Friday, October 28, 2005

Desertasi Yang Menggugah

Seperti yang pernah kutulis, aku membaca desertasi yang sangat menarik. Desertasi doktoral dari Lori J. Flint di University of Georgia, Athens, mengapa sangat menarik? Aku menyelesaikannya hanya dalam kumulatif waktu 6 jam saja, selama 3 hari bereturut-turut. Penasaran dengan judulnya? “Self-Intervention of Gifted Underachievers: Stories of Success”.

Banyak hal menarik yang bisa dievaluasi. Pertama, desertasi ini sangat mudah dibaca, saat dapat di internet, aku pikir ini buku gratis. Tak terbayangkan ini desertasi, dan baru sadar setelah membaca sebagian. Desertasi ini ditulis dengan bahasa yang sangat mudah, dan gak ada istilah yang susah.

Padahal desertasi itu dalam bahasa Inggris, dan studinya tentang psikologi. Jadi bisa dibayangkan betapa jauhnya jarak aku, dan desertasi itu untuk bisa dimengerti. Tapi aku kok gak ngerasa susah ya, dan nyantai aja kayak membaca buku “Harry Potter” edisi Inggris.

Lalu aku membayangkan andai saja semua orang pintar, bisa menulis dengan bahasa segampang itu. Pastinya lebih banyak lagi orang yang pintar di dunia ini. Apakah begitu susah untuk menjelaskan konsep keilmuan dengan bahasa sederhana?
Atau karena gengsi, tak ingin disamakan dengan masyarakat kebanyakan???

Desertasi ini mengupas soal orang-orang berbakat, yang dulunya berprestasi dibawah kemampuannya, namun saat ini telah memanfaatkannya secara maksimal. Flint berusaha mencari tahu, apa titik tolaknya hingga mereka mampu bangkit dari persoalan itu. Respondennya terdiri atas empat orang, metode penelitian yang digunakan wawancara mendalam.

Temuannya antara lain, seluruh responden menyatakan pernah berkeinginan untuk bunuh diri. Ehmmm, ini mengkonfirmasi beberapa teman yang aku bisa merasakan aura keberbakatan mereka, dan mereka pun pernah berpikir untuk bunuh diri pada suatu masa dalam hidupnya.

Temuan lainnya, keempat responden itu pernah mengalami kesulitan dalam bergaul, terisolasi secara sosial, karena mereka berbeda dengan yang lain. Namun hanya tiga dari keempat orang itu yang menyadari kalo ia berbeda, sementara seorang lagi merasa ia tak berbeda.

Yang lebih mengagetkan lagi, adalah definisi tentang underachiever, ada seorang responden yang selalu menjadi bintang di kelas, dan mendapat nilai minimal B+ naumn tak pernah belajar. Ia masih merasa tak puas karena dia menganggap dirinya malas. Oh Tuhan, gak terbayang gak belajar aja udah segitu nilainya, gimana kalo belajar ya???

Lalu kesimpulan dari desertasi itu, mereka yang underachiever akhirnya berhasil memanfaatkan potensinya secara maksimal karena mereka menemukan seorang figur yang membuatnya merasa tertantang untuk berprestasi lebih baik lagi. Karena orang-orang yang selama ini bersamanya, kebanyakan orang tua hanya membiarkan saja dirinya berjalan tanpa memberikan standar yang menantang.

Padahal orang-orang berbakat membutuhkan tantangan agar tidak mengalami kebosanan. Karena ibarat lomba lari, mereka start lebih awal dan berlari lebih kencang. Jadi kebosanan adalah jawaban saat tak ada lagi yang menantang untuk dilakukan.

Temuan lainnya yang aku dapatkan, tapi aku lupa apakah juga ada di desertasi. Berdasar analisis jender, wanita lebih mampu berdamai dengan situasi kebosanan. Wanita akan menyikapinya dengan penuh ketelatenan untuk menghadapinya, sementara pria lebih memilih untuk meninggalkan begitu saja. Putus sekolah, dan memperoleh cap anak nakal dan bodoh.

Yah begitulah yang aku tangkap dari desertasi itu. Buat yang berminat untuk tahu lebih bantak soal orang berbakat atau temuan dari desertasi itu. Silahkan menghubungi saya lewat e-mail. Toh ilmu itu ada untuk dibagi bukan???

Yogyakarta, 281005

Thursday, October 27, 2005

Mikul Dhuwur Mendem Jero, Jero-Jero Malah Kependem

Buat yang tak mengerti bahasa Jawa, peribahasa itu artinya menjunjung tinggi nama baik, dan menyembunyikan aib sebisa mungkin. Lalu aku menambahkan pelesetan “Jero-jero malah kepndem”. Sebagai sindiran kalau semuanya dipendam tanpa dicari solusinya yang ada malah tenggelam.

Lalu kenapa aku sampe pada ide ini? Ceritanya beberapa hari yang lalu, aku urun rembug pada salah satu milis. Yah memang nadanya lumayan keras, mengkritik sesuatu. Isu utamanya adalah tentang kebanggaan, dan kecintaan atas titttt harus disensor kayaknya. Tapi aku lupa, kalau ranah yang sedang aku jamah ini adalah milis ala Yogya punya. Dan aku harusnya aku bisa lihat tempat, ehmm lumayan salah juga sih he... he...

Maka bereaksilah yang lain dengan keras. Kalo yang punya saja gak merasa bangga, gimana yang lain. Lalu muncul pertanyaan pada diri sendiri. Apa kalo kita bangga, lalu harus menutup mata atas kenyataan? Tetap merasa hebat kalo ternyata keropos??? Bukankah autokritik itu justru membangkitkan semangat untuk merangsek lebih maju?

Lalu sempat aku renungkan dan teringatlah aku dengan peribahasa di atas. Ternyata memang budaya Jawa yang satu ini, benar-benar mendarah daging. Dan itulah mengapa kita gak maju-maju. Gak papa kan kalo aku ngomong lebih keras daripada di milis hi... hi... Ini kan ranahku sendiri, jadi bebas mengemukakan pendapat.

Orang Jawa terbentuk untuk terlalu gengsi mengkritik dirinya. Padahal hidup terus berputar, harus diakui kalo kita memang juga berbuat kesalahan. Kenapa begitu takutnya salah? Seharusnya kesalahan itu dievaluasi untuk diperbaiki.

Kadang-kadang aku ampe gedek-gedek dibuatnya, oalah piye tha bangsaku ini. Ada sesuatu yang salah kok maunya ditutupi aja. Kalo maksud aku kan, dibuka di kalangan internal, lalu bersama-sama dicari solusinya. Bukannya bangga-bangga membabi buta.

Kalu menurut aku sih, itu lebih baik. Daripada itu dipendam terus-menerus, yang tidak menyelesaikan masalah. Pada akhirnya meledak atau tenggelam beneran, kayak anekdot yang menjadi judul tulisan ini. Orang lebih suka terlambat menyadari, lalu kebingungan mencari solusi saat terdesak, dan tak banyak pilihan.

Semoga saja tafsiranku ini tak benar adanya, ya tapi kalo ternyata benar. Ya marilah kita bersama-sama mengubah cara pandang menyikapi sesuatu. Toh ini juga untuk kepentingan diri sendiri.

Memelihara budaya bangsa tentunya sangat diwajibkan, tapi mbok ya pilih-pilih yang bagus yang diambil. Ini kok kebijakan lama yang indah ditinggalkan, tapi justru yang gak mutu-mutu malah dipertahankan.

Haruskah aku menangis lagi, melihat cara pikir yang jelas-jelas gak penting ini. Ah mbuhhh ra ngerti. Terlalu banyak hal janggal di jagad Indonesi tercinta ini.


Yogyakarta, 271005

Wednesday, October 26, 2005

Demi Mencari Jawaban

Beberapa tahun lalu, saat itu masih kelas satu SMU. Diadakanlah tes psikologi dan hasilnya mengatakan kalo aku termasuk siswa berbakat bersama beberapa teman yang lain. Ehmmm, saat itu gak ngerti apa artinya, lalu apa pula implikasinya?

Saat kuliah, aku ingat sekali, ada artikel di koran yang membahas topik itu. Maka semakin penasaranlah aku untuk mencari tahu apa arti berbakat, atau dalam bahasa inggris disebut “gifted”. Selama beberapa tahu terakhir ini, aku telah mengumpulkan puluhan artikel tentang tema ini.

Aku begitu penasarannya, untuk hanya sekedar tahu, benarkah aku berbakat? Jujur terkadang aku sangsi dengan diri sendiri. Soalnya berbakat banyak yang mengartikan punya IQ di atas normal, padahal hasil tes IQ-ku, yang aku tahu norma-normal aja he... he...

Maka selama beberapa tahun ini pulalah, aku terus bergelut mencari informasi di internet. Hingga saking gilanya, beberapa hari yang lalu aku baru saja menamatkan sebuah desertasi dari AS setebal 320 halaman.

Namun tetap saja, pergulatan “Am I gifted?” masih terus mengiang-ngiang di benakku. Aku tak yakin kelebihan orang berbakat ada pada diriku. Tapi yang jelas beberapa dampak negatifnya sangat bisa dirasakan. Kadang aku terjerumus depresi, karena gak bisa mencapai yang aku mau. Kata orang aku menetapkan standar yang sangat tinggi. Benarkah, padahal kalo menurut aku sih itu wajar???

Kadang pula, aku merasa terasing, karena orang tak juga mengerti cara pandangku. Terus merasa waktu 24 jam rasanya tak pula cukup, karena begitu banyak yang ingin dilakukan. Ya... dulu saat aku tak mengerti banyak soal berbakat aku merasa sangat kewalahan.

Saat ini, semenjak aku tahu tentang konsep gifted, walau aku tak percaya seratus persen aku berbakat. Paling tidak aku lebih bisa mengendalikan diri, tidak mudah terlarut dalam stres, berusaha sedikit menurunkan standar. Dan menyadari di balik semua ini, pasti ada hikmahnya.

Karena sungguh menjadi berbeda sangat tidak mengenakkan. Begitu banyak tuntutan dari lingkungan, begitu banyak tekanan. Banyak sekali harapan dari orang lain, sementara tuntutan atas diri sendiri pun udah begitu tingginya. Beberapa teman yang menurutku berbakat, kulihat menjadi sering resah, stres berat, dan frustasi. Karena mereka tak menyadari kalo mereka memang berbeda. Dan belum menyadari perbedaan itu menciptakan jarak, yang kadang perlu jembatan untuk menghubungkannya.

Finally, walau aku tak yakin dengan keberbakatanku. Paling tidak aku berusaha berdamai dengan diri sendiri. Dengan keyakinan semu itu, aku memanfaatkannya untuk memacu diri lebih keras lagi. Soalnya, menurut literatur orang berbakat adalah orang yang pintar, hebat, dengan berbagai variasinya mulai dari seni hingga akademik, yang terkenal termasuk di dalamnya Einstein, Edison, Davinci, dan masih banyak lagi lah. Ehmmm kayaknya gak gue banget gitu lohhhh.

Yogyakarta, 251005

Saturday, October 22, 2005

Terkunci Di Kandang Ayam???

Gak percaya??? Yakin banget pasti banyak yang gak bakalan percaya. Tapi ini benar-benar nyata, dan bukan cerita fiksi. Kejadiannya adalah puluhan tahun lalu, kira-kira aku paling baru berumur 3-4 tahun. Dan yang lebih memalukan lagi itu kandang ayam tetangga.

Ceritany adi Sorong, memang kandang ayam biasanya digembok. Karena banyak sekali maling ayam. Nah saat kecil entah kenapa, aku tertarik banget dengan namanya ayam. Kalo ayam mulai masuk kandang, maka ikutlah pula aku masuk ke kandang hanya sekedar ingin tahu, dan memegang ayam-ayam itu.

Dan itu menjadi ritual hampir tiap sore, nah kebetulan hari itu kecelakaan. Hari sudah lumayan gelap, dan si pemilik ayam tak tahulah kalo aku masih tertinggal di kandang. Kejadian itu sungguh membuat malu, tapi tetap saja aku tak menyerah untuk menginspeksi kandang ayam tetangga.

Namun perlu digaris bawahi, aku sama sekali gak pengin nyolong. Maaf aja ya, aku tak punya bakat kriminal he.. he..., aku cuma ingin mengamati perilakunya, apa yang mereka lakukan hanya itu. Lucu sekali ya, kayaknya gak umum buat anak kecil seumuran.

Entah mengapa memang sejak kecil aku begitu ingin tahu banyak hal, sampe sekarang juga masih sehhh (Gitu komentar teman-temanku). Nah waktu kecil, saking tertariknya dengan ayam. Bila ditanya apa cita-citanya, “Mau jadi dokter ayamaru”. Ayamaru sebenarnya adalah suku bangsa yang ada di Irian. Yang aku maksud sebenarnya adalah dokter hewan, karena aku kan senang sekali dengan ayam-ayam saat itu. Maka aku mengasosiasikan “dokter ayamaru” dengan dokter hewan, maklumlah namnya juga anak kecil yang sekolah TK pun belum.

Pikirannya sangat sederhana, enak kali ya... jadi “dokter ayamaru” tiap hari kan bergumul dengan ayam-ayam. Kalo bisa malah tidur pun sekandang sama ayam-ayam he... he...

Kadang bila teringat masa kecil itu, rasanya sangat menggelikan. Kok bisa begitu bodohnya aku ini. Tapi aku gak pernah menyesalinya. Dulu sempat sih merasa itu aib, tapi lama-kelamaan ini justru menunjukkan kalo memang aku sejak kecil mempunyai hasrat keingintahuan yang luar bisa yang harus terpuaskan. Kalo tidak bisa kebawa terus bahkan sampe mimpi segala.

Ehmmm petualangan yang aneh bukan, tapi bukankah hidup sendiri adalah pentualangan? Tergantung apakah kita bisa menarik pelajaran darinya atau tidak. Dan hanya orang bodohlah yang tak mengambil pelajaran atas pengalaman masa lalunya.


Yogyakarta, 221005

Friends Forever....

Tiba-tiba saja aku ingin menulis tentang seorang teman, karena dalam e-mail terakhirnya ia mengatakan, sapa tahu dia bisa menjadi inspirasi untuk menulis blog. Aku pikir, kenapa enggak??? Soalnya kita adalah teman sejak lama, bahkan lama banget, hampir basi he... he...

Bayangkan saja kami berteman sejak SD, dan sejak itulah hingga SMU kita satu sekolahan. Hingga kini dia udah kerj,a sementara aku masih saja bersemangat untuk kuliah. kita masihlah teman baik yang sering berbagi, dan bertukar pikiran.

Heran juga kenapa bisa kita berteman begitu lama??? Pertama mungkin karena kita sevisi, punya banyak kesenangan yang sama. Impian-impian dan ambisi yang hampir sama, yang akhirnya membuat apapun omongannya, selalu aja nyambung.

Kedua, dia adalah role model, yang menjadi inspirasiku sejak aku kecil. Gimana tidak??? Dulu aku membayangkan senang kali ya, jadi orang yang pinter, populer dan disenangi banyak orang, kayak dia.

Lalu dikit demi dikit, belajarlah aku secara diam-diam dari dia. Mungkin dia sendiri gak pernah ngerasa. Yah, waktu dulu sapa sih Tuhu, hanya si gendut yang tak akan ada yang memperhitungkan sama sekali. Cengeng gak penting, di pelajaran juga lemot aja gituh.

Tapi, semenjak bertemu dengan dia. Aku rasanya kok jadi tertantang juga, pengin jadi orang hebat. Maka mulailah sedikit demi sedikit memperbaiki diri, belajar lagi dan lagi.

Dan beruntung pula kami selalu satu sekolah hingga SMU, walau mungkin setelah SMP dan SMU role model telah bertambah seiring dengan makin banyaknya teman. Tapi tetap saja dia menjadi salah satu trend setter.

Yah begitulah, dari sanalah aku terus belajar tanpa kenal lelah. Dan tak tahulah apakah saat ini aku lebih baik dari Sang Guru??? Ah ndak juga, dia masih punya banyak kehebatan yang tak mungkin ditandingi, karena beberapa bakat yang gak mungkin ditiru dengan mudah.

Misalnya, aku tetap saja, tak bisa menulis tangan dengan rapi dan bagus. Jadi sampe sekarang aku masih saja menghindar sebisanya menggunakan tulisan tangan. Yang kedua, aku tetap saja kalah dalam hal gambar-menggambar. Karena yang ada dalam benak hanyalah gambar dua gunung dan jalan di tengahnya ha... ha... Mending gak kreatif banget ya....

Dan yang terakhir, aku tak mungkin mengalahkan dia sebagai pelanggan rangking I, karena sampai tamat riwayat persekolahanku. Aku tak pernah menjadi yang terbaik di kelas.

Any way thank you man... You just give me inspiration, in the way you never realize...


Yogyakarta, 221005

Yann Martel Membantai Popper

Anda jangan membayangkan ini pertarungan gladiator yang saling membunuh. Menu kita kali ini tentang pertarungan ide. Dalam “Life of Pi” bagi anda yang peka, tentu tahu Yann mengkritik positivisme.

Upss... sebelum melangkah lebih jauh. Mungkin perlu disamakan persepsi, sapa itu Popper? Lalu binatang apakah positivisme? Karl Popper adalah ahli filsafat ilmu yang sangat dipuja penganut positivisme. Teorinya yang terkenal adalah falsifikasi dan verifikasi. Teorinya dijadikan dasar pembeda bagi kaum positivisme untuk membedakan antara ilmu dan, yang bukan ilmu. Ilmu harus memenuhi satu di antara dua syarat itu agar dapat diterima akal, dan bersifat ilmiah. Karena ilmu katanya, harus bisa digeneralisasi. Bahasa gampangnya satu obat, untuk semua penyakit dengan gejala yang sama.

Apa dong artinya falsifikasi dan verfikasi???? Mulai pusing nehhh, tenang aja liat aja penjelasannya lewat contoh, pasti lebih ngerti. Contoh yang sering digunakan adalah angsa. Untuk menguji hipotesis, semua angsa itu putih. Maka dapat dilakukan dengan verifikasi, dengan meneliti satu-persatu semua angsa, dan membuktikannya semua putih. Atau menggunakan falsifikasi, dengan cara pembuktian terbalik, apakah ada angsa berwarna selain putih? Bila tidak ditemukan maka dianggap hipotesis itu benar. Begitu ceritanya, teori yang disumbangkan Popper.

Lalu apa itu positivisme? Positivisme menuntut semua hal yang dikategorikan sebagai ilmu, harus bersifat empiris atau nyata dan dapat dilakukan generalisasi sesuai dengan metode pembuktian ilmiah yang berkiblat pada metode Popper di atas.

Ckkkk, ckkk kayaknya bahasan ini lumayan berat ya? Ah gak juga tuhhh, sebenarnya gampang ajah kok Cuma kadang ilmuwan bahasanya terlalu neko-neko, jadi tambah bikin pusinggg.

Lalu gimana Yann menghabisi Popper? Dalam novelnya “Life of Pi”, terjadi perdebatan sengit antara Pi dan dua orag Jepang. Keduanya tak percaya bila ada spesies ganggang beracun yang hidup di tengah lautan pasifik, dan dihuni oleh meerkat. Spesies ganggang itu tak pernah diketahui, sementara meerkat selama ini hanya dikenal hidup di padang pasir.

Dalam novelnya, Yann Martel menolak asumsi rasionalitas yang hanya mempercayai apa yang masuk di akal, dan apa yang telah mempunyai bukti empiris. Ia mengkritik kepongahan ilmuwan, dan ilmu pengetahuan.

Lalu apa asumsi yang mendassari argumen para penentang Popperian, termasuk di dalamnya Yann Martel??? Asumsinya cukup sederhana, kemampuan manusia sangat terbatas, daya jelajahnya pun belum mengelilingi seisi dunia. Apakah benar-benar yakin, di tengah hutan Amazon yang terpencil tak akan ada angsa selain putih?

Aku yakin banget, Yann Martel pernah membaca referensi soal Karl Popper, mengapa? Karena contoh yang digunakan tentang angsa dan hutan amazon yang ada dalam novelnya adalah contoh yang digunakan dalam perdebatan antara Popper dan para penentangnya.

Yang membedakannya adalah, bila perdebatan tentang filsafat ilmu itu dibungkus dengan sebuah cerita, maka semuanya serasa lebih mudah dicerna. Itulah kelebihan karya sastra, ia begitu lincah untuk masuk ke berbagai arena pengetahuan, dan menyampaikan dengan bahasa yang bersahaja.

Andai saja, membaca buku teks semudah memahami sastra. Mungkin orang tak malas membaca buku teks. Selain itu, gaya penulisann buku teks kering, tanpa sentuhan emosional. Karena memang ilmuwan bukanlah sastrawan kan??? Mungkinkah suatu saat nanti lahir seorang ilmuwan sekaligus sastrawan? Semoga saja.....

Yogyakarta, 221005

Wednesday, October 19, 2005

Petualangan Yann Martel dalam “Life of Pi”

Beberapa waktu yang lalu aku baru merampungkan novel Yann Martel, berjudul “Life of Pi. Novel ini sangat terkenal bahkan menjadi best seller di mana-mana sekaligus memperoleh penghargaan Booker Prize (penghargaan bergengsi untuk penulis-penulis dari negara-negara persemakmuran Inggris).

Novel ini berhasil menggabungkan banyak hal dalam satu rangkuman apik, mirip ensiklopedia. Menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan yang maha luas dari pengarangnya. Ia berhasil merangkum aspek-aspek ilmu biologi, dengan keagamaan, ditambah lagi dunia antropologi, filsafat ilmu dalam satu cerita.

Namun aku ingin berbagi tentang novel ini dari sudut pandang yang berbeda. Aku justru tertarik dengan bagian akhir novel ini, yang entah mengapa lebih banyak membetot perhatiankul, sekaligus membuatku banyak merenung.

Adegan yang paling kusukai adalah dialog antara Pi Pattel dan dua orang Jepang yang ingin tahu tentang penyebab tenggelamnya kapal Tsimsum yang ditumpangi oleh Pi. Bagian ini mungkin hanya memperoleh jatah tak lebih dari empat puluh halaman, namun pesan yang ingin disampaikan cukup padat dan sangat mengena.

Apa yang menarik? Yann Martel menyindir habis-habisan gaya orang Jepang yang penuh dengan basa-basi. Orang Jepang yang tak pernah berkata jujur bila mereka tak menyukai sesuatu. Yang menarik adalah ia bisa menggambarkannya dengan sangat indah, dan nyata, menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang masyarakat Jepang.

Yang kedua, Yann Martel melalui kedua orang Jepang itu, menyindir betapa penyebab tenggelamnya kapal itu lebih penting daripada nasib seorang korban selamat dari tragedi mengerikan itu. Si korban dianggap cukup hanya dengan asuransi kecelakaan yang akan dibayarkan. Ironis sekali tampaknya? Namun bukankah itu kenyataan?

Bukankah kita lebih perduli akan kepentingan kita, dibandingkan berusaha memberikan simpati yang tulus atas kesusahan orang lain? Novel ini hanyalah memotret realita.

Ketiga, dengan apiknya ia berhasil menggambarkan ironi tentang persepsi manusia yang lebih menyukai cerita dramatis, sekaligus sadis. Ini terlihat dari orang-orang Jepang yang justru lebih percaya cerita, bahwa hanya tersisa empat orang selamat, lalu mereka saling membunuh untuk bertahan hidup, dan memakan daging orang yang telah dibunuhnya. Dibanding versi sebelumnya, kalau Pi satu-satunya yang selamat, bersama beberapa ekor hewan yang terdiri dari seekor Orang Utan, Zebra, dan Harimau.

Novel ini memang pantas untuk mendapatkan penghargaan sekelas Booker Prize, karena dengan bahasanya yang mudah dicerna, berhasil menohok hati nurani yang terdalam, sekaligus merenungi banyak hal.

Yogyakarta, 191005

Tuesday, October 11, 2005

Seniman Yang Lebih Genit

Beberapa bulan lalu, aku membaca sebuah artikel di koran Kompas. Yang jelas aku mendadak geregetan dan emosi baca artikel itu. Mau tahu sebabnya? Artikel itu mengkritik keras seni yang dianggap telah menjadi komoditas kapitalis.

Pada titik ini mungkin aku masih bisa menyetujui, walau tidak sepenuhnya. Dalam artian beberapa seniman berkarya lebih berorientasi agar karyanya laku di pasar, bukan demi mengembangkan sisi kreatif, dan pengembangan seni itu sendiri.

Namun yang aku tidak sepakat adalah, bila memang karyanya bukan “pesanan”, serta berkualitas namun laku di pasar. Apakah juga harus di cap murahan, dan pop? Ini kan hanya menunjukkan kesan, berteriak-teriak tanda tak mampu. Bukankah begitu?

Di sisi lain, dari artikel itu aku mendapat kesan, seniman itu haruslah dekil, hidupnya gak teratur, dan semau gue. Sementara orang yang juga sama-sama kreatifnya, namun orang kantoran, rapi jali, dan hidupnya teratu,r dianggap bukan seniman. Mereka-mereka ini hanya dianggap orang yang aji mumpung, dan dicurigai melacurkan seni.

Mungkin saja aku salah dalam menginterpretasikan artikel itu. Tapi aku jadi bener-bener kesal dibuatnya. Padahal kenapa juga harus kesal? Entahlah kadang aku bereaksi berlebihan dengan isu-isu macam ini. Aku merasa ini tidak adil, dan cara pandang yang beginian harus diubah.

Aku sangat kecewa, karena selama ini, kuanggap seniman pemikirannya lebih terbuka dan toleran, ternyata sama aja. Merasa dirinya lebih hebat, merasa dirinya tak bisa dibandingkan dengan yang lain. Merasa eksklusif, uhhhh kata-kata yang membuat aku merinding.

Maka aku pun menyimpulkan, ternyata bukan hanya kaum intelektual aja yang kegenitan. Ternyata eh ternyata, para seniman yang terhormat pun, buju bunehhhh genitnya gak ketulungan.


Yogyakarta, 111005

Selamat Tinggal Internet Explorer

Dulu aku hanya mengenal Explorer sebagai web browser (perangkat lunak untuk berselancar di internet). Namun saat ini ada beberapa pilihan lain, antara lain Fire Fox dan Opera. Maka bermigrasilah aku dari Internet Explorer menuju Opera.

Mengapa Opera? Ada banyak pertimbangan mengapa memilih Opera untuk web browser. Pertama, Opera lebih praktis dibandingkan Internet Explorer atau Fire Fox sekalipun. Opera menyediakan menu-menu yang tidak disediakan Explorer yang akan membuat kegiatan berinternet lebih efisien dan nyaman.

Yang kedua, kehadiran Opera memberikan nuansa baru. Memuaskan dahagaku akan sesuatu yang baru, sesuatu yang dinamis. Membuat aku punya mainan baru untuk dipelajari. Serta memuaskan hasrat akan petualangan.

Yang ketiga, kata beberapa teman, Opera sekarang lagi naik daun, karena lebih aman dari serangan virus dan trojan, dibandingkan Internet Explorer. Yang urusan teknis ginian aku gak terlalu ngerti, tapi aku yakin benar. Karena teman-temanku itu lulusan informatika yang lebih melek soal teknologi.

Namun hal lain yang membuat aku lebih tertarik dengan Opera adalah, entah mengapa secara emosional aku mengaitkannya pada Operah Winfrey. Operah adalah salah satu orang yang membuat aku terinspirasi dengan caranya mewawancarai dan meyakinkan orang lain, serta semangat hidupnya yang luar biasa.

Alasan terakhir, Opera menawarkan soul yang “gue banget”. Soul yang dimaksud adalah anti kemapanan, anti sesuatu yang dominan, dan stabil. Dengan menggunakan Opera aku merasa telah mengalahkan Microsoft yang selama ini telah dianggap memonopoli dunia piranti lunak.

Aku ingin sesuatu yang berbeda. Karena jiwaku adalah jiwa pemberontak yang tak ingin didikte sesuatu yang standar. Kalo ada yang lain, dan bisa berwarna-warni, mengapa harus seragam? Bukankah berbeda itu indah?

Sesuatu yang aneh memang, banyak alasan bersifat emosional. Tapi itulah kenyataan di pasar, konsumen lebih banyak berperilaku berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Bukan hanya berdasarkan alasan-alasan rasional yang bisa diprediksi.

Oleh karena itu, pelajaran yang harus diingat oleh seorang pemasar, jadilah pendengar yang baik. Berpikirlah dari kaca mata konsumen yang sangat beragam, bukan dari kaca mata Anda sendiri.


Yogyakarta, 111005

Friday, October 07, 2005

Popularitas Friendster Hanyalah Sejarah

Bagi Anda-anda yang punya account di friendster pasti tahu friendster selalu berubah dalam jangka waktu yang sangat singkat. Apa yang terjadi? Friendster sedang kebakaran jenggot karena sebagai pionir, ia telah kalah populer dengan Myplace yang datang belakangan. Walau di Indonesia, Myplace mungkin nyaris tak terdengar.

Mengapa Myplace dengan cepat merebut pasar? Karena Myplace memberikan fitur yang lebih bagus dibanding Friendster, Myplace ibarat situs pribadi dimana penggunanya bisa mengirimkan lagu, dan banyak fitur lainnya. Memungkinkan para musisi muda, memajang karya-karya mereka, untuk didengarkan oleh orang lain dari seluruh dunia. Maka dengan cepat terciptalah berbagai komunitas di sana. Dan tampaknya Friendster pun belakangan ini mulai bereaksi dengan menambahkan fitur tersebut.

Lalu pelajaran apa yang dapat dipetik ? Pertama, pionir suatu kategori harus selalu waspada untuk melakukan inovasi. Dia harus cepat mengantisipasi keinginan pasar, kalau tidak perusahaan lain tak segan mengambil alih posisi pemimpin di pasar. Apalagi jika perusahaan itu bergerak di bidang portal dan teknologi informasi. Perkembangan begitu cepat dan tak terduga. Hari ini mungkin Anda pionir, tapi besok siapa tahu?

Pelajaran kedua, Friendster bukan lagi menjadi perusahaan yang inovatif. Dia telah kehilangan rohnya. Ia hanya menjadi pengikut dari pendatang baru. Semuanya akibat lengahnya mereka untuk mendengar apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Mereka lupa walaupun telah memperoleh popularitas, mereka harus terus memikirkan hal baru apalagi yang akan ditawarkan agar konsumen tetap loyal mengujungi portalnya.

Pelajaran lainnya, ternyata perubahan dan kebaruan belum tentu disenangi oleh konsumen. Mengapa? Mungkin Anda juga merasakan, seperti halnya penulis dan pengguna lainnya, yang merasa kesulitan dengan fitur baru Friendster. Mereka mengubah posisi menu terlalu sering sehingga membuat konsumen menjadi bingung mengoperasikannya. Inginnya membuat konsumen semakin puas, ternyata justru mendapat keluhan.

Kebaruan itu terlalu sering dilakukan, sehingga saat konsumen belum benar-benar mengerti dengan apa yang ditawarkan sudah dihujani dengan perubahan lainnya. Seharusnya perusahaan memikirkan segala sesuatunya dari sudut pandang, serta kebutuhan konsumen. Ini adalah era kekuasaan konsumen, bila mereka merasa ada yang lebih baik. Mereka hanya perlu melakukan satu kali klik. Dan menangislah Anda karena ditinggalkan pelanggan.

Pelajaran terakhir, sikap reaktif hanya membuat wajahnya semakin coreng-moreng. Sikap reaktif di mana-mana tidak akan banyak menolong. Sebelum diguncang pesaing, Friendster harus mampu mendekonstruksi dirinya sendiri, dan menciptakan inovasi baru.

Yogyakarta, 040905

Tuesday, October 04, 2005

Lucky, I Hate That Word

Sering sekali orang berkomentar “Wah kamu beruntung banget ya”. Apa??? Aku langsung gatel aja pengin marah kalo dengar kata-kata itu he.. he... Kayaknya semuanya yang aku dapet turun dari langit begitu saja. Mereka pikir, aku hanya tidur nyenyak di rumah lalu aku menjadi seperti sekarang ini.

Itulah mengapa aku begitu membenci kata-kata “Luck”, “Beruntung”, dan tetek bengek semacamnya. Bahkan udah sampe alergi akut he... he... Aku lebih suka orang menghargainya sebagai hasil dari kerja keras. Aku pengin mereka tahu kalo aku tak begitu saja memperolehnya.

Takutnya orang akan salah persepsi. Mereka hanya ingin tahu gimana jadinya. Namun tak mau melalui prosesnya. Mereka tak pernah tahu saat-saat aku jatuh bangun, saat aku mesti belajar di kala yang lain bermain. Walau aku juga sering bersenang-senang juga sehhh he... he...

Orang banyak yang beranggapan, semua hanya bergantung pada nasib dan kehendak Tuhan. Aku bukan tak percaya, kalo Tuhan juga berperan atas kehidupan. Namun bukan berarti kita hanya menanti di rumah sambil berdoa, mengharap akan diberkahi nasib baik.

Aku hanya berpikir untuk melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan. Kalo seandainya memang gagal juga, itu baru namanya suratan nasib. Jangan belum apa-apa udah bilang nasib.

Sudah gitu kalo gagal, disalahkanlah orang lain. Tak mau introspeksi diri. Karena itu memang paling mudah dilakukan. Di sisi lain, aku tak pernah mengasihani diri sendiri, atau mengkambinghitamkan orang lain. Semua adalah tanggung jawab diri sendiri. Kalo memang gagal terimalah keadaan, belajarlah apa yang salah, bagian manakah yang harus diperbaiki.

Dengan cerita ini, masihkah orang akan berkata “Betapa beruntungnya Tuhu”???


Yogyakarta, 290905

Ketabahan Wanita Jawa

Sekitar hampir dua minggu lalu, saat mengantri ambil obat di apotek sebuah rumah sakit. Dari pada bosan, aku mencuri dengar perbincangan seru para pengantri lainnya, biasalah untuk membunuh kejenuhan.

Beberapa orang Ibu begitu asyik bercerita, meski belum saling kenal sebelumnya. Yang beginian kayaknya hanya bakal ditemukan di Indonesia he... he.... Yang menarik adalah cerita seorang Ibu setengah baya.

Ia sedang mengantri obat untuk suaminya. Dari hasil nguping, tahulah aku suaminya selama belasan tahun telah penyakitan dan tak bisa bekerja. Dan tahukah apa penyakitnya??? Dia terkena penyakit kelamin, yang menyebabkannya tak bisa melakukan apapun selain bengong di rumah. Jadi bisa dibayangkan apa yang dilakukan Sang Suami???

Penderitaan itu ternyata tak berhenti sampai di sana. Saat sehat, suaminya yang tukang ojek, sama sekali tak pernah membawa pulang duit sepeser pun. Namun saat ini dikala ia sakit, maka istrinya yang membiayai kebutuhannya.

Sayang Sang Suami ternyata tak sadar diri. Ia justru mengekang istrinya gak boleh pergi kemanapun. Bawaannya selalu curiga. Pergi agak lama langsung dicemburui. Hanya itu penderitaannya??? Masih ada lagi Sang Wanita tinggal dengan ibu mertua yang bersikap sinis, dan saudara ipar yang siap menendangnya dari rumah itu kapan saja.

Lalu sambil termangu, aku pikir betapa sabar atau bodohnya wanita itu??? Kalo dia ceraikan suaminya maka selesai semua masalah kan??? Toh dia mempunyai peghasilan yang bisa menghidupi diri dan anak-anaknya. Walau begitu reaksi dari para perempuan lain yang diajak ngobrol pun sama. “Yah yang sabar, kan Tuhan sudah memberikan karma buat suamimu. Dan kamu diberikan mencari rezeki”.

Satu hal yang bisa ditarik dari cerita ini adalah, orang Jawa memang sangat tabah dan tidak cengeng menghadapi kesulitan apapun. Dalam keadaan tersulit sekalipun maka tetap bertahan. Naluri ini memang luar biasa, dan aku angkat topi untuk itu.

Namun perlu diingat, ini juga pertanda buruk. Kenapa??? Karena menunjukkan orang Jawa hanyalah reaktif, dan nalurinya bertahan. Mereka selalu terima dengan keadaan, tak ingin pusing-pusing mencari jalan lainnya.

Padahal mungkin saja ada jalan lain yang lebih baik. Tapi itu terlupakan, karena tak ada naluri progresif dalam aliran darahnya. Lalu aku sedikit termenung apakah kita akan selalu reaktif, dan bereaksi kalo sudah terlanjur???

Aku jelas tidak!!!! Gimana dengan Anda???


Yogyakarta, 290905

Renyahnya Pasar “Jamu”

Masih merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang banyaknya fenomena jamu alias janda muda. Pemasar seharusnya lebih waspada dengan fenomena ini. Apa pasal? Pertama karena perempuan mempunyai lebih banyak uang untuk dibelanjakan. Kedua perempuan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam keputusan pembelian suatu barang. Dan ketiga perempuan memang hobi berbelanja, kala sedih belanja, saat senang belanja, dapat bonus gatel juga pengin belanja. Bukankah ini angin surga bagi pemasar???

Di sisi lain, pemasar juga lebih harus berhati-hati dalam menggunakan objek wanita (sengaja digunakan kata wanita di sini, untuk mengacu pada persepsi tentang perempuan sebagai manusia kelas dua) dalam iklan. Kenapa?

Karena pada dasarnya perempuan sangat emosional, apabila iklan dianggap melecehkan harkat mereka. Bisa-bisa produknya akan dibenci oleh perempuan. Dan ini malapetaka besar. Mereka tak bisa lagi dijadikan obyek seksual yang sekedar pemanis dalam iklan.

Maklum perempuan sekarang lebih sensi soal begituan. Mereka punya kemampuan untuk menghukum mereka yang menyinggung perasaannya. Lalu giamana dong? Apa yang harus dilakukan pemasar?Tak perlu ragu dan bingung, buatlah iklan yang menyentuh hati. Menembak sisi emosional, karena ini akan lebih efektif, apalagi produk-produk yang menyasar kaum hawa.

Oleh karena itu aku ucapkan selamat datang di dunia yang sentimentil . Dimana perempuan lebih sadar akan hak-haknya, dan punya kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dan para pria mulai sedikit gerah karena tak lagi bisa berperan sebagai hero for her lady.


Yogyakarta, 290905