Wednesday, November 23, 2005

Just Be A Good Listener

Ternyata sungguh susah hanya untuk menjadi pendengar yang baik. Aku tidak sedang membicarakan orang laim. Tapi berbicara pada diri sendiri. Aku kadang kecewa dengan diri sendiri, mengapa aku masih saja enggan menjadi pendengar yang baik.

Memang benar mendengarkan lebih sulit, dibanding berbicara. Mendengarkan lebih melelahkan dibanding berbicara. Namun kalo semua berbicara, siapa yang mendengar?

Kadang aku sadar, dan mulai mengontrol diri untuk bukan hanya didengarkan. Namun lebih banyak, saat dimana aku hanya ingin didengarkan tanpa aku sadari. Dan baru menyadarinya setelah semua berlalu.

Lalu aku mulai menyesal, dan membenci diri sendiri. Why I did it again??? Dan kemudian berjanji, di saat mendatang tak akan terulang lagi. Namun kadang aku terjatuh di lubang yang sama, lagi, lagi dan lagi.

Ternyata hanya sekedar untuk menjadi pendengar yang baik, membutuhkan pelatihan yang lama dan panjang. Dan masih butuh jalan panjang agar aku bisa mencapainya.

Hmmmm life is a never ending learning process, itu memang benar. Tetapi mengapa lebih sulit untuk belajar menjadi pendengar yang baik dibanding belajar konsep yang abstrak sekalipun???


Yogyakarta, 231105

Saat Kehilangan...

Kadang kita tak menyadari kehadiran seseorang begitu berarti dalam hidup, sampai saat berpisah. Ternyata seberapapun kecilnya, seseorang memberikan kontribusi dalam kehidupan kita.

Dan kadang terlalu terlambat untuk menyadari bahwa kita membutuhkan mereka. Kadang kita merasa begitu hebatnya tak membutuhkan siapapun. Tapi begitu ia pergi, barulah terasa betapa berartinya ia. Ternyata dunia tak lagi sama tanpanya. Ternyata begitu banyak kenangan indah yang bermunculan setelah dia tak ada.

Saat kehilangan menjadi momen yang paling menyedihkan dalam hidup. Saat seseorang pergi, dan ada sesuatu yang terasa kurang. Saat air mata berderai-derai menyesali karena saat lalu yang tak dihargai.

Tapi apakah harus selalu disesali??? Bukankah masih ada orang disekitar yang perlu dimaknai keberadaannya juga??? Yang mungkin akan merasa bosan karena merasa dirinya tak berarti bagi kita. Karena kita terlalu terlarut dalam penyesalan...

Ya... memang kehadiran seseorang tak bisa tergantikan. Karena setiap orang mempunyai peran dan kontribusi yang unik. Namun berusaha menghargai yang tersisa masih lebih baik ketimbang hanya terus berderai, hingga semuanya pergi. Dan tak satupun yang sempat kita hargai keberadaannya.

Penyesalan itu untuk dipelajari, bukan hanya panggung drama pertunjukan air mata. Setiap proses adalah pelajaran yang berharga, bila kita mau menyadarinya. Karena proseslah kita sampai di titik ini. Dan dengan proses pulalah, kita berharap mencapai titik yang lebih tinggi.


Yogyakarta, 231105

Tentang Kesepian

Apabila diamati dengan cermat, apa sih benang merah tema yang diangkat para penulis??? Setelah melalang buana ke berbagai blog, novel, cerpen, puisi dan banyak lagi.... Semuanya seringkali mengangkat tema kesepian. Ada apa dengan kesepian??? Ada apa dengan penulis???

Benarkah penulis terlahir menjadi penyendiri yang kesepian??? Apakah ia menulis untuk menghalau kesepian dalam dirinya??? Atau menjadi sepi karena ia harus menulis???

Benarkah hidup itu sunyi??? Ataukah hanya para penulis yang terlalu sensitif hingga melihatnya sebegitu kompleksnya??? Pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah memang untuk dijawab.

Namun harus diakui para penulis mempunyai kerumitan berpikir yang luar biasa. Itu yang membuat mereka bisa mengemas tema biasa menjadi indah. Memungkinkan mereka mampu menggambarkan sitausi dan karakter begitu hidup.

Lalu apakah ini berkah??? Saat kerumitan berpikir kadang menjadi petaka??? Banyak lagi pertanyaan yang bermunculan. Ternyata banyak hal tak pernah dimengerti banyak orang. Bahwa dibalik cerita indah, yang menguras air mata. Ada pula cerita yang lebih kompleks dari apa yang tertulis. Cerita tentang kehidupan pribadi Sang Penulis yang kabur, dan tak terungkap.

Lalu aku bertanya pada diri sendiri, bukakankah kau penulis??? Mestinya tahu jawabannya...


Yogyakarta, 231105

Tuesday, November 22, 2005

“I Need help”, Just sounds Good...

Beberapa hari yang lalu, aku nonton Oprah Winfrey Show. Lalu diakhir acara, Oprah berkata kira-kira begini, “Every body, just be honest that you need help”. Ehmmmm saat ia mengatakannya, entah mengapa aku merasa tertohok sangat mendalam.

Lalu aku terdiam sejenak, merefleksikan pada diri sendiri. Ya... harus jujur diakui, betapa tingginya gengsiku untuk mengatakan kalo “Aku butuh bantuan orang lain”.

Aku selalu berusaha melakukan semuanya sendiri. Aku berlindung pada sebuah pemikiran, aku hanya tak ingin merepotkan orang lain. Padahal hanya menutupi ego tentang keakuan yang tak ingin diganggu orang lain.

Aku belajar untuk membantu orang lain, memecahkan masalah mereka, tanpa pernah mengijinkan seseorang pun masuk terlalu jauh dalam pemikiranku. Ehmmmm sounds so egoistic right??? Bukankah membiarkan orang lain membantuku, it,s also a pleasure for them???

Tapi entah mengapa hingga saat ini, aku belum bisa mempercayai seseorang pun, dan berkata “I just need ur help”. Pekerjaan rumah yang sangat sulit, bahkan hanya untuk memulainya. But I promise I will try.


Yogyakarta, 211105

Friday, November 18, 2005

Mengapa Aku Menulis???

Menulis, kata ini bagi beberapa orang adalah momok. Apa yang harus ditulis? Bagaimana memulainya? Tapi entah mengapa aku sangat senang menulis. Menulis menjadi bagian panjang perjalanan kehidupanku.

Menulis mengantarkan aku menemukan siapa aku. Karena dalam tulisan-tulisanku, aku mengenali karakterku. Karena dalam setiap tulisan,akau merefleksikan apa yang kucerna dari sekitar.

Menulis telah membuatku berhasil melalui masa-masa tersulit. Karena menulis adalah bagian dari terapi untuk tetap menjadi kuat. Menulis adalah pelarian atas banyak kekecewaan yang mungkin sering aku rasakan. Dalam tulisan yang terkadang kiasan, aku lampiaskan kemarahan, dan rasa frustasi.

Sehingga aku tak merusak hubunganku dengan orang lain. Selembar kertas tak akan marah bila kita mencela sekalipun. Tapi seandainya itu kuluapkan dalam bentuk emosi entah apa jadinya?

Menulis juga memberikan pelajaran berharga untuk tidak egois, karena tulisan ini akan dibaca oleh banyak orang. Maka aku harus berpikir dari kacamata orang lain, apakah bisa mengkomunikasikan apa yang kumau? Apakah tidak terlalu berbelit-belit? Semuanya harus dilihat dari sisi pandang pembaca.

Menulis memberi pelajaran lain tentang sistematika berpikir. Sehingga dalam bahasa lisan pun, aku lebih mampu menyampaikan ide dengan urut dan terarah. Karena salah satu kelemahanku, adalah cara berpikir yang acak, dan sering melompat.

Lalu menulis juga memberiku kesempatan untuk merekam secara detil, keadaan emosi, cara berpikir, ide pokoknya semuanya pada suatu masa tertentu. Dan ini sangat bermanfaat, bila suatu saat aku ingi tahu kaleidoskop masa lalu.

Terkadang saat membaca tulisan masa lalu, aku tertawa dan merasa malu. Kok begitu bodohnya aku kala itu. Kok aku mikirnya kayak gitu. Tapi apa yang aku punya sekarang kan berkat masa lalu. Dari kebodohan aku belajar menjadi pintar, dari kesalahan aku belajar apa arti kebenaran.

Ya..., disamping itu semua. Aku hanya ingin menyalurkan bakat narsisme he... he... yang begitu menggelegak dalam diri. So..., mengapa tak memulai menulis saat ini juga???


Yogyakarta, 151105

Wednesday, November 16, 2005

“Norwegian Wood”, Novel Jepang Berselera Barat

Beberapa waktu lalu aku menyelesaikan sebuah novel, ahhhh akhirnya setelah begitu banyak bergelut dengan tugas kuliah. Lumayanlah sedikit buat refreshing. Dan ternyata novel ini memang luar biasa dan meninggalkan kesan yang mendalam.

Ada beberapa hal yang bisa dicatat dari novel ini. Pertama, ini adalah novel seorang penulis Jepang yang rasa-rasanya seperti bukan ditulis oleh orang Jepang. Karena tak satu pun menyinggung lokalitas Jepang kecuali setting tempat. Lagu-lagu yang disebut, karya sastra semuanya adalah karya pengarang Eropa.

Gaya penuturannya pun bukan gaya penulis Jepang pada umumnya, yang biasanya datar, sendu, dan tanpa emosi. Novel ini justru memberikan konflik batin yang mendalam pada setiap pembacanya. Gaya penulisanya mengingatkaku akan gaya Yukio Mihima, yang penuh gejolak emosi, dan terobsesi dengan seksualitas.

Haruki Murakami, Sang penulis novel ini, keluar dari tema favorit pengarang Jepang yang biasanya mengangkat tema pergolakan Jepang menemukan jatidirinya, pencarian identitas yang dibiarkan mengambang tentang Jepang tradisional yang memegang teguh adat ketimuran, dan Jepang modern yang kebarat-baratan.

Murakami justru lebih tertarik mengangkat tema kegilaan orang-orang yang berpandangan eksentrik dalam komunitasnya. Tentang kesepian, percintaan yang janggal, dan individu-individu yang bergulat melawan trauma atas masa lalu.

Dan akhirnya para individu itu mengatasi ketidakwarasan masing-masing dengan saling membantu. Perasaan dibutuhkan dan kesadaran akan ketidaksempurnaan sebagai manusia. Mendorong mereka untuk menolong sesamanya, yang sebenarnya menolong dirinya sendiri.

Murakami pun mempertanyakan makna percintaan dengan gaya yang tidak biasa. Tidak ada cerita romantis percintaan, yang ada adalah cinta segitiga yang aneh. Cinta yang membuat para tokohnya tenggelam dalam perdebatan mendalam pada dirinya. Aapa itu cinta, dan manakah cinta yang sebenarnya?


Yogyakarta, 151105