Tuesday, February 28, 2006

“Jomblo”, Citra Maskulin yang Egois

Argh... akhirnya aku punya lagi waktu untuk sekedar mengisi blog, setelah beberapa minggu harus absen berkubang dengan tugas kuliah yang memuakkan. Sebenarnya sama-sama menulis, tapi kok ya kalo ngerjain tugas kuliah tuh rasanya beda, karena ada unsur keharusan dan keterpaksaan hehehe.

Btw, kali ini pengin ngebahas novel “Jomblo”, by Adithya Mulya. Hari gini??? Ya, karena baru sekarang sempat ngebaca (baru dapet pinjeman maksudnya). Bacanya sih sudah beberapa minggu lalu, tapi karena alasan yang disebutkan di atas, baru sekarang deh sempat mengulas.

Oke, langsung aja dah masuk ke intinya. Ceritanya adalah tentang 4 orang sahabat cowok yang menjomblo, ada Donny, Olip, Bimo, dan satunya lagi so sorry lupa namanya.

Lalu di mana letak egoisnya??? Bersabarlah karena nanti akan dijelaskan dengan paripurna. Novel ini cukup menarik karena memang sangat maskulin. Setelah dulu pernah ngebahas Cintapuccino by Icha Rahmanti yang sangat wanita. Ini sekaligus menjawab protes seseorang yang membaca blog ini, karena tulisanku “Feminisme Manja”.

Letak ego pria pertama adalah, di dalamnya jelas sekali digambarkan tentang dunia pria, dengan karakter yang berbeda-beda. Toplah memang itu dunia maskulin sekali. Tapi, kalo mau melihat lebih dalam. Sangat sedikit pendalaman tentang karakter wanita dimunculkan dengan baik. Bandingkanlah dengan Cintapuccino, maka wanita jauhhhh lebih mengerti tentang dunia pria.

Ini memang menunjukkan beberapa hal, wanita memang lebih sensitif, dan pengamat yang baik. Sementara pria adalah sosok narsisus yang hanya mengenali dunianya sendiri, tanpa terlalu perduli dengan lawan jenisnya.

Indikasi kedua soal egoisme maskulin. Sangat kentara pada dua tokoh utama dalam novel itu. Yaitu Donny, dan yang aku lupa namanya (agar lebih mudah gimana kalo disebut aja “no name”).

Donny adalah karakter play boy cap kadal, yang pandai merayu wanita, doyan ml (means make love or bercinta, masih kurang jelas juga!!! Iitu kebangetan namanya hehehe), tapi ogah dengan yang namanya sebuah komitmen. Dan pada akhir cerita, Adithya memberikan ending yang sangat maskulin. Donny akhirnya benar-benar tunduk pada seorang wanita baik-baik, yang tak sengaja mereka ml karena mabuk. Dan bagi cewek itu, ini adalah pengalaman pertama.

Lalu bagaimana dengan karakter yang kedua??? Si Mr. No Name ini, diceritakan mendapatkan seorang pacar yang keibuan, walau agak bawel, dan cerewet. Lebih tepat disebut satpam dibanding pacar. Dan akhirnya tokoh ini pun berselingkuh dengan cewek lain. Dengan selingkuhannya dia sempat ml untuk pertama kalinya. Tapi Si cewek udah pernah melakukan sebelumnya dengan pacar sebelumnya. Di akhir cerita, Mr. No Name ternyata lebih memilih pacarnya, dan mutusin selingkuhannya. Walau selingkuhannya lebih pintar, tenang, tidak bawel, dan cantik. Alasannya karena tipikal wanita idamannya ada pada pacar aslinya.

Benarkah??? Dari dua tokoh ini sekali lagi aku mempertanyakan mengapa ending harus dibuat seperti ini??? Semuanya adalah pilihan Sang penulis. Dan apa yang dipilih penulis, tak akan jauh dari sistem nilai yang dianut.

Sudahkah menemukan jawabnya??? Sangat mudah. Seorang pria, walaupun dia tak perjaka sekalipun maka ia akan memilih wanita yang masih perawan. Karena ego maskulinitas menolak dirinya dapet barang bekas. Sementara wanita yang sudah tak perawan, ya ke laut aja hehehe. Ini adalah asumsi dari novel ini, tidak ada tendensi apa-apa bagi Anda yang ngerasa tersinggung.

Lihatlah tokoh Donny yang akhirnya luluh dalam cinta, ujung-ujungnya pada wanita baik-baik, yang diperawaninya. Sementara Mr. No Name dengan dalih apapun teteup aja memilih pacarnya, karena meski tak tertulis secara tersirat, orang akan mudah mempersepsikan pacarnya masihlah perawan. Mungkin banyak yang tak sadar, bahkan Adithya sendiri tak bermaksud begitu. Tapi alam bawah sadar tak akan pernah bisa dibohongi. Imajinasi seorang penulis tak sehebat itu, untuk mengarang sesuatu yang diluar dirinya. Anda setuju, tidak setuju, ragu-ragu????(Alah mending kuisioner pisan...)


Yogyakarta, 270206

Poetry in Blue

Beberapa waktu lalu, seorang teman mempertanyakan sekaligus mengkritik. Kenapa sih puisi-puisimu selalu tentang kesedihan??? Usut punya usut, dia akan bertambah kalut kalo baca puisi yang sedih-sedih. Jiwanya berasa makin tertekan aja.

Pertanyaan yang cukup menggelitik. Namun aku tahu harus menjawab apa. Yayaya kalo mungkin yang lain ingin tahu inilah jawabnya. Alahh mending berasa penting aja hehehe.

Yang jelas dalam mengarang bebas, selalu dibagi menjadi dua segmen. Saat menulis untuk blog akan lebih didominasi oleh ciri-ciri keriangan, optimisme dan kritik. Dan puisi emang sejak awal dipositioning-kan untuk perasaan sedih. (ehmmm kebanyakan baca buku Marketing neh gini dah hasilnya, banyak kata-kata gak jelasss, segmen, positioning hehehe)

Karena puisi itu lebih kompleks, bahasanya kias. Tak mudah untuk ditebak. Orang sengaja akan kubuat tersesat, untuk mengaburkan apa sebenarnya yang ingin disampaikan. Tapi aku pikir ini hampir berlaku umum. Lihatlah berbagai puisi yang bertebaran milik para penyair, kebanyakan juga bernuansa sendu dan melankolis. Kecuali puis kanak-kanak yang memang lebih ceria, karena hidup bagi mereka masihlah begitu sederhana.

Alasan lain, sebagai manusia setegar apapun, seoptimis apapun. Ada saat di mana aku merasa lelah, ada saat aku merasa takut. Ada saat aku merasa kesal. It’s so human... dan aku tak ingin lari dari kenyataan, bahwa ada kalanya aku merasa sedih. Ada kalanya aku ingin merefleksikan diri.

Kejujuran untuk melihat diri sendiri, bagi aku teramat penting. Bisa saja aku membohongi diri sendiri, tapi untuk apa??? Toh pasti akan muncul dalam manifestasi yang lain. Misalnya ketakutan yang berlebihan, yang justru membuat orang lain pun tak merasa nyaman.

Atau dipendam dalam-dalam, yang akibatnya juga merusak dirinya sendiri. Bisa stres, gila, atau organ-organ tubuhnya yang diserang penyakit. As a human just be honest, nothing perfect. Kejujuran melihat diri sendiri adalah awal untuk menerima diri, yang pada akhirnya membuat hidup more enjoyable.


Yogyakarta, 270206

Wednesday, February 08, 2006

Pageblug...

Saat teringat kata pageblug di tulisan sebelumnya, aku kok jadi teringat tentang pertanda peringatan akan datangnya krisis bangsa ini. Aku ingat sekali saat itu malam hari, terjadi gerhana bulan total. Langit menjadi gelap gulita. Dan beberapa orang membunyikan kentongan (klotekan namanya dalam tradisi Jawa).

Lalu kedua orang tuaku mulai mengkhawatirkan, jangan-jangan ini pertanda pageblug. Karena hal serupa juga terjadi sebelum meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965 begitu katanya. Dan aku sangat yakin, saat itu belum ada gonjang-ganjing krisis ekonomi, ekonomi masih sangat baik. Soeharto juga masih aman di atas singgasananya.

Dan tak disangka, tak dinyana ternyata peringatan itu menjadi kenyataan. Mungkin Bapak dan almarhumah Ibu tak ingat lagi akan hal itu, saat pageblug benar-benar menjelang. Tapi dialog itu benar-benar masih terekam dalam ingatanku. Siapa pernah menyangka di kala itu, Indonesia yang tenang dan makmur akan diguncang krisis maha dahsyat, ekonomi morat-marit, bom di mana-mana, manusia yang dulu santun menjadi begitu beringasnya.

Lalu apa pelajaran yang bisa diambil??? Kadang alam telah memberi kita peringatan akan sesuatu yang akan terjadi. Namun manusia kadang tidak sensitif akan peringatan tersebut.

Kedua, harus diakui bahwa leluhur kita terkadang lebih bijak dibanding generasi muda. Pengetahuan yang diperoleh bapak dan Ibu tentang pertanda itu bukan dari buku teks atau pelajaran di bangku kuliah. Toh Bapak dan Ibuku tak pernah memakan bangku kuliahan. Tapi pelajaran itu turun-temurun dari nenek moyang.

Dan sayangnya banyak dari kita, yang pastinya tidak percaya, sebelum semuanya terjadi. Karena dipikir itu takayul dan klenik. Orang sudah jaman modern kok masih percaya kayak begituan!!! Itulah yang namanya kesombongan intelektual.

Ketiga, dalam tradisi ketimuran namanya keberuntungan dan bencana itu memang sudah digariskan. Dalam istilah Jawa, ya itu sudah pakemnya. Oleh karena itu seseorang tak akan bisa menghindarinya. Tapi mereka diharapkan lebih waspada dan sabar menghadapi keadaan, dan tetap berusaha hingga keadaan akhirnya membaik.

Namun sayang, falsafah ini akhirnya banyak disalahartikan dengan ya sudah terima saja keadaan, gak usah berbuat apa-apa,dan menanti keadaan akan membaik. Kalo yang tipe kayak gini sih, langit pun tak kan pernah membantu.

Yogyakarta, 080206

Wong Jawa Ilang Jawane

Yayaya tiba-tiba aku jadi merasa sedih saja karena semakin menguatkan opini wong jawa ilang jawane (orang Jawa kehilangan kepribadian Jawanya). Kalo gak salah ini telah diramalkan oleh Ranggawarsita beberapa abad lalu. Mengingatkan betapa ternyata klenik memang bagian dari bangsa ini bukan??? So what gitu loh kalo gue percaya klenik???

Apa pasal kok aku merasa sedih??? Ceritanya ada seorang teman yang bernama Elizabeth Ireng Susan. Dan banyak dosen yang tertarik soal nama tengah Ireng. Marga manakah itu??? Semua dosen mengajukan pertanyaan yang sama. Dan jawabnya ternyata, itu adalah salah satu tokoh dalam pewayangan yaitu Rara Ireng. Dan ironisnya semua dosen gak tahu!!!

Ya bisa dimaklumi bila gak ngerti arti Ireng itu. Tapi pertanyaan bodoh, sapa itu Rara Ireng??? Masyaallah aku ini berada di Yogya bukankah??? Dan aku yakin betul dosen-dosen yang bertanya itu Jawa totok. Yang aku 90% yakin, seumur hidupnya berkutat di tanah Jawa, yang tentunya lekat dengan dunia pewayangan. Kok bisa-bisanya gak tahu.

Masak sih kalah sama Si Tuhu, yang lahir di Papua, lalu tinggal sebentar di Karanganyar, lalu berpindah lagi melanglang ke Bandung, sebelum berlabuh lagi di Yogya??? Karena kata temen-temenku aku tuh gak pantes jadi orang Jawa. Logatnya gaul abisss gitu loh. Tapi itu kan di luaran saja. Pelajaran pertama adalah don’t judge someone by its cover.

Mungkin pada penasaran emang aku tahu sapa Rara Ireng??? Yah... paling tidak aku kenal istilah ini. Ini adalah nama lain dari Srikandi, istri dari Arjuna. Dalam cerita Mahabarata versi Jawa (dalam beberapa hal berbeda dengan versi India), Srikandi kalo gak salah adik Krisna.

Dalam dunia pewayangan, Krisna dikenal sebagai Paman Jliteng (artinya hampir sama dengan Ireng, yaitu hitam legam). Untuk yang tidak terlalu familiar dengan dunia pewayangan memang agak sedikit ribet karena setiap tokoh mempunyai nama panggilan yang lebih dari satu. Bahkan ada beberapa tokoh yang mempunyai nama lebih dari tiga. Misalnya saja werkudara, bimasena dan beberapa nama lain itu mengacu pada tokoh yang sama.

Lalu benar dong ramalan dari Rangga Warsita, akan tiba suatu masa di mana Wong Jawa Ilang Jawane, dan saat itulah bumi Jawa mengalami pageblug (bencana berkepanjangan). Pelajaran kedua adalah, ketika kita berusaha menjadi orang lain, maka kita tak akan menjadi apa-apa selain kehancuran.....


Yogyakarta, 070206

Tuesday, February 07, 2006

Good Bye Nation State???

Beberapa hari yang lalu saat liburan di rumah, aku nonton acara yang sangat menarik di MetroTV (mengapa di rumah??? Maklumlah di kos gak punya TV hehehe). Sebuah feature tentang kehidupan minoritas muslim di Denmark. Ini mah pengulangan kasus hampir di seluruh penjuru Eropa. Saling curiga antara kaum minoritas, dan mayoritas. Minoritas merasa tertindas, dan dibedakan. Sementara kaum mayoritas merasa para minoritas eksklusif, dan tak bisa beradaptasi.

Bagi Denmark, kehadiran kaum minoritas adalah hal yang baru. Karena mereka terbiasa hidup sebagai masyarakat homogen. Berbeda dengan negara tetangga lainnya di Eropa semisal Perancis, Inggris, dan Jerman. Yang telah menghadapi gelombang kaum minoritas dari negara bekas jajahannya.

Lalu dari acara ini, aku kok teringat dengan pelajaran di HI dulu. Perang berkepanjangan selama lebih dari 30 tahunlah yang kemudian memunculkan konsep nation state. Konsep ini terwujud dalam perjanjian Westphalia pada abad 18 atau 19 (maafkan aku lupa karena sekarang telah menyebrang jalur).

Intinya untuk menghindari perang, Eropa dibagi menjadi negara-negara berdasarkan suku bangsa, makanya disebut nation state. Makanya jangan heran kalo Eropa luas wilayah per negara cuman seluas propinsi di Indonesia.

Pembagian wilayah berdasarkan suku bangsa itu membuat Eropa cukup stabil dalam beberapa abad belakangan ini, dan mampu membangun ekonominya. Lalu datanglah era globalisasi yang mau tak mau, membawa banyak konsekuensi. Transportasi yang mudah, menyebabkan banyak imigran yang berbondong menuju Eropa yang kaya dan makmur. Dan juga beberapa negara lainnya yang juga sejahtera.

Ternyata globalisasi membawa konsekuensi yang cukup banyak. Beberapa pihak yang tidak siap kemudian kaget. Mereka tak terbiasa hidup berdampingan dalam multikulturalisme. Tapi ini tak akan bisa dihindarkan lagi. Kalau pun masalah ini dianggap sebelah mata, jangan heran bila kerusuhan massal seperti yang terjadi di Perancis beberapa waktu lalu akan terulang di berbagai belahan Eropa.

Pertanyaan berikutnya, bukankah mereka pula yang paling getol tentang konsep globalisasi??? Ingin menikmati renyahnya pasar negara berkembang yang padat penduduk, dan selalu lapar dengan produk-produk canggih yang mereka produksi???

Dibalik itu harus juga diterima kenyataan, kemakmuran mereka akan mengundang semut-semut berdatangan mencari makan. Ini era terbuka, jangan memaksa membuka, tapi tak mau membuka diri.

Kesimpulannya nation state is over. Cerita itu sudah tamat, bersiaplah menghadapi struktur sosial multikultural di manapun Anda berada. Mungkin masih ada beberapa masyarakat yang homogen dalam satu negara. Tapi dimanakah itu???
Aku hanya bisa membayangkan negara-negara Pasifik Selatan, seperti Vanuatu, Fiji, dan teman-teman.

Yogyakarta, 060206