Wednesday, April 26, 2006

“Tiara Lestari”, The Best Case of Personal Branding

Sapa yang tak kenal dengan Tiara saat ini??? Hampir semua orang membicarakannya. Mulai dari orang yang berotak ngeres, ngerumpi soal bodinya yang aduhai di majalah Play Boy Spanyol. Kalangan terpelajar seperti Hermawan Kertajaya pun merasa perlu membahas Tiara Lestari, namun dengan perspektif berbeda. Hermawan lebih menyoroti branding Tiara Lestari yang hebat, yang mampu menyedot ribuan orang untuk mengunjungi blog pribadinya. Tak ketinggalan, milis pemasaran pun sempat membahas sosok yang menghebohkan ini.

Mengapa Tiara menjadi heboh??? Tentu saja karena sensasi. Seperti halnya saat Inul muncul pertama kali, yang mengguncang jagad keartisan Indonesia. Pro dan kontra membuat namanya semakin melambung, hingga muncul istilah baru fenominul.

Walaupun ada persamaan soal sensasi. Tapi ada perbedaan antara keduanya dalam mengelola personal brand. Inul melenggang di tengah kontroversi dengan kepolosannya. Sementara Tiara adalah kebalikannya.

Sadarkah Anda di balik Tiara Lestari ada tim PR yang handal untuk membangun image-nya??? Ada beberapa indikator yang aku lihat. Aduhhhh sulit banget bahasanya indikator, ya gampangnya gejalalah...

Pertama, Tiara mempunyai tag line yang sangat jelas tentang perubahan karakternya di dunia mode. Itu diejawantahkan dalam sebait kalimat “From Sensual To Elegance”. Kayaknya jarang ada artis yang melakukan hal serupa.

Kedua, sebelum tagline itu muncul, dan masih berada di Singapuar. Dia membangun blog pribadinya. Yang menunjukkan citra dirinya sebagai manusia biasa. Citra perempuan biasa yang sederhana, dan bukan gadis liar seperti posenya di Paly Boy untuk merebut simpati.

Ketiga, blog itu dikelola dengan sangat profesional. Aku gak yakin blog itu diisi sendiri oleh Tiara tanpa bantuan seorang editor. Blog itu juga penuh dengan iklan-iklan, memanfaatkan momen banyaknya pengunjung yang penasaran dengan siapa sih Tiara Lestari???

Keempat, konsepnya tentang Elegance, bukan hanya ditegaskan dari penolakannya untuk difoto bugil. Tapi bisa juga dapat dirasakan dari gaya berbicaranya yang terlihat sangat anggun, dan elegan.

Kelima, masih berkaitan dengan sebelumnya. Sadarkah Anda ada sebuah konsistensi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa ia mau berpose di Play Boy?” atau “Mengapa akhirnya ia memilih balik ke Indonesia?”. Ini tidak mungkin dilakukan tanpa ada orang-orang handal di balik layar yang mengatur semuanya.

Keenam, kembalinya Tiara ke Indonesia ditandai dengan pagelaran foto-fotonya dengan tema yang sama “From Sensual To Elegance”. Pagelaran ini menampilkan foto-foto Tiara yang kini sangat elegan dalam balutan kebaya.

Konsep kebaya konsisten dengan pengakuannya bahwa dia berasal dari Solo. Walau aku sempat membaca sebenarnya rumahnya itu, satu jam dari kota Solo. Dan ini berarti can be Karanganyar, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, atau Purwodadi. Sebuah tempat yang tak mudah diingat oleh kalayak. But itulah dunia citra, citra Solo akan lebih mudah diingat dan lebih mendukung image barunya, tentang elegan. Mengingatkan orang tentang citra Putri Solo.....


Yogyakarta, 26 April 2006

Thursday, April 20, 2006

The More Casual Generation

Beberapa minggu kemarin, berturut-turut aku menghadiri resepsi pernikahan di daerah Solo dan sekitarnya. Ternyata ada sesuatu yang telah berubah, setelah kurang lebih enam tahun aku tidak pernha datang ke acara-acara seperti ini, karena aku dulu kan lebih banyak ada di Bandung.

Perubahan yang paling mencolok menurutku adalah cara berpakaian generasi muda saat menghadiri resepsi pernikahan. Kalo dahulu tamu di resepsi pernikahan akan menggunakan pakaian batik lengan panjang, yang terkesan resmi, dengan warna yang tidak jauh dari coklat, hitam, dan warna gelap lainnya.

Maka sekarang banyak dari para tamu terutama generasi muda menggunakan batik lengan pendek, dengan warna yang lebih berani misalnya merah, ungu, biru dan sebagainya.

Motif batiknya pun berebda, dulu motifnya adalah gaya konservatif ala Solo yang menunjukkan kewibawaan. Saat ini telah bergeser ke arah motif-motif batik pesisiran terutama Pekalongan.

Perubahan ini agak mengagetkan, karena pertama orang-orang Solo dan Karanganyar tempat aku tinggal termasuk dalam golongan yang konservatif. Mereka adalah kalangan yang sangat lamban untuk mengikuti perubahan. Tetapi ternyata saat ini keadaan memang telah berubah.

Kedua, motif batik pesisiran yang ramai dengan warna yang meriah, dulu dianggap kelas rendahan. Mempunyai citarasa yang lebih rendah, dibanding batik Solo. Lalu apa yang terjadi, sehingga terjadi perubahan???

Sebenarnya perubahan hal yang sangat wajar. Generasi muda yang lebih terpelajar dan mempunyai pergaulan yang lebih luas, mempunyai cara pandang baru tentang banyak hal. Kedua, derasnya informasi dari berbagai media, mau tidak mau menyebabkan mereka terpengaruh. Era ini memang era di mana orang ingin tampil lebih casual atau santai, dalam setiap suasana.

Lalu pertanyaan berikutnya, apakah para pengrajin batik, atau para pengusaha di daerah lainnya telah menangkap fenomena ini??? Aku kok agak khawatir tidak semua orang menangkapnya dengan baik.

Para pengusaha batik kayaknya memproduksi produk yang sama seperti apa yang mereka lakukan bertahun-tahun yang lalu. Padahal konsumen membutuhkan penyegaran, konsumen ingin sesuatu yang baru. Inilah saatnya perusahaan kecil pun mulai harus berpikir mengenai desain. Bukan hanya sekedar produksi dan produksi.

Yogyakarta, 200406

Thursday, April 13, 2006

Can Minority Speak???

“Aku adalah binatang jalang, Dari kumpulannya terbuang”, kayaknya seperti itulah cuplikan puisi dari Chairil Anwar. Maaf saja kalo tidak terlalu tepat kata per kata. Karena aku memang selalu lemah untuk menghapal detil.

Bait itu kembali mengusik, dan menjadi bermakna setelah sekian lama aku membacanya tanpa mengerti maknanya, saat seorang teman menulis dalam sepucuk kertas di tengah kuliah. Kadang dia merasa takut karena apa yang dipikirkannya berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Lalu aku tiba-tiba teringat dengan puisi Chairil Anwar . Dan menemukan kira-kira apa makna tersembunyi dari puisi itu. Maklumlah saat ini aku sedang getol dengan psikologi.

Lalu apa makna puisi itu??? Menurut interpretasiku, ya persis seperti apa yang dikatakan temenku dalam sepucuk kertas itu. Puisi ini adalah sebuah pemberontakan dirinya, yang merasa cara berpikirnya berbeda dari the rest of the world. Rasa frustasi itu kemudian digambarkannya menjadi seekor binatang jalang, di mana cara berpikirnya yang eksentrik membuatnya merasa terkucil dari sekelilingnya. Binatang yang dianggap tidak berguna, linglung tanpa arah.

Persoalan kemudian menjadi lebih kompleks bila kita menghubungkannya dengan konsep minoritas. Gayatri Chakravorty Spivak menjadi sangat dikenal karena artikelnya yang mengangkat soal ini.

Menurut dia, kaum minoritas tidak mempunyai tempat untuk menyuarakan pendapatnya. Kaum minoritas akan selalu terbungkam, dan mengikuti suara mayoritas. Minoritas harus menerima nasib membisu, meski bisa berbicara. Gayatri mengaku terinspirasi oleh kematian bibinya yang bunuh diri, dan tetap menyimpan rahasianya hingga akhir hayat.

Pertanyaan lanjutan, mengapa seseorang menjadi minoritas??? Apakah dia memilih menjadi minoritas??? Misalnya saja dia memang secara sadar ingin menjadi berbeda, agar dirinya dikenali di tengah kerumunan. Karena bila biasa-biasa saja maka tak akan ada yang memperhatikan eksistensinya.

Ataukah memang beberapa orang terlahir menjadi kaum minoritas??? Dalam artian beberapa orang memang terlahir dengan cara pandang yang berbeda, untuk selalu mempertanyakan kemapanan, dan memberikan penyadaran baru bagi masyarakat. Mereka memang terlahir sebagai agen pembaharuan.

Sehingga beberapa orang harus dihukum mati di masanya karena dianggap melanggar kepercayaan yang ada, namun dipuja-puja pada era berikutnya. Karena ternyata apa yang dikatakan benar adanya.

Lalu aku jadi teringat dengan “Joker” dalam novel “Misteri Soliter”, yang ditulis oleh Jostein Gaarder. Joker digambarkan sebagai sosok yang selalu mempertanyakan keadaan, dia berbeda dari yang lain. Beberapa bahkan menganggapnya gila.

Lalu apa yang bisa aku simpulkan dari kesemuanya adalah. Menjadi kaum minoritas itu melelahkan, apa pun itu bentuknya. Pertarungan antara menerima kebenaran individu, atau kebenaran menurut masyarakat.

Pertarungan untuk menerima keadaan sebagai yang berbeda, atau melakukan penyangkalan untuk seragam dengan yang lain. Semuanya melalui proses yang panjang, dan sangat meyakinkan.

Beberapa orang kemudian menerima dan nyaman dengan perbedaan itu. Sebagian lagi memilih untuk menjadi seragam walau hatinya terus berkecamuk... Sebagian lainnya yang berada di persimpangan, memasuki fase kegilaan sebenarnya ( kandidat pasien RSJ red.), atau memilih bunuh diri. Ironis memang, dan membuatku harus menarik napas panjang.

Can we speak???


Yogyakarta, 1300406

Thursday, April 06, 2006

I am Hyperactive, Really???

Semalam saat ngobrol dengan seorang teman, muncul sebuah pernyataan yang menarik, katanya aku hiperaktif!!! Maksud dia adalah aku kayak tak pernah capek, dan kehabisan energi untuk mengikuti berbagai kegiatan.

Beberapa orang lain juga pernah mengatakan hal yang sama. Tapi sejujurnya apa yang aku pikir tentang diriku sendiri justru sebaliknya. Aku kok mikirnya aku ini adalah orang yang pemalas. Seharusnya ada lebih banyak hal lagi yang bisa aku lakukan.

Bayangkan saja, mendengar cerita teman-teman yang lembur ngerjain tugas terkadang ampe gak tidur semalaman. Sementara aku kayaknya dalam sejarah hidup yang hampir du puluh lima tahun belum pernah sekalipun dilakukan.

Aku masih saja sempat tidur minimal enam sampai delapan jam sehari. So..., bukankah I’m that kind of lazy person actually. Tapi gak tahu juga, kadang apa yang kita persepsikan memang tak pernah sama dengan apa yang dipikir orang lain.

Aku jadi teringat suatu saat aku membaca blog seseorang yang mengatakan hal serupa. Dia merasa belum melakukan banyak hal, dan merasa terlalu malas sebagai seorang manusia. Namun aku pikir, busyettt dah...., dengan kegiatannya yang sebanyak gunung gitu masihkah terasa kurang???

Kalo melihat dua fenomena ini, jadinya kayak berasa terjadi dua paradoks. Paradoks pertama, orang menganggapku working like a Dog (kalo diindonesiakan maksudnya bekerja keras tanpa kenal lelah), sementara aku menganggap diriku working like a Koala (ini mah karanganku sendiri, secara Koala tidur duapuluh jam sehari hehehe). Sementara itu aku tersenyum sendiri melihat orang yang merasa malas, padahal dia telah bekerja luarrr biasa keras.

Aku pikir itu bukan aku, ehhh ternyata aku juga sama aja. Bukankah ini berarti paradoks kuadarat hehehe... Hmmm life sometimes can be that funny. We don’t know who we are until hearing what people think about us....

Yogyakarta, 060406

Wednesday, April 05, 2006

Ayah, Dikagumi Sekaligus Dibenci...

Sebuah sinopsis buku, mengantarku mengenang kembali serpihan-serpihan ingatan tentang hubungan seorang Ayah dan anak lelakinya. Banyak kesamaan dari berbagai cerita baik fiksi maupun kisah nyata yang pernah aku baca. Hubungan ayah dan anak lelakinya selalu dilingkupi hubungan yang rumit dan berkelindan atas perasaan benci, rindu, dan kekaguman.

Pernah aku membaca sebuah curhatan di salah satu milis. Bercerita dengan detil yang mengharukan tentang betapa rumitnya hubungannya dengan Sang Ayah. Hingga suatu saat dengan perasaan putus asa, ia mengirim sms yang isinya kira-kira “Yah apakah kau bangga mempunyai anak sepertiku???” Miris sekali bukan???

Kesan yang hampir serupa tersirat dalam buku memoar Edward Said (tokoh kenamaan dibidang Orietalism). Dalam memoarnya yang panjang lebar, bukan hanya persoalan krisis identitas saja yang muncul di sana. Namun juga menonjol soal hubungannya dengan Sang Ayah, di mana ia selalu merasa berada di bawah bayang-bayangnya hingga di masa tuanya sekalipun.

Hal senada aku tangkap dalam biografi J.W. Marriott yang ditayangkan MetroTV. Sang pemilik kerajaan bisnis Hotel Marriott. Anak J.W. Marriott menganggumi ayahnya sebagai pekerja keras yang luar biasa, sekaligus bersedih karena apa yang dilakukannya tak pernah benar dihadapan J.W. Marriott

Lalu dari ketiga cerita ini, aku menarik kesimpulan, walaupun sangat tergesa-gesa untuk mengambil generalisasi. Ada apa sebenarnya hubungan antara Ayah dan anak lelaki??? Apakah semua orang pernah mengalami masa sulit dengan Ayahnya??? Pertama aku pikir ini menyangkut budaya tertentu, namun ternyata hal itu terpatahkan dengan fenomena yang terjadi di berbagai tempat dengan latar belakang budaya yang beragam. Ini berarti permasalahan yang lintas budaya.

Ada beberapa asumsi yang sempat mampir dibenak. Pertama mengacu pada pendapat dari Sigmund Freud. Secara naluriah anak lelaki akan membenci ayahnya ketika menginjak masa kana-kanak, karena Sang Ayah telah merebut Ibunya, sebagai orang yang ia cintai. Lalu mengapa anak laki-laki tak menikahi ibunya??? Menurut Freud karena semakin dewasa ia belajar bahwa hal itu tidak diijinkan oleh norma sosial. Maka tak heran bila seorang lelaki mencari wanita yang setipe dengan ibunya.

Asumsi kedua adalah budaya patriarki, di mana seorang anak lelaki menjadi tumpuan masa depan keluarga. Seorang Ayah selalu mengharapkan lebih banyak pada anak lelakinya. Ia dibebani dengan harapan yang membumbung tinggi. Sehingga seorang ayah menjadi lebih tegas dan terkadang menetapkan harapan yang terlampau tinggi bagi anaknya. Hal ini menyebabkan anak menjadi stres karena apa pun yang dilakukannya menjadi tak pernah baik dan benar.

Yang ketiga, entah ini bawaan karakter alamiah atau bentukan sosial. Pria memang kurang ekspresif secara verbal dibanding wanita. Seorang Ayah jarang sekali memuji anaknya secara langsung. Ayah lebih banyak mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Sementara Si Anak terkadang begitu terobsesi untuk mendapatkan pengakuan dari Ayahnya. Dan keduanya sama-sama tidak pandai untuk mengungkapkan perasaan masing-masing maka terjadilah kekakuan hubungan di antara keduanya.

Yogyakarta, 050406

Monday, April 03, 2006

RI-Australia, Teman Tapi Musuh (TTM)

Beberapa waktu belakangan ini hubungan Indonesia dan Australia kembali memanas. Indonesia memulangkan Duta Besarya hingga waktu yang tidak ditentukan. Ini bukanlah yang pertama terjadi letupan antara Indonesia dan Australia. Lalu ada apa dengan hubungan ini???

Persoalan Indonesia dan Australia menyangkut hubungan yang rumit, dan tarik-menarik antara berbagai kepentingan. Australia tidak ingin hubungannya dengan Indonesia rusak. Karena begitu banyak kepentingannya di Indonesia. Pasar Indonesia yang 220 juta tentunya sangat menggiurkan. Apalagi industri pendidikannya yang banyak diisi oleh pelajar Indonesia. Coba bayangkan bila mahasiswa Indonesia kemudian ditarik.

Pada sisi lain, Australia takut Indonesia menjadi besar dan kuat. Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam, dengan jumlah penduduk serta wilayah yang luas jelas dipersepsikan sebagai ancaman. Sementara itu secara geopolitik Australia berada dalam posisi terpencil dan sendirian, sebagai negara yang dipenuhi orang kulit putih dan kristen.

Maka tidak mengherankan, Australia diam-diam akan lebih senang bila Indonesia tetap kacau, dan terbelakang. Atau Indonesia terpecah-pecah, karena ini berarti kekuatan Indonesia di dunia internasional akan melemah.

Sementara Indonesia sendiri juga mempunyai banyak kepentingan dengan Australia, selain sejumlah mahasiswa. Turis-turis Australia adalah jumlah terbesar ketiga yang berkunjung ke Bali. Sementara Bali adalah tulang punggung industri pariwisata Indonesia.

Lalu bagaimana akhir dari cerita kedua negara bertetangga yang saling bercuriga ini??? Yah... aku sendiri juga gak ngerti akan bagaimana. Tapi dalam beberapa tahun ke depan gejolak-gejolak seperti ini akan terus muncul, selama saling curiga itu masih terus ada.

Andai saja dunia tidak pernah ada saling mencurigai, dan hidup secara damai tanpa perlu saling mengusik. Maka semuanya tak akan perlu terjadi. Namun prasangka dan ego sepertinya tak bisa terhapus dari diri manusia, apakah ini memang bagian dari insting manusia???

Yogyakarta, 030406

No Brain Like Indian

Sangat menarik mengamati fenomena India, kondisi politik dan infrastruktur tak lebih baik dari Indonesia. Jalan-jalan yang padat, kumuh dan rusak di mana-mana. Pemerintahan yang tidak pernah stabil. Ditambah teror bom di mana-mana.

Bahkan konflik antaragama di India lebih heboh dibanding di Indonesia. Entah telah berapa kali kita dengar tentang pembakaran tempat ibadah baik Islam maupun Hindu. Gerakan aliran garis keras India lebih ganas dibanding Indonesia.

Namun ada satu yang membedakan. Mereka bisa terus merangsek maju, sementara Indonesia terus dirangsek oleh negara-negara lain. Apa yang membedakan India dan Indonesia, adalah masalah visi yang jelas.

Mereka sadar mereka tak punya infrastruktur yang baik, dan sistem politik yang stabil. Maka mereka membangun industri teknologi informasi (TI). Industri TI tidak menuntut infrastruktur jalan dan pelabuhan yang baik.

Yang paling penting adalah koneksi internet, dan manusia yang ahli di bidang TI. India akhirnya menciptakan visi “India as the Brain of the World”. Dan benar saja India segera dikenal di dunia sebagai pusat TI di dunia.

Tapi visi tentang “Otak Dunia” bukan hanya diejawantahkan dalam industri TI, coba amati berbagai profesor di sekolah-sekolah ternama di Amerika. Maka akan dengan mudah menemukan nama-nama keturunan India.

Saat belajar di HI UNPAD dulu, aku banyak menemukan para pemikir keturunan India. Saat ini ketika mengambil MM, ternyata lebih banyak lagi menemukan keturunan India yang menulis buku teks.

Para profesor India di luar negeri pun, masih sempat meluangkan waktunya beberapa bulan dalam setahun untuk kembali ke India berbagi ilmu bagi bangsanya. Mereka pun bersedia mengajar di luar negeri dengan persyaratan, setiap tahun ada kuota khusus mahasiswa dari India yang diberi beasiswa.

Mahasiswa asing terbanyak kedua yang belajar di AS juga dari India, hanya China yang mampu mengungguli. Jadi bisa dibayangkan bagaimana hebatnya India membangun sumberdaya manusianya.

Universitas di India pun sekarang mempunyai gengsi yang tinggi, dan diakui secara internasional. Mereka mampu menyediakan pendidikan yang murah dan bermutu, walaupun dengan fasilitas yang minim. Yang mereka pentingkan adalah kualitas ouput bukan gengsi.

Maka berbondonglah mahasiswa dari berbagai negara ingin belajar ke India, terutama TI. Mereka seakan tidak perduli dengan sesaknya kota-kota India yang pengap, khas negara dunia ketiga. Mereka seakan tidak takut dengan ancaman teror yang mengintip setiap saat.

Dari India kita bisa belajar, untuk tidak pernah menyerah dengan keterbatasan. Permasalahan yang dihadapi hampir sama, mengapa nasib berbeda??? Kedua dari India kita belajar, untuk tak lagi hanya pandai mencari kambing hitam, menyalahkan sana sini. Tapi mulai belajar apa yang bisa kita sumbangkan untuk membangun bangsa ini agar sejajar dengan bangsa lain. Kita dapat berkontribusi melalui hal kecil, melalui hal yang kita lakukan.

Yogyakarta, 250306