Friday, July 29, 2005

Tuhu, Dari Mana Asalnya?

Pertanyaan ini banyak sekali muncul, dan ditanyakan orang pada aku. Kalau hanya satu dua, maka tidak akan masalah. Tapi hampir semua orang akan menanyakan. Bila dulu di Bandung, orang bertanya maka tak akan heranlah aku. Tapi saat di Yogya, banyak orang yang bertanya?
Mereka pikir nama saya adalah nama orang Timor atau ambon atau apapun. Yah... tak bisa disalahkan memang kulit aku yang hitam mendukung persepsi akan hala itu. Tapi bukan masalah itu yang membuat aku merasa sedih. So what giytu loh dengan Timor atau ambon????
Soalnya jelas Tuhu diambil dari bahasa Jawa, bagian dari bahasa Jawa kuno, yang memang tak sering lagi digunakan. Tapi apakah sebegitu parahnyakah? Orang Jawa sendiri bahkan tak mengenal siapa dirinya? Mereka mungkin lebih fasih berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
Jadi miris aja dengarnya, ah..... tarik napas dulu ah..... dalam-dalam untuk turut berbela sungkawa.

The Sky Is The Limit....

Hari ini baru saja aku menyelesaikan sebuah buku “4-G Marketing”, buku yang membedah bagaimana kesuksesan Sampoerna sebagai perusahaan keluarga mampu bertahan hingga empat generasi, sekaligus menjadi perusahaan yang sangat kreatif dan inovatif untuk melahirkan merek yang melegenda di benak konsumen.
Namun di samping berbagai pembelajaran tentang marketing, ada sesuatu yang sangat melekat dari kesuksesan sampoerna.
Sampoerna dan para pucuk pimpinannya tak pernah berpikir bahwa mereka telah berada dalam posisi puncak. Mereka selalu berpikir mereka tetaplah nomor dua hingga harus tetap waspada dan mengembangkan diri.
Memang benar, cepat berpuas diri membuat kita kadang lupa. Bahwa yang kita hadapi adalah esok bukan kemarin. Kita menghadapi masa depan, bukan sejarah. Mungkin boleh untuk sejenak kita berpesta untuk merayakan kesuksesan. Tapi pesta itu ada akhirnya, tinggal siapa yang akan menghentikannya. Apakah kita yang memaksa diri sendiri berhenti, untuk menyiapkan pesta besar selanjutnya.
Atau kita terpaksa dicubit oleh keadaan bahwa pesta telah usai, dimana para pesaing telah jauh melampaui, dan yang tertinggal hanyalah penyesalan....

Sedikit Penyesalan

Kemarin, sebagai panitia Career Days MM UGM aku melihat presentasi dari para peserta tes seleksi Sampoerna. Presentasi selalu mengingatkanku pada Debating Club yang pernah aku ikuti. Walau itu hanya sebentar dan tak banyak prestasi yang aku toreh di sana. Ternyata begitu banyak pengalaman yang dapat aku petik.
Antara lain pengalaman soal mempertahankan pendapat, konsistensi, meyakinkan orang lain, berpikir cepat. Sayang aku tak cukup tahan dengan persaingan dan kecurangan yang ada di sana.
Lalu kini aku bertanya-tanya mengapa aku tidak lebih bersabar, dan sedikit tebal muka dengan berbagai sindiran dan banyak kekecewaan itu. Toh walaupun aku tak akan dikirim kemana pun paling tidak aku lebih piawai dalam hal presentasi. Di mana itu akan menjadi modal besar saat memasuki dunia kerja.
Tapi semuanya telah berlalu, tak ada yang perlu disesali. Walau sedikit, pelajaran itu sangat berharga bagi kehidupanku. Satu lagi pelajaran yang dapat ditarik. Kadang kita perlu sedikit bersabar akan sesuatu yang memuakkan siapa tahu ternyata itu memberikan pelajaran berharag di masa mendatang....

Sunday, July 24, 2005

Sebuah Mimpi Sederhana....

Ehm... kadang-kadang aku merasa bahwa Tuhan begitu baiknya padaku. Hampir semua impianku terkabul. Dulu aku pernah bermimpi andai saja aku punya teman mahasiswa psikologi atau lulusan psikologi.
Eh... ternyata aku sekarang sekelas dengan dua orang yang dulunya berkuliah di psikologi. Jadi alangkah menyenangkannya ini, karena aku bisa belajar banyak hal tentang psikologi dan tetek bengeknya pada mereka. Jadi ingat dulu saking terobsesinya untuk mencari teman yang berlatar psikologi aku berkenalan acak dengan mahasiswa psikologi lewat KSI (Komunitas Sekolah Indonesia). Lucu gak sih kalo diingat lagi.
Dulu juga, aku pernah bermimpi untuk punya teman seorang wartawan. Dan ternyata, eh ternyata aku pun sekarang sekelas dengan seorang wartawan. Wah betapa senangnya aku bisa belajar banyak hal tentang tulis-menulis, dan segala aturannya.
Di tambah lagi ada pula temenku semasa S1 dulu yang juga jadi wartawan.
Pernah juga aku ingin mempunyai teman seorang perancang. Dan impian itu pun bukan sekedar kayalan sekarang. Temanku S1 telah memangkan award internasional sebagai perancang dan mempunyai sebuah butik.
Harapan yang kecil memang dan sangat remeh. Apa gunanya bermimpi berteman dengan orang-orang tertentu. Tapi entahlah aku hanya ingin saja. Dengan beragamnya teman, aku pengin mempunyai banyak sudut pandang. Banyak hal yang bisa dipelajari.
Sangat sederhana memang, tapi aku sangat bangga akannya. Dunia ini menjadi sangat indah dengan mimpi-mimpi kecilku... Selain segudang mimpi besar yang selalu kuperjuangkan.
Bukankah hidup untuk memperjuangkan impian?

Yogyakarta, 230705

Satu Langkah Kecil Mengubah Banyak Hal

Kadang saat membaca testimonial yang dikirim oleh teman-teman terbersit sedikit rasa bangga dan senang. Karena beberapa dari mereka merasa terinspirasi dengan apa yang telah aku lakukan atau apa yang aku katakan. Mereka menjadi lebih optimis, termotivasi untuk lebih maju.
Oh... tak ada yang lebih indah daripada membuat orang lain menghargai dirinya, dan mereka termotivasi untuk maju. Walau jujur, aku merasa tak berbuat banyak untuk mereka. Aku hanya mengatakan apa yang sudah berulang kali dikatakan bahkan oleh ribuan orang lain. Aku hanya melakukan hal-hal sederhana yang sangat bisa dilakukan oleh orang lain.
Rasanya hidup menjadi sangat menyenangkan karenanya. Aku merasa kesuksesan yang pernah aku alami tak kunikmati sendirian. Semua perjalanan yang tak mudah menuju sukses ternyata mempengaruhi orang lain. Dan memotivasi mereka menuju kesuksesan ala mereka sendiri.
Aku jadi teringat dengan sebuah kalimat bijak, kemenangan menuju garis finish bersama-sama dengan orang lain akan terasa begitu indah dan nikmat. Di banding kemenangan yang diperoleh dengan mengorbankan sesama. Kemenangan yang hampa dan kosong. Tak ada teman yang akan memberimu selamat, dan berbagi kebahagiaan atas kemenangan itu.
Dua pengalaman ini pernah aku alami, dan memang lebih menyenangkan menang bersama yang lain. Semua kata bijak itu memang tak meleset. Bukan hanya indah untuk didengar......
Semoga saja setiap langkahku ke depan bukan hanya memuaskan hasratku akan arti kata sukses, tapi sekaligus menggandeng semakin banyak orang untuk turut menikmati definisi “sukses”.


Yogyakarta, 230705

Menjadi Reporter

Saat ini aku nyoba untuk menjadi repoter news letter di kampus. Ternyata ada suatu pengalaman menarik, menulis untuk orang lain yang bersifat informatif tak semudah menulis fiksi.
Karena selama ini aku lebih banyak menyelami dunia penulisan fiksi yang telah diarungi lebih dari empat tahun yang lalu.
Diperlukan detil harus ditulis dengan lengkap dan jelas karena mungkin saja orang lain belum mengerti. Pada sisi lain, aku juga menemukan ternyata ada begitu banyak penafsiran dari apa yang tertulis. Oleh karena itu perlu belajar untuk menggunakan bahasa dan kata-kata yang terhindar dari biar persepsi. Ingat aku sedang menulis fakta dan peristiwa, bukan fiksi.
Mengkomunikasikan sebuah pemikiran dan informasi ternyata tak mudah, karena kita perlu berpikir dengan cara pikir orang yang akan membaca tulisan kita. Bukan sekedar asyik demi memuaskan diri sendiri.
Cukup berat memang, karena seorang penulis fiksi terbiasa untuk membebaskan apa pun yang ada dipikirannya dan benak pembaca.
Tapi aku telah memilih menjadi repoter maka tak ada pembelaan untuk ini. Aku harus belajar menempatkan diri di mana aku sedang berada. Tidak mudah memang, tapi mungkin dan harus dilakukan....


Yogyakarta, 230705

Memasarkan Diri...

Setelah lama bergelut dengan banyak hal, dan bergaul dengan banyak hal. Aku menemukan satu hal yang lumayan menyedihkan. Orang-orang Indonesia bukannya tidak hebat, tapi tidak pandai untuk mengetahui potensinya sendiri, lalu menjual potensi yang dimiliki.
Aku juga nggak terlalu ngerti apa sebenarnya yang terjadi? Tapi mungkin beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, ada kekangan budaya ketimuran yang menganggap membicarakan kehebatan diri sendiri adalah tabu.
Ya tabu sih tabu, tapi harus liat situasinya. Bila memang tak selayaknya misalnya dalam obrolan sesama teman ya mungkin tabu. Tapi bila anda sedang inteview kerja atau beasiswa atau apapun di mana pihak lain ingin tahu apa yang bisa Anda tawarkan, apakah harus tetap diam seribu bahasa? Lalu memohon pada Tuhan agar mereka bisa tahu dengan sendirinya kelebihan kita?
Yang kedua, jarang dari kita belajar untuk mengenal diri sendiri. Ehmmm sorry to say, kita lebih pandai untuk menggosip tentang kejelekan orang lain. Dibanding merenung untuk mengetahui siapa diri kita, apa potensi dan kelemahan yang ada?
Ketiga, semenjak kecil sebagian besar orang tapi tidak semua nanti aku bisa kena semprot neh... tidak mendidik anaknya punya rasa pede, orang tua lebih mengumbar kritikan dan sangat pelit untuk urusan pujian. Jadi sejak kecil telah terkonstruksi dalam diri anaknya bahwa memang mereka tak memiliki potensi apapun.
Tapi..., ini bukan saatnya untuk saling menuding siapa dan siap. Cobalah memulai dari diri sendiri. Coba gali dan temukan apa yang menjadi potensi diri. Lalu jadilah pemasar yang gigih akan potensi itu. Dan Anda akan jadi pemenang.... Itu pasti....


Yogyakarta, 240705

Cerminan Kita Lewat Reality Show

Saat menonton banyak reality show di negeri ini, kadang merasa miris, karena satu benang merah yang menghubungkan semuanya. Sang Pemenang lebih sebagai cerminan dari nasib baik. Tapi yang sangat kentara adalah “Penghuni Terakhir”.
Aku tak habis pikir, apakah ini memang cerminan bangsaku? Karena semua tontonan ini jelas tak mendidik. Memberikan harapan kosong, bahwa hanya keberuntunganlah yang akan membawa kita pada gerbang kesuksesan.
Itulah yang kemudian mendorong banyak orang memilih jalan pintas, datang ke dukun, ikutan arisan berantai yang ternyata berujung penipuan, dan hal lain yang pada intinya sedikit usaha tapi menghasilkan banyak (dalam harapan).
Orang tak punya pemikiran bahwa nasib baik, hanya akan tiba bila kita mau berusaha keras untuk menemukannya. Kesuksesan bukanlah datang dengan tiba-tiba. Kesuksesan haruslah diperjuangkan.
Inilah yang membedakannya dengan reality show Amerika, coba lihat saja “Survivor”, atau “The Apprentice”. Jikalau ingin membandingkan dengan yang juga melibatkan pemirsa, intiplah “American Idol”, kandidat yang tereliminasi memang yang terburuk. Karena sms dan telepon baru dibuka setelah acara selesai, dan satu nomor hanya bisa menghubungi sekali. Berbeda dengan di negeri ini, siapa yang mempunyai banyak masa maka ia yang menang, tanpa perlu melirik kualitas....
Lalu kapan bangsa ini akan dewasa? Kalo masih seperti ini jangan bermimpi akan mengalahkan ameriak? Dan jangan pula menangis bila kita akan selalu tertindas....


Yogyakarta, 230705

Saturday, July 23, 2005

Bangga Berteman Dengan Orang Hebat...

Aku Yang Ingin Tetap Menjadi Kanak-Kanak

Beberapa orang mungkin lebih menyukai disebut sebagai seorang yang dewasa... Tapi entah mengapa aku lebih menyukai diriku sebagai seorang kana-kanak sejati. Karena menjadi kanak-kanak lebih menyenangkan.
Seoarang anak melihat hidup dari sisi yang menyenangkan, semuanya serba indah. Setiap hari penuh dengan keriangan. Sementara orang dewasa memandang hidup terlalu berat, terlalu banyak dibebani dengan pengalaman dan masa lalu.
Yang kedua menjadi kanak-kanak membuat kita selalu terbuka pada semua hal yang baru. Seorang anak mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar dalam dirinya. Menyebabkan dirinya selalu menjadi pembelajar yang handal dan tak kenal lelah. Anak-anak lebih berani bertanya, tanpa merasa takut dirinya diperolok karena bertanya. Gak pernah ada perasaan gengsi.
Yang ketiga, anak-anak memandang dunia dengan cara yang berbeda. Mereka memandang dunia dengan penuh kejujuran dan tanpa beban. Sementara ketika kita beranjak dewasa maka akan semakin banhyak kepentingan yang bertarung dalam diri kita. Ada perasaan gengsi, takut, keinginan untuk selalu tampil sempurna.
Yah bagaimanapun menjadi seorang kana-kanak adalah sebuah berkah. Dan aku ingin menikmatinya seumur hidup.