuesday, June 07, 2005

Pada Sebuah Negeri di Musim Gugur

Aku berjalan sendirian, di pagi hari ini yang sangat dingi. Terpaksa aku menggunakan mantel yang tebal, karena saat ini sedang musim gugur. Mantel setebal itu pun masih saja menyisakan perasaan kedinginan di tubuhku. Aku terus saja berjalan sambil memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Mereka berjalan sangat cepat, sepertinya hendak diburu oleh sesuatu. Atau aku yang berjalan terlalu lambat bagi mereka, ah siapa peduli dengan hal remeh temeh semacam itu.
Aku hanya ingin berjalan santai untuk menikmati daun-daun yang jatuh berguguran. Pohon-pohon mulai menggundul, ranting-ranting kesepian tanpa hijau dedaunan. Seakan merintih kesakitan atas setiap daun yang harus kembali berguguran. Awalnya aku ingin pergi ke supermarket, aku hanya ingin membeli ika asin dan aneka tetek-bengek untuk membuat sambel. Ehm..., alangkah lezat pikirku... Tapi sayang aku harus menelan kekecewaan karena apa yang kubutuhkan tak tersedia. Maka aku harus menelan air liurku untuk menikmati santapan itu.
Aku tak pernah berpikir kalau hanya untuk memasak hal sepele semacam itu terasa sangat mewah. Ya.... mungkin anda berpikir apa susahnya, karena anda berada di Indonesia. Sementara aku berada ribuan kilometer dari tanah air. Aku saat ini menitipkan raga ini, di sebuah kota bernama London, nun jauh di Eropa sana. Aku hanya sekedar ingin mengobati kerinduanku atas Indonesia melalui penganan itu, tapi itu pun ternyata tak semudah angan.
Aku percepat laju jalanku, karena hari terasa semakin dingin. Badanku mulai sedikit menggigil. Kutangkupkan kedua belajh tanganku di atas daad, demi sedikit menghela rasa dingin yang menusuk. Sudah cukup lama juga sebenarnya aku tinggal di sini, tapi tetap saja tubuhku ini tetap tidak mau berkompromi dengan cuaca yang sangat dingin. Aku tiba-tiba terhenti sejenak, karena melihat sebuah papan restoran yang ternyata menyajikan masakan Indonesia. Aku merasa sanga kaget sekaligus senang. Soalnya baru kali ini aku melihatnya dan tahu kalau ada restoran masakan Indonesia di London.
Memang biasanya aku tak pernah melewati jalan ini. Kebetulan saja tadi aku lagi iseng ingin mencoba sesuatu yang baru agar tidak monoton. Maka kutempuhlah jalur yang berbeda dengan yang biasanya aku lewati saat hendak ke supermarket. Tanpa ragu aku segera masuk ke restoran itu, di pintu masuk aku telah disapa oleh seseorang “Untuk berapa orang ya, kalau boleh tahu”. Sapaan ramah khas Indonesia, aku lumayan kaget karena sudah lama aku tak bertemu dengan orang berbahasa Indonesia. Rupanya ia tahu kalau aku dari Indonesia, mungkin terlihat dari wajah yang sangat Indonesia.
“Untuk empat orang Mas”. Aku tertegun sendiri dengan jawabanku, untuk empat orang bukankah aku seorang diri? Lalu pelayan itu mempersilahkan aku duduk di pojok restoran. Restoran ini bernuansa sangat Indonesia, semua furnitur dan pernik mengingatkanku pada Indonesia. Mungkin pemilik restoran ini sengaja mendesain demikian, untuk mengobati rasa rindu para perantau yang rindu akan kampung halamannya.
Aku memesan sepiring gado-gado dan segelas teh hangat. Sementara pelayan itu pergi menyiapkan hidangan yang kupesan. Anganku melayang jauh ke masa lalu. Aku teringat saat aku masih kecil orang tuaku sering sekali mengajak kami sekeluarga untuk makan di restoran. Pokoknya dalam sebulan minimal satu kali. Kami adalah keluarga kecil, hanya terdiri atas empat orang. Aku hanya mempunyai seorang kakak yang juga perempuan.
Makanya tadi aku memesan buat empat orang. Karena aku tak ingin diusik oleh siapapun ketiga bangku sisanya. Aku membayangkan mereka bertiga duduk di bangku yang ada. Kakakku di sebelahku dan kedua orang tuaku menghadap kami berdua. Itu adalah formasi tetap saat kami pergi ke restoran. Biasanya suasana akan sangat riuh, karena kami mengobrol tentang macam-macam, sambil menunggu pesanan tiba. Tapi sayang kali ini aku mesti sendirian.
Tapi lumayanlah aku bisa membayangkan masa lalu itu, meski itu hanya dalam angan. Wajahku tersenyum simpul sendiri, sambil membayangkan candaan-candaan di masa kecil. Untungnya saat itu restoran ini masih sepi belum banyak pengunjung berlalu lalang. Soalnya hari masih pagi, baru menunjukkan pukul sebelas. Coba kalau waktunya makan siang, pasti penuh juga restoran ini.
Kehangatan keluarga itu, yang dulu bagiku biasa-biasa saja. Ternyata menjadi luar biasa dan mahal kala aku jauh. Betapa aku baru mengerti begitu berartinya mereka setelah aku jauh, sangat jauh. Mengapa segala sesuatu harus terlambat disadari? Mengapa kita menghargai sesuatu ketika itu telah pergi? Yah... semua telah terjadi tapi ini adalah pelajaran berharga.
Lamunanku terganggu oleh suara pelayan yang mengantarkan pesananku. Gado-gado dan segelas teh hangat. Wow... sepertinya menggairahkan, saat kumelihat sepiring gado-gado yang tersaji dihadapanku. Tapi setelah kucoba sesendok, aku merasa agak sedikit kecewa. Ternyata rasanya tak seenak yang di Indonesia. Aku tak tahu memang karena rasanya berbeda yang disebabkan bahan-bahannya mungkin tak asli diimpor dari Indonesia, hingga cita rasanya jadi berbeda. Atau ini hanya soal perasaan, perasaan yang menggiring otak untuk berkata bahwa makanan apapun tak akan seenak, seperti halnya bila makanan itu disajikan di tempat asalnya. Maklumlah manusia itu lebih banyak berpikir menggunakan perasaan daripada rasio.
Entahlah apa yang terjadi, tapi aku jadi teringat dengan Ibu. Karena Ibu jago dalam membuat gado-gado. Kebetulan Ibu memang hobi memasak, terutama buat keluarganya. Tapi masakan Ibu yang pailng favorit bagiku ya gado-gado.
Air mataku mulai berlinangan kalau aku mengingat Ibu. Soalnya aku telah mengecewakannya. Meski perasaan itu tak diungkapkannya. Ia memang begitu penuh pengorbanan, ia begitu perduli pada orang lain yang mengalami kesusahan. Tapi ia selalu menutupi semua kesedihan dan kekecewaannya. Bibirnya tetap saja tersenyum, meski pada saat yang sama hatinya merintih.
Aku merasa sedih karena kepergianku ini telah meninggalkan banyak luka bagi Ibu. Ibu sebenarnya tak setuju kala aku menikah dengan suamiku. Bukan karena suamiku orang jahat, atau tak bertanggung jawab, atau apa. Tapi ia adalah orang Inggris, orang bule kata orang Jawa.
Ibu ingin aku menikah dengan orang Indonesia saja. Jadi aku tak perlu terbang jauh, meninggalkan dirinya dan keluarga. Aku masih ingat dengan pertanyaannya saat itu.
“Nduk apakah kamu benar-benar sudah yakin akan menikah dengan bule itu?”
“Iya Bu, aku sudah yakin seratus persen, kaalu tidak dengan dia aku lebih baik tidak akan menikah”, jawabku dengan merajuk dan bernada ancaman.
“Ya sudah..., kalau mau kamu begitu ya terserah. Tapi Ibu hanya titip pesan Nduk, menikah dengan bule yang berbeda budaya itu tidak semudah yang dibayangkan lho. Tapi kalo kamu sudah yakin, ya Ibu ndak bisa apa-apa selain merestui.”
Itulah sepenggal dialog antara aku dan Ibu saat itu. Ingatan itu tiba-tiba saja hadir di tengah kerinduanku akan tanah air. Kata-kata itu sangat jelas dalam ingatanku. Serpihan-serpihan masa lalu itu tersimpan rapi dalam memori otakku. Memanggil-manggilku untuk mengenang kembali masa-masa itu.
Setelah serangkaian dialog itu. Aku melihat redupnya raut wajah Ibu, sinar matanya yang biasanya berbinar pun turut gulita. Demi mengelabui kesedihannya dihadapanku, ibuku segera beranjak menuju kamar. Entah apa yang dilakukannya di sana mungkin menangis. Ia tak ingin kesedihannya akan mengubah pendirianku. Ia lebih memilih mengorbankan perasaannya dibandingkan aku.
Bila mengingat kembali pesan Ibu itu, aku merasa menyesal. Karena ternyata apa yang Ibu bilang ternyata ada benarnya juga. Cinta saja ternyata tak cukup ketika menikah. Aku dulu begitu menggebu dengan cinta, apalagi pacarku pria bule. Pria bule lebih romantis dibanding pria Indonesia. Apalagi bisa menggaet cowok bule adalah kebanggaan dan prestasi tersendiri.
Kehidupan pernikahan yang baru beberapa waktu kujalani, terbukti tak seromantis kala aku berpacaran dulu. Saat ini suamiku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia sering pulang larut malam, sementara aku hanya sendirian berteman sepi. Suasana kota ini pun terasa sangat asing bagiku, karena aku tak banyak mengenal orang lain di sini.
Apalagi di sini tak banyak orang yang gemar mengobrol santai. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada cerita layaknya di Indonesia, Ibu-Ibu yang berkunjung ke tetangga sebelah hanya sekedar saling meminjam bumbu dapur. Aku mulai merasa bosan dan kesepian.
Suamiku masih saja romantis seperti dulu, ia pun masih memperlakukanku dengan baik. Tapi waktunya telah banyak terampas untuk pekerjaan. Sangat berbeda dengan dulu saat kami pertama kali bertemu dan berpacaran. Tentu saja, kala itu kan dia sedang berlibur. Jadi waktunya bisa kami habiskan berdua, dan dunia serasa milik berdua.
Setelah masa liburannya habis, ia balik ke London. Tapi kami masih saling berhubungan. Baru tahun berikutnya ia kembali ke Indonesia dengan rencana untuk menikahiku, sekaligus memboyongku ke negerinya. Saat itu semuanya hanyalah keindahan, pesta meriah yang dihadiri banyak tamu dan sanak keluarga. Hingga akhirnya aku terbang menjemput masa depanku di negeri yang jauh.
Sayangnya saat itu Ibu tak mau mengantarkan aku ke bandara. Alasannya saat itu, ia tidak enak badan. Bodohnya, kala itu aku percaya saja. Baru sekarang aku sadari, ia tak rela hendak melepas anaknya menuju suatu negeri asing. Ia tak ingin jiwanya tersayat detik demi detik melihat burung besi itu perlahan-lahan melaju dan terbang memisahkan kami.
Akhirnya hanya kakakku yang mengantar aku hingga Bandara Soekarno-Hatta. Sementara bapakku pun tak ikut mengantar, menemani ibu di rumah. Tapi ibu tetaplah ibu, ia tetap saja tersenyum melepas kepergianku. Dan itu membuatku tenang pergi menginggalkan semuanya, karena aku pikir tak ada masalah.
Ibu..., seandainya waktu bisa diputar kembali. Andai aku mampu melompat ke masa lalu. Maka aku akan tunduk pada nasihatmu, Ibu. Maafkan aku yang telah membuat dirimu dan diriku sendiri menderita. Maafkan untuk semua ketidakpekaanku atas perasaanmu. Maaf pula untuk diri ini yang hanya membuatmu kecewa, tanpa sekalipun membuatmu bahagia.
Tapi semuanya telah terjadi, pilihan telah ditetapkan. Kenyataan harus dihadapi, meski itu menguras air mata. Pernikahan bukanlah mainan, bila bosan maka dengan mudah diakhiri. Aku tak ingin menyayat hati ibu kembali dengan berita perceraian. Air mataku makin deras saja menghujani wajahku. Diriku luruh layaknya dedaunan di atas dahan kala musim gugur.
Aku segera memanggil pelayan untuk membayar semua pesananku. Gado-gado yang menurutku tak enak itu pun habis juga tanpa terasa. Karena aku menyendok dan mengunyah tanpa menikmatinya, justru menikmati nostalgia. Aku serahkan sejumlah uang pada pelayan. Lalu meninggalkan sisanya sebagai tip baginya.
Aku pun bergegas meninggalkan restoran itu, dengan berbagai bayang-bayang dan adonan perasaan yang campur aduk. Tiba-tiba muncul ide dalam benakku untuk menelepon Ibu dan keluarga di Indonesia. Pasti Ibu akan senang bila aku meneleponnya. Kehadiranku meski hanya terwakili oleh suaraku, kuharap bisa sedikit menebus dosaku, dan menambal luka dalam hati ibuku.
Ibu maafkan aku..................................