Monday, August 14, 2006

To Be an EO

Syukurlah acara Saturday Jazz Lunch “The Toyota Way” Seminar, telah usai. Setelah beberapa minggu yang panjang harus dilalui. Energi juga terkuras habis untuk memikirkan agar segala sesuatunya berjalan dengan baik. Dan tampaknya semua berjalan dengan sukses, walaupun tentu saja kekurangan kecil masih saja terjadi.

Yang menarik dari semuanya adalah banyak pelajaran yang dipetik dari kegiatan ini. Pertama, aku harus belajar untuk menghadapi ketidakpastian, dan ketidakberaturan. Padahal ini adalah hal yang paling aku tidak sukai. Aku adalah tipikal yang melakukan sesuatunya harus terencana.

Namun sebagai EO ini adalah hal yang tidak terhindarkan. Aku harus bekerjasama dengan berbagai pihak. Dalam kegiatan ini misalnya, bekerjasama dengan penerbit Erlangga, V-Art Gallery Cafe, toko buku Toga Mas, i Radio, pembicara dari MM UGM dan Astra, Blank Design Buro dan berbagai pihak lainnya.

Bisa dibayangkan dalam last minutes ada banyak hal yang mungkin berubah. Dan sebagai EO, aku harus belajar gimana memecahkannya dengan cepat, dan yang terpenting dengan kepala dingin.

Pelajaran kedua, aku harus bekerjasama dengan orang-orang yang mempunyai karakter yang beda-beda. Ada yang sangat emosional, ada yang mempunyai ide besar yang brilian, tetapi lemah pada detil teknis di lapangan. Semuanya serasa begitu kompleks, dan kadang membuat frustasi.

Tapi bagaimanapun aku tidak boleh menyerah. Aku tidak boleh terpancing menjadi emosional. Karena pada saat seperti ini, aku harus menunjukkan peranku sebagai seorang pemimpin. Bukan sebagai pemimpin yang harus tampil di depan. Tapi pemimpin yang fleksibel, mampu menjadi pendengar yang baik, terkadang harus rela disuruh-suruh. It’s okay... kehadiran seorang pemimpin kan bukan harus tersurat, tapi juga tersirat.

Pelajaran lainnya, aku dipaksa untuk multi tasking. Bayangkan di saat aku sibuk untuk mengurus proposal, lalu memasang poster, dan berjualan tiket acara. Aku harus tetap konsisten mengerjakan tesis. Menghubungi dan menunggu dosen, yang jadwalnya juga padat dan susah ditemui.

Belum lagi di saat bersamaan, aku ada panggilan psikotes dari Danone yang dilakukan seharian penuh. Belum selesai psikotes, aku diberitahu berita buruk soal pembicara yang tiba-tiba tidak bisa, sementara poster terlanjur dicetak. Bayangkan betapa padatnya hari-hariku. Thanks God semuanya sudah lewat, dan aku mampu melampauinya dengan baik.

Setiap hal adalah proses, dan aku sedang berproses menjadi lebih baik. Aku tak merasa diri yang terbaik, tapi aku selalu berjanji pada diri sendiri dan orang lain untuk menjadi lebih baik, dalam setiap langkahku…

Yogyakarta, 130806

Saturday, August 12, 2006

The Art of Selling

Beberapa hari belakangan ini aku disibukkan dengan persiapan mengadakan sebuah acara dari Smart Corner Club bekerjasama dengan V-Art Gallery Coffe. Acaranya sendiri, bedah buku “Toyota Way”. Banyak hal yang aku pelajari dari kegiatan ini. Tapi yang paling berkesan adalah, ini kali pertama aku berjualan produk.

Ternyata memang tidak mudah menjual produk. Ada teknik-teknik tertentu untuk bisa meyakinkan orang lain agar mau membeli tiketnya. Tapi aku merasa ini sangat mengasyikkan. Aku telah berkomitmen ingin memasuki dunia pemasaran. Maka ini adalah langkah awal untuk memahami secara langsung dalam dunia nyata, bukan hanya teori, gimana sih memasarkan itu???

Beberapa hal yang aku temukan adalah, tiap orang mempunyai ketertarikan yang berbeda atas sesuatu. Ada yang memang tertarik dengan bukunya. Ada yang tertarik karena tempatnya. Ada yang tertarik karena teman dekatnya juga datang, tak perduli apa acaranya. Ada yang teratrik pengin foto-foto.

Ini berpengaruh pada pendekatan yang berbeda saat membujuk mereka hingga akhirnya mau membeli tiket. Dan aku harus bisa membaca dengan cepat, kira-kira faktor apa yang paling mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan pembelian.

Hal lainnya, ternyata memang tidak mudah meyakinkan orang lain. Aku tahu ini adalah bagian dari kelemahanku. Aku kurang mampu meyakinkan orang lain untuk mendukung pendapatku. Nah di saat inilah ajang yang sangat tepat untuk belajar meyakinkan orang lain, agar mau membeli.

Sejauh ini, hasilnya cukup memuaskan. Walaupun aku merasa seharusnya aku bisa melakukan lebih banyak lagi penjualan. Namanya juga pengalaman pertama, tentunya banyak sekali kekurangan. Tapi aku berjanji untuk selalu belajar agar bisa melakukannya dengan lebih baik lagi, dan lebih baik lagi.

Karena dalam otakku, apabila aku menerjuni sesuatu hal, dan telah memutuskan ini hal yang aku inginkan. Maka aku hanya akan melakukannya untuk mencapai yang terbaik. Aku hanya ingin yang terbaik, tidak nomor dua atau nomor tiga. Aku akan membayar berapapun biaya yang harus aku keluarkan untuk mencapainya.

Ini kan bagian dari proses, sesuatu itu akan menjadi baik bila kita mau membayar proses yang harus dilaluinya...

Yogyakarta, 110806

Good Luck Part 2: Persistency of the Japanese

Ini adalah bagian kedua dari serangkaian tulisan yang dijanjikan tentang serial “Good Luck”. Kali ini aku ingin menggambarkan betapa orang Jepang sangat gigih dalam memperjuangkan mimpi, dan harapannya.

Shinkai, tokok utama dalam serial itu, mengalami kecelakaan sehingga kakinya cedera dan syarafnya putus. Dokter mengatakan ia tidak mungkin lagi menjadi seorang pilot, karena walaupun dia dapat berjalan dengan normal. Penyakitnya bisa kambuh kapan saja, dan ini sangat membahayakan penumpang.

Namun Shinkai tidak pernah menyerah. Sebuah kalimat yang mengharukan ketika ia mengatakan ”Aku akan melakukannya, walaupun semua orang mengatakan itu tidak mungkin”.

Melihat kegigihannya, Dokter memberikan tawaran untuk melakukan operasi menyambung syaraf yang putus. Namun risikonya sangat besar, apabila gagal maka ia tidak akan bisa berjalan selamanya. Dan tingkat keberhasilan operasi ini di bawah sepuluh persen. Dan bisa ditebak, Shinkai tanpa ragu-ragu mengambil risiko itu, demi impiannya untuk kembali menjadi pilot.

Dari sini kita bisa belajar, bagaimana orang-orang Jepang sangat gigih dalam melakukan sesuatu. Mereka pantang menyerah, walaupun dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun. Mereka mempunyai kemauan yang sangat keras, sehingga tak ada satupun yang mampu menghancurkan impian mereka.

Maka jangan heran bila Jepang yang dulunya terisolasi dari dunia luar. Lalu dipaksa membuka diri oleh Barat pada abad 18. Akhirnya mampu bangkit, dari kebodohan dan ketertinggalan mereka melalui Restorasi Meiji. Dan akhirnya lahirlah Jepang yang menjadi raksasa menakutkan pada tahun 1945.

Dan sekali lagi setelah mereka porak-poranda akibat kekalahan dalam Perang Dunia II, mereka mampu bangkit dengan cepat. Dalam waktu kurang dari dua puluh tahun, mereka mampu menunjukkan kembali dirinya sebagai kekuatan yang sangat disegani di dunia.


Yogyakarta, 110806

Tuesday, August 08, 2006

Mengingat Kembali “Pengakuan Pariyem”

Yayaya tentang “Pengakuan Pariyem”. Tiba-tiba aku merasa tertarik untuk mengulasnya, karena aku baru saja melihat buku ini kembali dicetak dan dipajang di rak-rak took buku. Ceritanya beberapa hari yang lalu aku melihatnya di toko buku langganan, dan aku berjanji untuk menulis tentang buku ini di blog.

Yayaya buku ini memang sangat mengesankan, karena aku berhutang banyak hal darinya. Awalan ”yayaya” yang sering kali aku gunakan untuk memulai alinea, terinspirasi dari prosa liris ini. Aku ingat sekali, setiap alinea baru atau bab baru (maaf aku lupa, karena aku membacanya beberapa tahun yang lalu), selalu di awali dengan kalimat ”Yayaya nama saya Maria Magdalena Pariyem”.

Kalimat yang mencerminkan keluguan ini sangat mengesankan buat aku. Prosa liris ini sangat direkomendasikan, bila Anda ingin mengetahui seluk beluk kehidupan orang Jawa.

Linus Suryadi, yang mengarang prosa liris ini. Mencoba mengkritik budaya Jawa, dengan cara Jawa, yang halus, tapi nylekit (bahasa Jawa untuk menyakitkan red). Dari pengakuan seorang Pariyem. Maka Anda akan diajak bertamasya melihat seperti apa sih masyarakat Jawa itu??? Yang terlihat halus, namun menyimpan banyak ironi... Seorang Pariyem yang sangat lugu, baik hati, dan berpikiran positif, sangat khas. Dan aku merasa tokoh ini benar-benar hidup...

Linus menceritakan tentang sistem kasta, pendefinisian manusia tentang dosa, kehidupan masyarakat pedesaan jaman dahulu. Karena aku gak yakin masyarakat di desa masih sempat menonton ketoprak di desa tetangga. Ini kan era televisi, siapa sih yang gak tersihir olehnya???

Pariyem juga mengakui dosanya telah berhubungan dengan anak majikannya, yang tidak dianggapnya sebagai sebuah aib. Tapi lebih kebanggaan karean berhasil merenggut keperjakaan anak Sang Majikan...

Bahasa yang lugu, khas orang desa. Membuat kita tersenyum sekaligus berpikir, betapa mirisnya kehidupan. Lewat sosok Pariyem pula, kita diperkenalkan dengan istilah “Lembu Peteng”. Istilah untuk anak haram yang tidak jelas bapaknya. Biasanya terjadi karena perselingkuhan seorang “priyayi” atau orang terpandang dengan wanita yang derajatnya tidak setara.

Sang wanita diminta untuk tutup mulut agar tidak mengatakan siapa ayah dari anak tersebut, karena ini merupakan aib, dan merusak nama baik Sang Priyayi. Ya kira-kira begitulah sebagian dari isi buku itu yang masih kuingat.

Sebuah buku yang bagus akan selalu meninggalkan sesuatu bagi pembacanya. Dan buku itu selalu menjadi inspirasiku. It’s so nice to know this book.

Yogyakarta, 060806

Between Feeling and Rationality???

Pernahkah sosok seseorang di masa lalu, kembali mengganggu??? Seakan sosoknya hidup kembali, dan mengiang-ngiang mengejarmu??? Rasanya memang aneh, setelah sekian lama, waktu terus berjalan, tapi masih saja membayangkannya. Masih saja akan menemukannya, dalam suatu saat tak terduga.

Aku dulu berpikir ini hanya ada dalam dunia film. Sebuah fantasi tentang romantisme yang hanya berkutat di dunia imajinasi, dan bukan di dunia nyata. Lalu mengapa aku terjebak dalam perasaan serupa??? Apakah aku kebanyakan menonton film??? Ataukah memang selama ini aku tidak jujur pada diri sendiri???

Sempat mengubur dalam sosoknya hingga aku berhasil melupakannya, namun semua itu hanya untuk sesaat. Hingga saat di mana ada stimulus yang membangkitkan memori itu, dan perasaan yang selama ini aku tekan kembali muncul ke permukaa???

Entahlah kadang aku begitu tidak memahami perasaan sendiri. Satu sisi mengatakan, itu hanya kebohongan romantis yang aku bangun atas fantasi. Sosok melankolis yang kadang aku benci.

Di sisi lain, sudut hatiku mengatakan. Someday we will meet again... Suatu waktu di negeri antah berantah, saat itu semuanya telah berbeda. Di saat itu aku dan dia tidak lagi memasang ego... Di saat itu aku dan dia merasa kami selama ini saling kehilangan, dan berusaha mencari sandaran, tapi tak pernah menemukan yang tepat..

Suatu waktu yang aku yakin bukan dalam waktu dekat. Aneh, sekaligus menyebalkan... Kadang aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagian mana dalam diriku yang harus aku percayai??? It’s just a split personality. Fighting between feeling and rationality…

Yogyakarta, 060806

Sunday, August 06, 2006

Good Luck Part I: All About Service Quality…

Seorang teman mengunduh dari internet serial drama Jepang berjudul “Good Luck”. Dia sangat merekomendasikan serial ini untuk ditonton. Ternyata rekomendasi itu memang benar. Serial ini sangat mengesankan, aku merasa perlu untuk menulisnya dalam blog.

Serial ini, bercerita tentang kehidupan para pilot, pramugari, dan orang-orang yang terlibat dalam bisnis penerbangan. Tulisan ini memang sengaja di beri judul Part I karena akan ada beberapa bagian yang direncanakan untuk mengulas serial ini.

Untuk bagian pertama, aku tertarik membahas perusahaan penerbangan Jepang, yang sangat memperhatikan aspek pelayanan pada penumpang. Dalam serial ini, ditunjukkan bagaimana telitinya seorang mekanik memeriksa mesin pesawat. Semua harus sempurna, demi keselamatan penumpang.

Para pramugari pun melakukan simulasi tentang bagaimana menangani penumpang yang mabuk di atas pesawat. Dan bagaimana cara melarangnya, tapi tidak membuat penumpang tersinggung. Semuanya demi keselamatan dan kenyamanan penumpang.

Sungguh... Sebagian dari Anda mungkin berpikir itu kan hanya film??? Tapi aku yakin ini benar, karena prinsip utama manajemen bisnis Jepang adalah konsumen itu Tuhan/Dewa, bukan hanya sekedar Raja.

Ironis sekali membayangkan pelayanan jasa penerbangan di Indonesia, yang kita dengar selalu kecelakaan, dan kecelakaan. Ini jelas menunjukkan bahwa pelayanan pelanggan , hanyalah omong kosong.

Berbagai perusahaan jasa lainnya, yang pernah aku temui juga melakukan hal yang sama. Perlakuan yang buruk pada pelanggan, sehingga aku kapok untuk kembali lagi. Harus diakui perusahaan asing lebih bisa menghargai pelanggan.

Lebih ironis lagi, tesis-tesis di MM UGM sangat banyak mengangkat tema kualitas pelayanan. Lalu kemanakah hasil berbagai penelitian ini, kok tampaknya hilang tak berbekas???

Bila kita mengerti apa pentingnya kualitas pelayanan dalam tataran ide, mengapa dalam tataran praktek berantakan??? Jangan-jangan benar, predikat bangsa kita yang hanya pandai membuat slogan???

Dari serial ini, aku merasa harus memulai memperbaiki dari diri sendiri. Aku berjanji untuk memperlakukan orang lain lebih baik lagi. Kualitas pelayanan kan bukan harus pada tataran perusahaan. Aku bisa memulainya dengan melayani teman-teman, dengan setulus hati.

Ini akan menjadi kebiasaan yang baik, hingga suatu saat, ketika aku mempunyai perusahaan, it has been in my blood. Menumbuhkan sebuah budaya, bukan perkara gampang. Dan aku harus memulainya saat ini juga...

Apapun yang kita lakukan, baik itu memproduksi barang ataupun jasa tetap saja ada unsur jasa di sana, karena kita menyediakan jasa kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Maka aku harus bekerja sepenuh hati demi kepuasan pelanggan. Dan pelanggan akan menghargai kita, dengan sepenuh hati...

Yogyakarta, 050806

Thursday, August 03, 2006

Solo, the Spirit of Java

Beberapa waktu yang lalu saat pulang ke Karanganyar. Selintas aku membaca papan iklan di pintu masuk kota Solo, isinya seperti yang tertulis di judul. Fenomena ini menjadi menarik karena beberapa hal.

Pertama, akhirnya Solo sebagai kota yang berbasis jasa menyadari perlunya sebuah merek bagi kotanya. Solo sepertinya ingin bangkit dari citra angker dan menakutkan pasca kerusuhan Mei 1998. Solo ingin membangun citra baru, sebagai kota yang selalu dikenang sebagai pusat perkebangan kebudayaan Jawa.

Hal ini membuat aku sangat senang. Karena memang sudah seharusnya, sebuah kota yang menyandarkan perekonomiannya pada perdagangan dan wisata, mempunyai merek spesifik agar mudah diingat oleh konsumen.

Faktor kedua yang membuat ini menjadi menarik karena, Solo mengambil tema Jawa, sesuatu yang memang melekat dalam persepsi orang tentang Solo. Karena secara teori pun, brand destination harus mencerminkan dinamika masyarakat, dan persepsi orang tentang daerah tersebut.

Branding ini lebih baik dibanding yang pernah dilakukan Yogyakarta dengan ”Never Ending Asia”. Jujur saja aku tidak suka dengan merek ini, karena mengingatkan pada branding Malaysia ”Truly Asia”. Karena Yogya memang tidak mungkin mengklaim dirinya Asia, karena masyarakatnya kan homogen etnis Jawa.

Faktor ketiga yang membuat menarik adalah saat ini citra Yogyakarta sedang jatuh karena berbagai bencana yang terjadi, mulai dari gempa dahsyat hingga letusan gunung Merapi.

Solo dan Yogyakarta, ibaratnya kakak beradik dengan karakter budaya, dan potensi yang dijual hampir sama. Oleh karena itu saat Yogyakarta mengalami penurunan jumlah wisatawan. Tampaknya pemerintah kota Solo berusaha menarik para pengunjung yang urung ke Yogyakarta, untuk berkunjung ke Solo dan sekitarnya.

Ini era otonomi Bung!!! Setiap daerah harus berkompetisi agar tetap bertahan…


Yogyakarta, 030806