Tuesday, August 30, 2005

Dokter Lagi???

Teringat dengan cerita sebelumnya, tentang seseorang yang anak dokter. Tertekan lagi??? Kagak ada cerita yang lain apa ya??? Lalu yang terpikir, ahhhh urusan dengan Dokter lagi!!!! Entah mengapa aku merasa sangat muak dengan kata Dokter!!! Tapi ini sangat subyektif pandangan aku semata. Soalnya udah berapa kali aku mendengar cerita tentang anak seorang dokter yang berada dalam tekanan luar biasa, karena profesi orang tuanya. Mulai dari yang maksa untuk masuk kedokteran walau otak agak kurang. Yang mampu, tapi sedikit terpaksa demi melanjutkan tradisi keluarga..

Terus kenapa aku tak suka dengan kata Dokter. Karena dulu orang tuaku sangat agak berharap aku masuk kedokteran. Ehm... kayaknya sangat menjanjikan dan sangat terpandang, tapi itu bukan gue bangettt, jadi terpaksalah aku mengecewakan mereka. Maafkan Bapak dan Ibu, anakmu ini memang bengal dan rada-rada nyeleneh.

Yang lain lagi, kata Dokter, mengingatkan cerita temanku yang lain, dulu kala saat masih kuliah di UNPAD. Ceritanya temannya sekosan ada yang anak kedokteran, dan ia memandang rendah temanku itu yang berkuliah di jurusan HI, Si calon Dokter ini merasa kuliah jurusan sosial itu kelas dua. Ia erasa kalo jadi dokter itu adalah derajat tertinggi. Sungguh sedih menyayat hati, kalo sebuah profesi merasa lebih hebat dari yang lain. Padahal semua kan penting, tak ada yang lebih hebat dari yang lainnya.

Kata Dokter juga mengingatkan dengan kuliah di kedokteran yang semakin mahal aja, bahkan di universitas negeri sekalipun. Masuk kedokteran sperti hendak berdagang saja, sapa berani bayar tinggi dia yang boleh masuk. So, hanya orang berduit yang boleh jadi dokter? Dan urusan otak menjadi nomor dua aja gitu...

Kata dokter juga membuat sebal, karena begitu banyaknya kassus malpraktek di Indonesia hingga menyebabkan pasien meninggal. Yang lebih sedih lagi tak ada undang-undang yang mengatur kerja dokter. Bila meraka salah pun tak ada yang berhak menghukum. Dengan enaknya dikatakan itu memang sudah takdir harus mati.

Belum lagi pengalaman buruk dengan dokter yang merawat ibuku, Dokter itu merasa bisaa sewenang-wenang dan dengan ketusnya menjawab pertanyaan salah seorang saudaraku saat ingin berkonsultasi. Kalo aku yang dibegitukan jelas aku memnuntut. Karena kita telah membayar dengan sangat mahal. Jadi berhak mendapat pelayanan yang terbaik.

Seharusnya profesi dokter tak perlu dianggap sangat istimewa, ia juga manusia biasa saja yang kebetulan memilih menjadi dokter. Hidup ini kan serba pilihan, jadi hormati seseorang dengan pilihannya.

Miris juga kalo anak-anak Indonesia ditanya cita-citanya hendak jadi apa? Semua seragam mau jadi dokter. Sapa yang salah? Tak mungkin anak sekecil itu membentuk konsep tanpa campur tangan orang tuanya.

Yogyakarta, 300805

Bagaimana Belajar?

Pertanyaan ini sering kali ditanyakan oleh teman-teman. Aku sendiri gak tahu kenapa mereka menanyakan pertanyaan itu ke aku. Apakah karena aku dianggap pandai? Padahal gak juga karena banyak yang lain yang lebih pandai. Atau mungkin karena aku sangat aktif di kelas? Atau karena pengetahuanku yang beragam dan melintas batas keilmuan dari yang penting, setengah penting, ampe yang gak penting sama sekali?

Terserahlah gimana persepsi orang. Namun yang jelas aku hanya ingin berbagi tentang makna belajar. Aku justru tak mengerti bila seseorang menganggap belajar itu kewajiban, belajar itu terpaksa. Karena dalam pandangan aku belajar itu indah, menyenangkan, menarik, kebutuhan. Kebanyakan orang memaknai belajar hanya terbatas pada apa yang dibawa dari kampus atau sekolah atau sesuatu yang sifatnya formal dan berijazah.

Sementara dalam benakku, belajar itu tak harus membaca buku teks yang berat, baca novel, baca koran, membaca situasi, menonton tv, mendengar radio, sambil bergosippp, bahkan hanya dengan mengamati raut wajah seseorang aku sedang belajar.

Aku tak tahu aku yang aneh, atau yang lain yang aneh. Tapi yang jelas belajar bagiku adalah kebutuhan, untuk mengetahui sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat aku tertarik.

Karena hanya dengan belajar maka aku tak akan terlindas zaman. Hanya dengan terus belajar, maka aku akan menggapai apa yang aku impikan di depan. Aku merasa banyak keterbatasan yang aku miliki saat ini, dan hanya satu yang membuat aku terus bersemangat untuk belajar karena aku ingin jadi seseorang. Aku ingin meraup semua impian-impianku.

Lalu mengapa orang begitu takut dengan kata belajar? Dulu aku pun juga sangat sebal dengan kata itu. Kata itu selalu bermakna nilai, atau ujian. Ya... itulah yang membuat belajar suatu keterpaksaan. Belajar tidak lagi bisa dinikmati karena dibarengi dengan bayang-bayang tujuan jangka pendek. Belajar akhirnya dipersempit dengan pemaknaan yang penting dapet nilai bagus, sementara ilmu apa yang diperoleh kosong sama sekali gak ada yang nyangkut.

Namun dengan berjalannya waktu, kita akan berkutat pada hal yang sama? Manusia kan semakin dewasa, maka ia juga harus memaknai suatu hal dengan lebih bijak. Maka belajarlah demi kesenangan diri sendiri, karena motivasi dari dalam bukan paksaan....


Yogyakarta, 290805

Mengulik Desperate Housewives

Jumat minggu kemarin aku nonton serial drama “Desperate Housewives”, yah memang itu bagian rutinitas yang wajib ditonton. Karena serial ini bukan hanya menghibur, tapi mengandung banyak makna yang patut untuk direnungkan.

Namun edisi Jumat kemarin menurut aku menawarkan adegan yang sangat mengesankan. Ketika Lynette salah satu tokoh utama dalam serial itu menangis tersedu-sedu di sebuah lapangan. Lalu dua orang sahabatnya datang menghampirinya, dan menanyakan ada apa gerangan?

Berceritalah ia, bahwa ia merasa kesal karena ia merasa gagal sebagai ibu rumah tangga yang baik, padahal sebelumnya ia adalah seorang wanita karir yang sangat sukses. Ia merasa tak sehebat teman-temannya dalam mendidik anak-anak.

Lalu terbukalah kedua sahabatnya, bahwa mereka berdua pun sempat dibuat frustasi, dan menangis saat anak-anaknya masih kecil. Lalu Lynette pun merasa terhibur karena ternyata ia tak sendiri. Lalu bertanyalah ia, “mengapa kalian tak pernah bercerita?”. “Apakah itu perlu?”, jawab kedua sobatnya.

Apa yang bisa dipelajari adalah kadang manusia tak sesempurna apa yang terlihat. Ada banyak kekurangan dari orang lain yang mungkin kita tak tahu. Dan terkadang kita pun malu untuk mengakui kekurangan diri sendiri.

Pikiran yang bergelayut hanyalah, hanya hal yang baik yang boleh ditampilkan. Kenapa? Toh dengan segala kegagalan, dan kekurangan kita, orang tak akan pernah memandang rendah pada kita.

Sehingga orang lain pun belajar bahwa sebuah pencapaian itu tidak datang begitu saja dan tiba-tiba. Itu membutuhkan proses yang sangat panjang. Ada pengorbanan di sana, ada usaha dan keringat di sana. Dan itu yang perlu ditularkan pada orang lain, jadi bukan hasilnya yang penting tapi bagaimana proses untuk menjadi.

Kalau seseorang hanya silau pada suatu pencapaian. Maka ia hanya akan terus ternina bobok. Ia pikir semua akan mudah. Semua ada jalan pintasnya. Akhirnya hanya ada dua pilihan, melakukan kecurangan atau menyalahkan keadaan.


Yogyakarta, 290805

Thursday, August 25, 2005

Membangun Tim

Ternyata aku baru menyadari mengorganisasi orang tak semudah yang dibayangkan. Kemana aja loe selama ini???? Yah begitulah. Ada begitu banyak tantangan saat bekerja dalam suatu tim.

Saat ini aku masih bekerja dalam tim kecil, seandainya nanti aku bekerja dalam tim yang besar, apalah jadinya? Wah kayaknya ada begitu banyak peer yang harus aku pelajari dari sekarang.

Tantangan tersendiri untuk menemukan sebuah metode membangun suatu tim yang solid, kompak dan sukses. Ternyata hanya membaca berbagai buku tentang kepemimpinant idaklah cukup.

Kemamampuan itu harus terus kuasah, detik demi detik, hari demi hari. Hingga akhirnya tiba saatnya dimana aku mampu mengatur sebuah tim dengan baik. Yah tambah lagi deh satu peer yang jadi tanggunganku ke depan. Tapi tak apalah bukankah hidup ini adalah proses untuk menjadi lebih baik tiap saat?


Yogyakarta, 230805

Memahat Kata

Menulis ternyata memang bukan produk massal. Saat aku memaksakan menulis puisi di kala sempat, ide itu tak juga muncul. Kalau pun ada kata-kata yang mengalir, sangat tidak memuaskan untuk disebut sebagai puisi.

Namun kata-kata itu kadang muncul begitu saja di saat yang tak diduga, di mana aku sangat malas untuk menuliskannya pada secarik kertas. Aku berharap kata itu akan muncul lagi bila aku memiliki waktu luang. Wah... ternyata itu tak bisa dilakukan. Karena kata-kata itu adalah wujud spontanitas yang tidak diarahkan, dan tidak dibina.

Anda sedang membuat karya seni bung!!! Iya dari dulu aku tahu, tapi tetap saja aku tak bisa telaten untuk segera menuliskan apa saja ide yang ada pada saat itu juga. Yang ada akhirnya adalah penyesalan karena kata-kata indah itu hilang sudah, dan tak ada kesempatan kedua untuk merekamnya pada sehelai kertas.....


Yogyakarta, 230805

Memahami Dan Mengerti Orang Lain

Beberapa minggu belakangan ini, aku banyak mendengar keluhan teman-teman tentang seseorang yang membuat hampir semua orang merasa kesal dengannya. Mungkin orang itu memang menyebalkan, aku tak bisa menghakimi karena aku memang tak tahu pasti. Aku belum pernah berhubungan langsung dengannya.

Tapi yang jelas aku pun pernah mengalami hal yang sama. Merasa tak nyaman dengan seseorang, bahkan hanya berdekatan pun bawaannya jadi emosi. Tapi seiring berjalannya waktu, aku belajar untuk mengerti orang lain, bahkan orang yang menurutku sangat menyebalkan sekalipun.

Memahami adalah kata kunci untuk meredam amarah dalam hati. Karena amarah itu bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri. Aku coba untuk mendekati semua orang dengan berbagai latar belakang mereka. Dan pada akhirnya, hingga saat ini banyak orang yang dulunya sangat aku benci. Namun menjadi teman baik. Dia jadi banyak bercerita padaku, tentang masalahnya, dan banyak hal lainnya.

Aku merasa ini adalah prestasi tersendiri. Karena aku telah memenangkan dua hal, menaklukkan diri sendiri, dan ini adalah hal yang paling sulit. Kedua, menambah jalinan pertemanan dengan banyak orang.

Walau memang, untuk bisa memahami orang lain perlu proses. Perlu kelapangan dalam berpikir, tapi aku selalu merasakan ini sebagai tantangan. Melihat segalanya dari sudut pandang berbeda membuat duniaku lebih cerah.

Yogyakarta, 230805

Crushbone, Indonesia Asli Lho!!!!

Suatu hari aku membaca koran, dan dari sebuah berita aku tahu ternyata Crushbone, sejenis olahraga basket dalam kerangkeng itu asli, dan orisinil kreasi anak negeri. Betapa bangganya aku sebagai anak Indonesia. Ternyata bangsa ini bukan hanya bisa membajak.

Tapi kita juga bisa membuktikan bahwa kita bisa berkreasi, menciptakan sesuatu yang berbeda. Crushbone sendiri katanya telah dimainkan pula di Malaysia dan Singapura. Tambah senanglah aku, karena kreasi anak negeri, juga bisa mendunia.

Aku pikir bangsa ini butuh ide-ide kreatif seperti itu. Kita butuh ide-ide orisinal, agar tak diolok-olok sebagai bangsa penjiplak. Atau bangsa yang hanya bisa mengkonsumsi, dan memakai tapi tak bisa membuat.

Untuk yang terakhir ini, bangsa-bangsa lain tak akan berteriak. Karena justru itu yang mereka inginkan. Indonesia tetaplah menjadi konsumen, bila kita pintar dan mampu membuat sendiri, siapa yang akan membeli produk mereka.

Tapi apa iya kita ingin terus seperti itu? Aku yakin semua komponen bangsa ini tak rela dengan predikat ini. Makanya semua elemen bangsa bangkitlah, ciptakan kreasi yang orisinil pada bidang masing-masing. Kreasi sekecil apapun memberikan sumbangan yang berarti, dan menimbulkan efek berantai.


Yogyakarta, 230805

Monday, August 22, 2005

Jangan-Jangan...

Berbicara tentang minoritas aku jadi teringat dengan sebuah wawancara kerja. Ceritanya aku bercerita panjang lebar tentang novel yang sedang kubuat, dan hingga kini tak beranjak untuk selesai. Aku menulis tentang kehampaan dan krisis identitas seorang tokoh keturunan Cina.

Lalu pewawancara bertanya, mengapa aku memilih tema itu? Apakah karena pengalaman pribadi? Tentu saja secara etnis aku bukanlah minoritas. Karena aku terlahir dari suku Jawa yang jelas-jelas mayoritas, dan tesebar di penjuru Indonesia.

Namun dalam benak timbul pertanyaan-pertanyaan. Jangan-jangan ketertarikanku pada isu minoritas bukan hanya masalah simpati. Tapi juga berujung pada diriku sendiri yang merupakan minoritas dalam beberapa hal yang tidak aku sadari.

Atau bisa saja cara berpikirku yang bagi sebagian orang terlihat eksentrik, dan katanya terlalu jauh ke depan, serta kompleks. Masak sih? Aku sih tak pernah merasa, tapi kadang kita tak bisa bercermin dari diri sendiri. Walau kadang dampaknya terasa, mengapa kok hanya begini, seharusnya kan begitu. Aku terjebak dalam frustasi karena tak ada yang bisa mengerti... Lalu benarkah itu? Ndak tahu ya..., Lha monggo terserah penilaian orang lain....


Yogyakarta, 220805

Tuhu, American Wanna Be

Mungkin bagi yang hanya membaca judul itu akan mencibir, ketidakkonsistenan aku dalam berpikir. Tapi tunggu dulu, berikan penilaian Anda setelah membaca keseluruhan tulisan ini.

Mengapa aku ingin seperti orang Amrik? Bukan gaya hidup, atau tinggal di Amrik atau apapun. Yang aku ingin dari mereka adalah semangat mereka yang luar biasa. Keinginan untuk berkompetisi yang menggebu.

Keras kepalanya orang Amrik yang tak mudah menyerah menghadapi kegagalan. Dan pandangan mereka yang selalu mendunia. Mereka sepertinya terlahir dengan doktrin untuk menjadi penguasa dunia. Ketika menjadi penyanyi mereka ingin mendunia, mendirikan perusahaan untuk mendunia, ilmuwan pun puncaknya adalah mendunia.

Pikiran yang dibangun sejak awal inilah yang membuat mereka menjadi yang saat ini. Sementara kita hanya berkutat untuk bermimpi jadi jago kandang. Mengapa kita tak mengubah cara pikir? Semuanya berawal dari niatan dan harapan. Tak ada yang muncul dengan tiba-tiba.


Yogyakarta, 220805

Minoritas Cina, Betapa Malangnya Nasibmu...

Isu ini sebenarnya basi untuk dibicarakan. Namun aku kembali tergugah untuk menuliskannya, saat beberapa hari yang lalu menonton talk show profil seorang pemenang medali perunggu olimpiade kimia tingkat dunia. Dan kembali aku melihat guratan wajah Cina.

Sungguh malang nasib orang Cina di Indonesia. Saat terjadi konflik mereka selalu menjadi korban pertama dan utama. Mengapa? Apakah karena merekalah sang minoritas? Ataukah karena mereka yang menguasai ekonomi bangsa ini?

Jangan-jangan ini menunjukkan mental kita yang pengecut. Beraninya bertarung dengan pihak yang lemah, yang mudah diinjak-injak, dan tak akan berdaya melawan. Pelarian atas rasa frustasi karena tak mampu bertarung dengan Si Kuat. Berusaha untuk mencari kambing hitam, karena tak ingin disalahkan.

Tapi pernahkah kita iri pada kerja keras mereka? Bukan hanya sekedar apa yang mereka hasilkan? Pernahkah kita memberikan penghargaan bagi mereka yang telah mengharumkan nama bangsa. Bukan hanya sekali ini pemenang medali olimpiade diraih keturunan Cina. Mulai dari olimpiade astronomi, biologi, bahkan fisika kebanyakan keturunan Cinalah yang mempersembahkannya.

Namun mengapa kita tak pernah adil untuk memuji prestasi mereka? Apakah lagi-lagi gengsi yang bermain? Kadang aku bingung memandang realita. Kita terlalu lama hidup dalam kemunafikan. Bila mereka berprestasi, kita anggap biasa saja, mereka adalah bagian dari kita.

Tapi bila menyangkut ekonomi, kita menganggap mereka sebagai minoritas yang bukan Indonesia. Mereka tetaplah pendatang yang belum diterima sepenuhnya. Meski mereka lahir dan besar menghirup udara negeri ini. Kesalahan mereka hanyalah karena berkulit putih, bermata sipit, dan bekerja lebih keras...

Ironis memang....


Yogyakarta, 220805

Thursday, August 18, 2005

Belajar di MM UGM, Belajar yang Bukan Hanya Belajar...

Lho apa maksudnya, mungkin agak sedikit bingung menerjemahkan apa yang dimaksud dari judul ini. Maksudku adalah okay, belajar di MM maka aku belajar tentang manajemen, tentang menjalankan dunia bisnis. Tapi aku pikir sangat rugi kalo aku hanya mematok pembelajaran pada hal-hal yang itu-itu saja.

Karena ada banyak hal lain yang bisa aku pelajari. Di MM UGM, ada begitu banyak kegiatan yang diwadahi dalam klub mahasiswa. Dari kegiatan itu saja aku sudah belajar banyak hal, belum lagi belajar bekerja sama, mengenal lebih dalam kepribadian seseorang.

Lalu juga belajar mengemukakan pendapat, dan ide agar bisa diterima oleh orang lain. Selain itu latar belakang jurusan dan universitas yang beragam dari teman-teman. Ini juga menjadi sumber pengetahuan yang enggak terbatas. Karena fokus utamaku kuliah di MM adalah mengembangkan soft skill dan interpersonal skill yang tak bisa dijelaskan di kelas, namun membutuhkan pengalaman dan praktik. Ehm..., kadang aku heran mengapa banyak orang terjebak dengan hanya memfokuskan diri untuk belajar pada buku teks, dan yang diajarkan di kelas.

Padahal banyak hal yang bisa dipelajari. Dan belajar bukanlah proses yang menakutkan, tapi proses yang harusnya menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan.


Yogyakarta, 170805

Andaikan basket Bukan Amerika Punya...

Kadang aku bertanya-tanya mengapa anak-anak SMU, atu remaja umumnyalah di Indonesia sangat mengidolakan para pemain basket di sekolahnya. Lalu aku sampai pada kesimpulan, itu karena basket Amerika punya.

Dan mereka termakan oleh film-film Hollywood yang menjadi santapan mereka sehari-hari yang selalu mengangkat basket, dan kerennya para pemain basket. Ehm... kagum juga aku sama orang Amrik ini...

Apapun yang mereka buat, bisa dijualnya ke seluruh dunia. Bahkan gaya hidup mereka. Semua merasa takut bila enggak gaya ala Amrik. Atau bangsa Indonesia aja yang minderan, dan mudah dipengaruhi tapi sok merasa dirinya pede?

Walah ndak tahu saya, kayaknya penyakit bangsa ini cukup lumayan akut untuk urusan begituan. Yah paling enggak langkah awal yang bisa dilakukan adalah mari hargailan diri sendiri. Bahwa semua orang diciptakan dengan keunikan masing-masing, dengan kelebihan dan kekurangannya. Lalu setelah itu berusahalah menghargai orang lain, dengan kelebihannya.

Pujilah kelebihannya, jangan berpelit-pelit memuji. Mengapa kita hanya pandai mengumbar celaan? Ciptakan generasi baru Indonesia yang pede, dan mengenal dirinya. Jadilah orang tua yang baik, teman yang baik, kakak yang baik, guru yang baik, atasan yang baik. Maka dari langkah itu, dunia akan perlahan bergeser. Dan aku yakin Indonesia bakal menemukan titik cerah. Gerakan kecil ini lebih baik dari hanya sekedar saling menyalahkan, dan menggerutu akan kemerosotan bangsa.

Satu pertanyaan terakhir, apa iya basket tetap populer kalo dia tak populer di Amrik?


Yogyakarta, 170805

Orang Terbego Sedunia

Kadang aku tersenyum sendiri, ternyata aku tak seharusnya merasa hebat. Karena hampir seminggu yang lalu. Aku dibuat keringat dingin hanya cukup dengan sebuah hitungan matakuliah Finance yang sangat sederhana.

Harus diakui bahwa sejak SMU, aku mulai trauma dan begitu takut dengan hitung-menghitung. Padahal sejarah NEM SMP dan SMU-ku menunjukkan bahwa nilai tertinggi disumbangkan matematika dengan keduanya kuperoleh lebih dari 9.

Tapi entah mengapa sejak SMU aku merasa hitungan bukan lagi duniaku. Apalagi menginjak kelas 3 SMU yang IPA. Aku seperti terseret-seret dengan banyaknya pelajaran hitungan.

Dan semenjak itulah hitungan dan angka yang bahkan sederhana sekalipun bisa menjadi momok yang menakutkan. Namun ini bukan berarti aku boleh pasrah begitu saja, aku yakin aku tak sebodoh itu dalam hitungan. Logika angkaku cukup bagus, buktinya adalah nilaiku saat SD dan SMP.

Masalahnya lebih pada psikologis, yang harus bisa aku atasi. Aku harus mulai belajar berkawan kembali dengan hitungan. Hanya perlu sedikit kesabaran dan ketekunan. Dan aku yakin aku akan bisa menjadi master lagi dalam hitung-menghitung. Ehm... Hope So Much....


Yogyakarta, 170805

Upacara Pembodohan

Hari ini katanya hari kemerdekaan. Orang-orang merayakan dengan upacara bendera. Upacara yang menurutku hanyalah pembodohan, dan berjemur yang sia-sia. Biarkan saja orang berkata aku tak nasionalis, atau tak menghargai jasa pahlawan atau apapun.

Yang menjadi masalah bukanlah penghormatan dengan upacara. Yang lebih penting bagaimana kita semua memberikan kontribusi masing-masing bagi perkembangan bangsa ini dengan kemampuan masing-masing.

Bila anda seorang ilmuwan, temukanlah hal baru yang mengembangkan pengetahuan, bukan hanya pandai menjelaskan pemikiran orang lain. Bila anda seorang seniman ciptakanlah karya yang orisinal, dan tak jadi penjiplak. Bila anda pemimpin, doronglah anggota anda untuk bekerja lebih baik.

Semua orang berhak untuk menjadi pahlawan dengan caranya masing-masing. Pahlawan bukanlah hanya orang yang dulu memperjuangkan bangsa ini. Hingga berhak untuk selalu dikultuskan. Mereka lebih menyukai manusia Indonesia yang bersemangat memberikan tenaga, dan upaya bagi perkembangan bangsa ini.

Daripada hanya sekedar berpanas-panasan, mengkayalkan romantisme perjuangan masa lalu, dan terus membanggakan kebesaran masa lalu. Ayolah segera sadar, kebesaran masa lalu tak akan mengubah apapun bila kita tak berusaha.
So, masihkah berpanasan di terik matahari hanya demi upacara masih begitu pentingkah?


Yogyakarta, 170805

Gumunan....

Mungkin bagi yang bukan orang Jawa tidak mengerti. Apa kira-kira kata yang tepat dalam bahasa Indonesia? Pokoknya orang yang kampungan dan mudah terkagum-kagum akan hal-hal baru. Ya... dan orang itu bernama Tuhu.

Mengapa aku perlu menuliskannya? Karena hari ini hal itu terulang lagi saat aku melihat salah satu temanku berchatting ria dengan web cam. Aku sih tak pernah merasa malu dikatakan seperti itu.

Kenapa mesti malu mengakui bila kita memang kagum akan sesuatu hal. Bukankah ini sebuah kejujuran? Menyadari bahwa ternyata ada begitu banyak hal yang belum aku tahu. Dan mengingatkan aku hendaknya untuk tidak pernah puas dengan apa yang aku tahu?

Kedua dengan sikap seperti ini, aku tak takut-takut belajar dan bertanya, gak ada rasa gengsi untuk malu bertanya padahal memang juga gak tahu.

Dan juga aku merasa bila rasa kagum muncul dalam diri ini. Hidup terasa indah dan begitu menggairahkan.


Yogyakarta, 170805

Wednesday, August 10, 2005

Menemukan Talenta dari Kacamata Tetangga

Kadang mengenali diri sendiri melalui orang lain membuat kita merasa sangat takjub. Begitu juga yang aku alami, sangat sederhana sebenarnya. Aku takjub karena tulisan-tulisanku mempunyai dampak yang begitu besar bagi banyak orang.
Beberapa tulisan yang aku buat sempat membuat geger, dalam artian mereka merasa sangat tersentuh oleh tulisan itu. Aku sama sekali tak pernah menyangka dengan komentar mereka, bahwa membaca tulisanku beberapa orang hingga memerlukan menitikkan airmata. Ada pula yang berkata tulisanku sangatlah heroik, mungkin orang yang mengatakan hal itu juga sedang membaca tulisan ini he... he...
Aku merasa takjub karena aku tak pernah berjuang keras untuk itu. Ini bukan dalam arti kesombongan. Ini dalam artian penuh syukur. Sepertinya benar kata seseorang dulu..., kamu telah diberi bakat oleh Tuhan dengan tulisanmu, maka jangan sia-siakan itu.
Mengingat semua ini aku merasa malu, dan sangat bersyukur betapa Tuhan telah memberikan banyak hal bagiku. Hal-hal yang sepertinya begitu melekat dalam diri ini tanpa perlu banyak berusaha. Jangan-jangan masih banyak hal lain yang sebenarnya sebuah potensi yang belum sempat aku garap? Dan tak sepantasnya talenta itu dikubur begitu saja, karena sesuatu disematkan untuk digali dan dikembangkan bukan? Semoga semua talenta yang Tuhan titipkan mempunyai banyak arti bagi orang lain.


Yogyakarta, 100805

“Emak” yang Melintasi Dua Memoar

Baru saja satu buku lagi kulahap, judulnya “Emak” karya Daoed Joesoef. Mengapa Emak, karena ia menulis memoarnya tentang sosok Emak yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Lalu mengapa tidak Bapak? Bukankah ia juga memberikan pengaruh dalam kehidupan kita. Entahlah tapi seandainya aku pun ditanya pasti aku akan menjawab Ibulah yang paling berpengaruh dalam hidupku.

Buku yang sangat menyentuh, penggambaran tentang Emak yang sangat cerdas meskipun tak bersekolah tinggi, serta memiliki pengetahuan dan pemikiran jauh ke depan. Ia menanamkan banyak nilai-nilai yang sangat indah, terutama tentang pentingnya pendidikan.

Namun satu yang sangat kuingat, tentang sosok Emak, yang selalu menyediakan lauk-pauk daging ayam bila anak-anaknya akan ujian di sekolah. Lalu aku pikir kok sama ya dengan Ibuku, apakah ini memang naluriah keibuan?

Aku teringat saat aku masih di bangku sekolah, kala musim ujian, Ibu selalu menyediakan lauk-pauk ayam goreng yang merupakan favoritku. Agar aku bisa mengerjakan ujian dengan baik. Katanya saat ujian harus makan makanan bergizi biar pintar...

Entahlah apakah saat ini aku telah memenuhi harapan ibuku tentang anak yang pintar? Apakah yang telah aku lakukan selama ini telah mampu paling tidak sedikit membilas pengorbanan yang telah ia lakukan?

Air mata ini seperti harus saja menetes bila mengingat apa yang telah dilakukan oleh Bapak dan Ibu demi kemajuan anak-anaknya. And I just think, apa yang sudah aku lakukan untuk mereka?



Yogyakarta, 100805

Tuesday, August 02, 2005

Membaca Ulang Cerpen-Cerpen Itu

Setelah lama terjun dalam tulis menulis cerpen. Aku terhentak oleh temuanku sendiri bahwa sebagian besar dari karya yang aku tulis bercerita tentang kemunafikan. Orang-orang yang munafik dalam banyak hal, mulai dari soal cinta, gengsi, dan arti kebahagiaan.
Lalu aku mulai resah? Apakah aku setumpul itu dalam hal kreativitas? Hingga tak bisa menulis jauh dari tema itu? Tapi bagaimanapun berusaha, ide-ide yang muncul muaranya sama, tentang kemunafikan.
Mulailah aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Dari manakah nilai-nilai ini muncul? Karena aku yang membenci kemunafikan, dan menginginkan dunia yang lebih jujur pada diriku dan juga pada semua orang?
Atau jangan-jangan penyakit itu tanpa disadari mengegrogoti diri ini. Aku sebenarnya tak beda jauh dengan tokoh-tokoh dalam ceritaku dalam bentuk yang lain, dan tentang kemunafikan yang lain.
Aku ini seorang pendekar yang memperjuangkan kejujuran, atau sedang menterapi diri sendiri?
Aduh entahlah, semakin aku bertanya maka semakin aku tidak akan jujur pada diri sendiri. Ternyata memang tidak mudah untuk jujur bahkan pada diri sendiri. Namun haruskah itu selalu dijadikan pembelaan?


Yogya, 020805

Memacu Adrenalin Dengan Pengalaman Baru

Aku tak tahu mengapa aku begitu senangnya dengan sesuatu yang baru. Mencoba hal-hal baru membuat adrenalin serasa mendidih. Rasanya hidup ini akan membosankan seandainya semua serba sama, dan rutin.
Makanya aku selalu ingin ada yang baru tiap detik dalam hidupku. Kebaharuan membuat aku harus terus belajar dan mengembangkan diri. Membuat aku sadar, bahwa aku belumlah apa-apa.
Mungkin banyak orang akan merasa heran melihat pengalaman yang pernah aku alami, mulai dari kegiatan yang sangat serius sampe urusan hura-hura semua pernah dicoba. Dan aku merasa enjoy aja dengan semuanya. Hidup ini kan harus seimbang, kalo enggak bisa meledakkk.
Aku juga entah mengapa tidak menyukai kenyamanan atas suatu tempat atau benda atau apapun. Aku selalu ingin terbang ke tempat-tempat baru, beradaptasi, menyelaraskan diri, menaklukkan lalu terbang lagi ke tempat baru. Di mana di sana ada banyak tantangan baru yang lebih menggoda.
Walau jujur terkadang banyak kenangan dan keindahan masa lalu begitu menggoda untuk disambangi kembali. But it just for a moment.
Aku tak akan membiasakan diriku dengan kemanjaan akan kenyamanan. Karena itu adalah awal dari kehancuran. Ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita coba, sementara waktu begitu singkat. Alangkah sayang bila kesempatan itu terbuang sia-sia.


Yogya, 020805

Monday, August 01, 2005

Pelajaran Sebuah Pistol Air...

Aku masih sangat ingat dengan sebuah mainan pistol air berwarna hijau. Bukan mainan yang bagus memang, hanya pistol yang terbuat dari plastik seharga lima ratus rupiah. Namun yang berharga adalah pembelajaran yang diperoleh, yang menjadi pondasi hingga sekarang.
Bagi orang lain, mungkin sangat mudah untuk memperoleh mainan itu. Tapi tidak untuk aku, Bapak dan Ibu tak suka membelikan mainan. Oleh karena itu aku harus memutar otak sendiri bagaimana bisa membeli. Oleh karena itu aku harus rela untuk tidak jajan selama lima hari bertutur-turut demi mainan.
Tiap hari saat aku melihat tukang mainan keliling lewat aku hanya bisa memegang, dan bersabar hingga uangku terkumpul. Sementara di sekolah, saat istirahat tiba, aku belajar mengendalikan diri dengan hanya melihat teman-teman membeli jajanan, sementara aku hanya bisa mengecap air liur.
Dari sanalah aku belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu harus berani berkorbnan, dan penuh kesabaran. Saat itu aku masih sangat kecil paling baru kelas satu SD. Tapi aku meletakkan suatu tekad yang kuat untuk selalu setia dengan apa yang aku inginkan.
Belajar untuk bersabar, di saat anak-naka lain tinggal merengek dan dibelikan. Belajar menghargai setiap hal, di saat yang lain menganggap semua hal datang begitu saja dari langit.
Terima Kasih Bapak..., Ibu.... Kini aku tahu betapa ini adalah pelajaran yang sangat berharga.
Aku tak mudah mengeluh menghadapi keadaan. Aku tak kenal gentar menghadapi rintangan....


Yogya, 010805