Wednesday, November 22, 2006

Road to Be Celebrity with MM UGM


Hohoho, akhirnya aku memasang fotoku sendiri di dalam rangkaian tulisan blogku. Ini adalah sesi foto para penerima beasiswa MM UGM, dari angkatan pertama hingga yang terbaru.

Gimana gak bersemangatttt, secara foto kami akan dipajang dalam iklan MM UGM di empat media berbeda, dan salah satunya KOMPAS ajahhh. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sebelumnya wajahku sudah pernah nampang dua kali dalam iklan MM UGM. Pertama diterbitkan di koran Pikiran Rakyat (koran lokal Jabar), dan kedua adalah fotoku bersama teman-teman di Smart Corner Club, yang ini terbit di Bisnis Indonesia.

Pengalaman sebagai mahasiswa MM UGM, telah mengantarkanku bukan hanya belajar gimana manajemen, dan jualan. Tetapi juga memuaskan hasrat banci tampil dan hayang eksis (versi sunda dari banci tampil red.). Gimana enggak, selain menjadi bintang iklan, aku juga pernah siaran di radio bersama Smart Corner.

Jadi inget waktu S1 dulu, pengennnnn banget siaran di radio. Pokoknya nampil dan eksis lah hehehehehe. Kebetulan aku mempunyai temen-temen deket, yang tujuannya searah, seleb wanna be ajahhhhh.

Kita semua paling demen yang namanya, datang ke acara-acara di radio, ikutan audisi, ikutan kuis,semuanyalah yang bisa membawa pada ketenaran hahaha. Kita berempat sering beranda-andai, “enak kali ya kalo jadi penyiar”. Terus gila-gilaan having fun dengan any kind audisi. Mulai dari Indonesian Idol, Pop Star, AFI ampe VJ Hunt…

Yang paling heboh waktu audisi MTV VJ Hunt, aku rela berlenggak-lenggok buat ngedapetin sepatu dalam sebuah games. Lenggak-lenggok gila itu membuahkan kehebohan penonton, dan dapetlah aku sepasang sepatu hahahaha. Dan gilanya lagi pas acara dah bubar, ada ibu-ibu masih ngenalin aku sebagai pembuat kehebohan di games hehehe.

Dan akhirnya gak nyangka bangettt, kuliah S2 di Yogya, membawaku pada eksistensi yang lebih tinggi dalam dunia tampil-menampil. Jadi bintang iklan, dan penyiar??? Hmmm kayaknya dulu gak pernah kebayang deh… Dan temenku seperjuangan makin ngiri ajah melihat karirku yang terus menanjak di dunia tampil menampil…

So every body, buat yang pada suka nampil dan jadi terkenal daftar ajah beasiswa MM UGM. Kurang apa coba??? Sekolah gratis, masih pula diundang buat jeprat-jepret kikikikik. Tak kubayangkan dunia seindah ini…


Yogyakarta, 211106

Monday, November 20, 2006

Children Purchasing Power


Masih seputar cerita nonton bioskop kemarin Kali ini analisis dari sudut pemasaran. Honestly, kemarin aku terkaget-kaget karena banyak yang datang menonton Denias adalah anak-anak. Mungkin Anda berpikir, ahhh itu mah biasa. Ya memang biasa, tapi menjadi tidak biasa ketika mereka datang bergerombol bersama teman-temannya. Sementara mereka paling berumur sembilan hingga dua belas tahun. Ya.., ini berarti mereka masih duduk di bangku SD.

Tampang-tampang meraka masih sangat imut-imut khas anak-anak. Dan itu bukan hanya segerombol, tapi ada beberapa gerombol aku pikir ini sangat luarrr biasa. Karena ternyata generasiku dan generasi mereka yang tidak terlalu beda jauh, menunjukkan perubahan perilaku yang besar.

Zaman aku seumuran itu, kayaknya tidak ada yang berani bepergian sendiri, apalagi ini nonton bioskop. Aku hanya mengenal musim main kelereng, main kartu, main layangan.

Anak-anak sekarang tampaknya lebih independen, hal ini didorong karena orang tua mereka yang semakin sibuk sehingga semenjak kecil mereka terbiasa ditinggal sendiri.

Alasan kedua, zaman dulu mana mungkin anak seumuran itu punya uang jajan cukup banyak untuk membeli tiket bioskop. Bayangkan tiket bioskop 21 di Ambarukmo Plaza adalah Rp. 20.000,00, jadi bisa diperkirakan kira-kira berapa ribu uang jajan harian mereka.

Ini menunjukkan ternyata anak-anak saat ini memang pasar yang sangat potensial. Mereka mampu mengambil keputusan sendiri tentang apa yang akan mereka konsumsi. Mereka juga mempunyai cukup banyak uang untuk membeli produk yang mereka suka.

Anak-anak sekarang tumbuh dewasa lebih cepat dibanding generasi sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan bila banyak sekali pemasar yang menyasar anak-anak, atau menggunakan anak-anak sebagai infulencer dalam pembelian suatu produk.

Tentu saja, ini lebih banyak terjadi pada anak-anak kelas menengah atas. Di mana orang tua mereka biasanya sibuk bekerja, sehingga uang dan materi menjadi kompensasi akan waktu yang mereka habiskan di luar rumah. Boleh dikata, apa pun mau si anak, asal mereka senang pasti akan diberikan.

Kedua, keluarga kelas menengah atas biasanya mempunyai jumlah anak yang sedikit, tidak lebih dari dua orang. Perhatian dan materi yang mereka berikan tentunya juga menjadi lebih besar porsinya bagi masing-masing anak.

Yogyakarta, 201106

Tunggu Denias Sekolah Mama…

Ini adalah penggalan dialog film “Denias”, ketika ia menangis tersedu-sedu dihadapan mayat ibunya. Kontan saja, aku tak sanggup mencegah lelehan air mata yang berhamburan. Aku teringat kembali saat-saat terakhir aku melihat ibuku terbaring lemah menahan sakit…

Yayaya, mungkin peristiwa ini telah berulangkali kutulis di blog ini. Tapi rasanya aku tak pernah puas, dan ingin terus menuliskannya. Karena itu adalah momen yang tak akan pernah aku lupakan dalam hidup...

Saat di mana aku akhirnya merelakannya untuk pergi selamanya... Saat aku benar-benar ikhlas melepas beliau, karena aku tak tahan lagi melihat penderitaan yang harus ditanggungnya. Dan tak lama kemudian beliau menghembuskan napas terakhir...

Aku seperti halnya Denias, hanya menginginkan hal sederhana. Aku ingin ibuku menanti hingga aku menamatkan masterku. Aku ingin beliau ada saat aku merayakan kemenangan itu. Tapi apa mau dikata. Takdir tak mungkin dilawan. Beliau telah berjuang sekuat tenaga, tapi kuasa Tuhan berkata lain.

Lalu seperti halnya Denias, aku melalui satu tahun belakangan ini dengan penuh semangat menyelesaikan kuliahku demi Ibu. Denias berkata, ia ingin bersekolah demi Sang Ibu di Surga. Aku pun sama, aku bersemangat menyelesaikan kuliahku demi Ibu.

Karena Ibu bercita-cita agar anaknya sukses dan jadi ”orang”. Ibu kini sebagian impianmu telah tercapai. Namun perjalanan masih panjang. Impian Ibu melihatku menjadi ”orang”, masihlah jauh. Banyak jalan terjal yang harus kuhadapi di depan Ibu...

Tapi demi mengingatmu, aku akan tetap bersemangattt!!! Walaupun aku harus berdarah-darah, dan seberapapun mahalnya biaya kesuksesan itu, aku rela membayarnya demimu Ibu... Di saat aku lelah, dan linglung, kala aku kehilangan semangat, maka aku akan mengingatmu...

Kata-kata yang terus kau ucapkan saat kita berbicara berdua. Impian yang kau titipkan padaku, menjadi ajimat yang akan mengalahkan semua ketakutan dan rintangan di depan. Ibu..., kuharap kau sedang berada disampingku kala aku menuliskan ini...

Namun bagaimanapun aku masih lebih beruntung dibanding Denias. Ia ditinggal ibunya saat masih SD, sementara aku sudah hampi meraih gelar S2. Kehidupan dan rintangan yang dihadapi Denias juga jauhhhh lebih berat dari yang aku hadapi. Kalo Denias saja mampu menorehkan sejarah, dan memberikan inspirasi. Mengapa aku tidak??? Paling tidak aku bisa memberikan inspirasi bagi orang-orang terdekat...


Yogyakarta, 191106

Mengolah Ingatan Masa Lalu Lewat “Denias”



Film Denias entah mengapa mampu memberikan dorongan cukup kuat buatku untuk pergi ke bioskop. Maklum aku orang yang sangat jarang ke bioskop. Alasan pertama, aku tipikal orang yang lebih suka membaca daripada menonton. Kedua, aku bisa bangkrut kalo sering-sering nglencer ke bioskop.

Mengapa akhirnya dibela-belain nonton bioskop sendirian, demi Denias??? Pertama temanya yang mengangkat kisah nyata seorang anak Papua dari suku tertinggal yang bersemangat untuk sekolah menggugahku… Karena aku juga orang yang percaya pendidikanlah yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih baik.

Kedua, aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan pada perkembangan film nasional. Aku hanya ingin membuktikan komitmenku pada bangsa ini, dengan memberikan penghargaan pada kreasi anak bangsa.

Dan ternyata tidak salah, film ini membuatku menangis terharu, sekaligus membuatku tertawa terpingkal-pingkal dengan tingkah lugu mereka. Aku pun tersenyum-senyum simpul, karena beberapa kenangan masa lalu seperti tersibak kembali…

Yayaya, bumi Papua adalah tempat dimana aku dilahirkan. Logat bicara Denias, dan para tokoh lainnya dalam film ini, mengingatkanku pada masa-masa dulu... Semuanya sangat khas Papua. Sesuatu yang mungkin tidak pernah dikenal di luar Papua. Misalnya istilah suwanggi untuk setan, lalu penggunaan akhiran kah yang mungkin tidak lazim bagi orang-orang di luar Papua.

Lalu hukuman yang menggunakan cambuk dari rotan, membuatku mengingat masa-masa SD di Sorong. Memang benar, di Papua ketika seorang murid melakukan kesalahan maka ia akan dihukum dengan dipukul kakinya dengan sebilah rotan. Aku tak tahu apakah di semua daerah, dan di semua sekolah. Tapi paling tidak di sekolahku memang begitu...

Belum lagi, lagi-lagu asli Papua yang mengiringi film itu, membawaku pada kenangan di saat-saat terakhir sebelum aku meninggalkan tanah Papua. Ketika itu aku menjadi salah satu penari yospan (Yosim Pancar), tarian khas Papua. Tarian ini dipentaskan di sekolah, untuk sebuah acara yang aku lupa hehehe (maklum aku di sana hanya hingga kelas 4 SD, itu berarti lima belas tahun lalu). Dan lucunya dari kalo gak salah sepuluh orang penari, tak ada satupun yang asli Papua, semuanya keturunan pendatang (misal Jawa, Ambon, Ternate).

Film yang sangat tidak rugi untuk ditonton. Film yang bukan hanya memberikan inspirasi baru, tapi juga membangkitkan romansaku dengan masa lalu. Masa-masa yang indah, masa kanak-kanakku yang sebagian besar kuhabiskan di Papua... Karena di Papualah aku benar-benar belajar apa arti toleransi, dan hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama.


Yogyakarta, 191106

Friday, November 17, 2006

X-Men 3, The Reigning of Perpetual Peace…


Seperti janji sebelumnya, aku akan menulis tentang X-Men 3. Kalo liat akhir cerita film ini, langsung keinget dengan buku Imanuel Kant, “Perpetual Peace”. Karena Imanuel Kant sebagai tokoh yang berparadigma Liberalis, menganut asumsi yang berbeda dengan Realis, yang disebutkan dalam tulisan sebelumnya.

Kaum Liberalis berasumsi, bahwa manusia itu pada dasarnya baik, dan mau bekerjasama. Oleh karena itu, Imanuel Kant dalam bukunya Perpetual Peace, menyarankan adanya kerjasama antar umat manusia agar tercipta kedamaian abadi, atau perpetual peace.

Aku lupa apakah saat itu ia sudah menyinggung soal hubungan antar negara, atau hubungan antarmanusia secara umum. Tapi yang jelas, karya Kant menjadi inspirasi utama bagi pemikir-pemikir Liberalis berikutnya dalam menyumbangkan ide untuk menciptakan perdamaian dunia, melalui penciptaan organisasi dunia.

Oke kembali lagi ke film X-Men 3, yang diakhiri dengan cerita perdamaian, dan dialog antara manusia dan mutan. Lalu dipilihlah seorang mutan yang mewakili Amerika Serikat di PBB.

Jelas sekali dong aroma Liberalisnya??? Pertama adanya dialog dan kerjasama antara mutan dan manusia. Kedua dipilihlah satu wakil yang akan mewakili suaran mutan dan manusia di PBB. Ingat tadi disebutkan, kalangan Liberalislah yang merupakan sponsor utama pembentukan organisasi dunia.

Ini bukan berarti pemikir Realis tidak cinta perdamaian lhoo… Mereka juga cinta damai, tapi menurut mereka kedamaian hanya bisa dicapai melalui Balance of Power. Lagi-lagi contohnya pada era masa Perang Dingin. Dua negara adidaya memang berseteru, tapi mereka tak pernah melakukan perang terbuka. Begituuu menurut kaum Realis…


Yogyakarta, 161106

X-Men 2, Representation of Realism


Setelah nonton film X-Men jadi kangen neh, untuk mengulasnya dari sisi HI, seperti tugas waktu kuliah Teori Hubungan Internasional (THI) dulu. Ceritanya, dalam sekuel kedua ini. Magneto (pimpinan mutan yang radikal, ingin memusnahkan manusia, karena manusia tidak bisa menerima kehadiran mutan), dan Charles Xavier (pimpinan mutan yang lebih menyukai cara damai dalam menyelesaikan perselisihan ini), akhirnya bersatu melawan tokoh antagonis yang ingin memojokkan kalangan mutan.

Padahal sebelumnya mereka berdua adalah musuh. Karena mereka punya pandangan yang berbeda. Namun ternyata bersatunya mereka hanyalah sementara. Mereka bersatu karena punya kesamaan kepentingan.

Tidakkah ini sama ceritanya dengan hubungan Rusia dan AS pada Perang Dunia II??? Sebelumnya kedua negara ada pada sisi yang berbeda. Namun dalam PD II mereka bersatu, karena mempunyai kesamaan kepentingan mengalahkan Jerman, dan Jepang yang membabi buta.

Setelah PD II usai, dan mereka merayakan kemenangan. Kedua negara pun menjadi musuh kembali, hingga terjadilah Perang Dingin.

Inilah yang kemudian membuat pandangan Realis menjadi populer. Mereka mengklaim hanya melihat dunia seperti adanya. Mereka bersifat realistis, maka disebut Realis. Realisme menganut asumsi dasar, manusia itu pada dasarnya egois dan mementingkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, dalam tataran hubungan internasional, jargon utama dari Realisme adalah National Interest. Sebenarnya konseptual, dan sejarahnya emang lebih kompleks dari ini hehehe. Tapi bagi orang awam, pemahaman ini semoga tidak menyesatkan.

Dan sekali lagi, konflik, kerjasama, lalu kembali terjadinya konflik antara Charles Xavier dan Magneto, mengingatkan kembali nuansa Realisme. Kepentinganlah yang menyatukan mereka untuk kompromi, dan kepentingan juga yang membuat mereka akhirnya pecah.

Tapi aku sangat suka dengan akhir cerita X-Men, seperti yang digambarkan pada sekuel ketiga. Gimana ceritanya, baca aja tulisanku tentang X-Men 3...


Yogyakarta, 161106

Cermin Merah, Menilik Kepribadian yang Depresi…


Beberapa waktu lalu aku baru saja membaca novel “Cermin Merah”, yang ditulis oleh N. Riantiarno. Novel yang asyik sebenarnya, dan membawa banyak perenungan dan pesan.

Mulai dari sentilan pada Orde Baru yang bersikap represif terhadap orang-orang yang dianggap PKI. Novel ini juga banyak mengupas perdebatan antara film seni, dan komersial. Pertentangan antara idealisme dan keinginan pasar. Cerita juga berkembang mengenai kepribadian yang terkoyak akibat trauma mendalam akan berbagai kenyataan hidup yang dihadapi Arsena sebagai tokoh utama.

Lalu apa sebenarnya inti novel ini??? Aku sangat setuju dengan komentar Maman S. Mahayana dalam sampul buku ini, yaitu menunjukkan karakter N. Riantiarno yang terkoyak secara psikologis.

Novel ini bergerak, dari masa sekarang, lalu kembali ke masa lalu. Banyak adegan cerita dalam cerita. Penggambaran fiksi, yang juga merupakan kenyataan. Misalnya Arsena menulis novel yang berjudul ”Cermin Merah”, sama halnya dengan judul novel ini.

Novel ini seperti juga menguak pengalaman tragis Riantiarno ketika novel ini sempat ditolak dimana-mana pada saat itu, karena mengangkat persoalan yang sensitif yaitu PKI. Novel yang sangat tragis dari awal hingga akhir.

Aku belum pernah menjadi begitu depresi membaca novel sebelumnya. Tapi novel ini membuat perasaan aku benar-benar terkoyak-koyak karena terlarut dalam lika-liku Arsena. Novel yang memberikan banyak perenungan dan pengetahuan. Namun sekaligus menjengkelkan, karena aku tak suka dengan tokoh Arsena yang sangat indecisive, dan terlalu melankolis hehehe.


Yogyakarta, 171106

Sunday, November 12, 2006

The Namesake Cerminanku…

Aku baru saja menulis tentang “The Namesake”. Dan tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan itu. Aku merasa senang dengan novel ini karena ada beberapa bagian dari novel itu, yang sesuai dengan problema yang PERNAH, SEDANG, atau AKAN kuhadapi.

Pertama kegalauan Gogol tentang namanya. Why Gogol??? Aku juga pernah bertanya mengapa Tuhu??? Nama itu sangat asing bagi telinga orang Jawa, dan orang Indonesia manapun. Sehingga aku pernah merasa bosan dengan berbagai pertanyaan, apa artinya Tuhu??? Dan perasaan marah karena I am the only Tuhu in this world. Tapi perasaan itu sudah sirna, karena aku melihat sisi lain. Ini adalah competitive advantage dari diriku.

Kedua, Gogol mengalami krisis identitas karena berada pada pusaran sistem kebudayaan yang berbeda. Aku juga megalami hal yang sama. Aku membenci sistem budaya Jawa, terlalu sering berkumpul bersama keluarga besar, menurutku ini lebih bayak berdampak buruk. Karena ajang ngumpul bukan untuk membicarakan hal positif, tapi lebih ajang unjuk pamer, dan menjelekkan orang lain. Aku juga merasa benci dengan karakter orang Jawa yang penuh basa-basi, dan kurang ekspresif.

Aku lebih menyukai sistem nilai di mana aku mempunyai kebebasan sebagai individu, mempunyai hak privasi yang luas, dan dihargai sebagai individu seperti halnya Barat. Mengapa bisa begitu??? Mungkin memang bakat alam, aku ingin menjadi pemberontak, dan anti kemapanan. Dan juga, selama ini aku banyak disodori dengan pemikiran Barat, melalui televisi, buku teks, novel, radio, dan semua media lainnya.

Tapi bagaimanapun juga, seperti halnya Gogol (tokoh utama dalam novel). Aku tak mungkin lepas dari identitasku sebagai orang Jawa. Semakin aku berusaha lari darinya, maka aku akan semakin dihantui olehnya. Maka aku menerimanya sebagai sebuah perpaduan yang unik, untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Cerminan ketiga, aku yakin suatu saat nanti aku akan sama halnya dengan Ashoke (Ayah Gogol). Aku akan merantau ke suatu negeri entah di mana (It must be europe or America), lalu menetap di sana. Dan aku mungkin akan menghadapi problema yang sama. Sedikit keterasingan, kerinduan akan kampung halaman, dan keluarga, di Indonesia.

Namun di negeri baru itulah, aku akan memulai sesuatu yang baru. Menjadi diriku yang berbeda. Seperti halnya Ashoke yang berpindah ke Amerika untuk menghilangkan trauma atas kecelakaan kereta api yang menimpanya.


Yogyakarta, 121106

Jumpha Lahiri Mencari Jati Diri


Beberapa waktu yang lalu akhirnya aku membaca novel “The Namesake”, karya Jumpha Lahiri. Jumpha Lahiri adalah warga Amerika yang lahir di Amerika, tetapi keturunan India.

Novel ini bercerita tak jauh dari pengalamannya. Novel yang unik dan mengharukan. Memulai konflik dengan nama sebagai representasi goyahnya fondasi identitas Gogol (tokoh utama dalam novel). Gogol diambil dari nama pengarang Rusia, ia keturunan India, namun lahir dan dibesarkan di Amerika.

Pertentangan sistem nilai Timur dan Barat sangat nyata digambarkan dalam novel ini. Orang-orang Timur yang doyan berkumpul bersama keluarga besar, kurang ekspresif dalam mengungkapkan perasaan, dan mempunyai sistem nilai yang rigid, disandingkan dengan sistem nilai Barat yang kebalikannya.

Dan Gogol harus memilih di antara keduanya. Di rumah ia harus mengikuti adat-istiadat India yang dibawa oleh orang tuanya. Karena orang tuanya adalah generasi pertama yang lahir di India, dan merantau untuk bekerja dan menetap di India.

Sementara di luaran, Gogol harus berhadapan dengan teman Amerikanya yang mempunyai kebiasaan yang berbeda. Gogol mengalami krisis identitas, yang terus di carinya hingga ia berumur 32 tahun.

Gogol dalam perjalanan waktunya berusaha untuk keluar dari kungkungan adat India yang dibawa orang tuanya. Dia berusaha menjadi Amerika sejati, berpacaran dengan orang Amerika. Namun akhirya gagal juga. Dia tak bisa menghilangkan tarikan budaya India yang juga merupakan bagian tak terlepaskan darinya.

Di sisi lain akhirnya di tengah perasaan putus asa, Gogol menikah dengan seorang keturunan India jyang tinggal di Amerika sesuai dengan keinginan ibunya. Ternyata pernikahan ini juga tidak berhasil.

Honestly, ketika aku membaca bagian di mana novel ini mencapai babak saat Gogol memilih wanita keturunan India. Aku merasa ini sebuah kepicikan. Dalam hati aku gak terima, mengapa Jumpha Lahiri begitu picik???? Karena bila cerita berakhir dengan pernikahan bahagia Gogol dengan istri keturunan India, ini merepresentasikan ekslusivisme ras.

Ternyata cerita memang belum selesai. Cerita diakhiri dengan sesuatu yang indah. Gogol akhirnya membaca kumpulan cerpen karya Nikolai Gogol yang dihadiahkan oleh ayahnya beberapa tahun sebelumnya, yang selama ini tak pernah disentuh olehnya.

Ibu Gogol pun akhirnya punya keyakinan, bahwa Sonia (adik Gogol) yang bertunangan dengan seorang pria keturunan Yahudi dan Cina, akan berakhir bahagia. Tidak seperti pernikahan Gogol...


Jatinangor, 131106

Lisan Yang Menyesatkan…

Selama ini aku tahu, ragam bahasa lisan memang punya banyak kelemahan. Dan sayangnya, masyarakat kita lebih suka berbicara, daripada menulis. Hal ini semakin aku sadari, karena aku mengalami secara langsung beberapa waktu lalu.

Aku membicarakan sebuah masalah pada sekelompok orang. Aku berusaha sebaik mungkin untuk melakukannya, ternyata informasi yang di sampaikan pada pihak ketiga, yang kemudian diceritakan kembali padaku sangat jauh berlawanan. Di sini tak penting untuk membeberkan apa masalahnya, tapi lebih pada membahas esensi kelemahan ragam bahasa lisan.

Kelemahan pertama pada interpretasi. Baik ragam bahasa lisan maupun tulisan akan mempunyai dampak perbedaan interpretasi, karena ini adalah alamiah. Seseorang dan orang lain dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, mempunyai pengetahuan yang berbeda, latar belakang yang berbeda.

Namun lisan akan lebih mudah diinterpretasikan melenceng, karena ia akan mengacu pada sumber yang tidak sama. Ia akan mengacu dari banyak orang. Di mana dari tiap orang per orang, telah disisipkan baik sengaja atau tidak opini pribadi. Sementara itu tulisan, akan mengacu pada satu sumber yang sama.

Alasan kedua, kemampuan memori otak manusia sangat terbatas. Sehingga sangat mungkin ketika suatu informasi disampaikan ke seseorang, lalu orang itu menyampaikan lagi pada orang lain, maka yakin ada sesuatu yang berkurang atau bertambah. Mungkin ia memang tak bermaksud melakukannya, tapi namanya juga manusia. Ia bukan komputer yang mampu mengingat semua urutan kalimat, dan kata-kata dengan tepat. Dan inilah yang kemudian ditutupi oleh ragam bahasa lisan. Karena ia akan selalu sama saat dibaca oleh siapapun.

Ketiga, bahasa lisan melibatkan emosional. Dalm artian cara pengucapan, cara bersikap, nada bicara, yang bisa diinterpretasikan lain, oleh yang mendengarkan. Bahasa lisan juga tidak dapat diedit berulang-ulang, seperti halnya bahasa tulis, untuk menghindari perasaan tersinggung dari orang lain.

Oleh karena itu pengalaman kemarin menjadi pelajaran yang sangat berharga. Walaupun aku sangat menyesalinya. Aku berusaha menjelaskan dengan niat baik, tanpa pretensi apapun, ternyata telah disalahartikan. Ya sudahlah, setiap langkah adalah pembelajaran. Dan aku akan menjadikan ini sebagai evaluasi untuk ke depan.


Yogyakarta, 131106

Wednesday, November 08, 2006

Master Ini Untukmu Ibu…

Akhirnya setelah melalui perjuangan yang panjang, melelahkan, dan penuh air mata. Kuliah masterku selesai sudah. Tanggal 6 November, sekitar pukul lima sore, aku telah dinyatakan lulus dari MM UGM.

Apabila aku mengingat kembali rangkaian proses menuju itu, aku hanya dapat mengatakan ini lebih dramatis dari sekedar telenovela. Perjalanan dimulai ketika aku lulus S1, dengan kebimbangan antara kuliah lagi atau mencari kerja???

Saat itu ibuku menginginkan aku bekerja terlebih dahulu. Sementara Bapakku ingin aku segera sekolah lagi. Jauh dalam hati kecilku, aku memang ingin kuliah lagi, tapi dengan beasiswa. Karena aku kasihan bila haruis dibiayai S2 yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Akhirnya setelah terombang-ambing hampir setahun. Akhirnya aku tiba pada satu ujung, aku kuliah lagi di MM UGM dengan beasiswa. Ini menjadi jalan tengah yang paling elegan. Saat itu ibuku sedang sakit parah, ia tak ingin aku kuliah jauh-jauh. Di sisi lain, ini sesuai dengan harapanku dan Bapakku.

Ternyata awal kuliah bukan hal yang mudah. Aku harus menyesuaikan dengan lingkungan baru. Masyarakat yang rigid, konservatif membuat aku merasa frustasi. Ini masih pula ditambah ibuku yang masuk rumah sakit hampir sebulan sekali, sejak April 2005 hingga sekitar bulan Juli 2005. April 2005 adalah awal aku kuliah di MM UGM.

Drama itu berlanjut lagi, ketika beberapa hari menjalang ujian trimester pertama ibuku bukan hanya kambuh, tapi sekarat dalam keadaan koma beberapa hari. Sangat beruntung ibuku sempat siuman, dan nampak sehat, dua hari menjalang ujian dimulai.

Namun itu tak bertahan lama, dua minggu setelah ujian mid trimester pertama, Ibuku akhirnya menemui ajal. Saat itu adalah hari Jumat, 30 September 2005, sekitar pukul 4 sore. Aku lah menjadi satu-satunya orang yang mendampingi di saat-saat terakhir. Ini sebuah pengalaman yang mengharukan, sekaligus mengerikan.

Aku pun tak bisa berlarut dalam kesedihan. Sehari setelah penguburan ibuku di hari Sabtu. Aku harus kembali ke Yogya, karena Senin aku kuliah, dan maju presentasi kelompok. Walaupun dalam masa duka yang masih mendalam, aku harus bangkit dan mempresentasikan makalah kelompok. Dan tak tanggung-tanggung, hari itu ada dua presentasi.

Hari-hari berikutnya menjadi masa yang juga sulit. Ternyata kehilangan seseorang yang sangat disayangi menguras banyak tenagaku. Aku sempat merasa kehilangan semangat. Hingga seseorang mengingatkanku, bahwa aku masih mempunyai tanggung jawab akan adikku dan bapakku. Inilah yang membuat aku mampu untuk bangkit kembali.

Tantangan kembali datang, ketika idealismeku untuk membuat penelitian tesis yang bagus terhadang oleh biaya dan waktu. Akhirnya aku harus banting stir, mengambil tema yang lebih mudah, dan sekaligus menggunakan metodologi kuantitatif.

FYI, aku paling takut dengan analisis kuantitatif. Karena sudah menjadi rahasia umum di manapun anak HI, paling males dengan itungan, apalagi statistik. Boleh dikatakan, aku buta sama sekali dengan statistik.

Namun demi mengejar tenggat waktu kontrak beasiswa MM UGM, dan juga mengingat orang tuaku sangat berharap aku segera lulus. Aku terima ini sebagai tantangan, dan aku mulai belajar lagi dari nol. Akhirnya tantangan ini bisa aku atasi juga.

Drama ternyata masih berlanjut, saat ditelpon bagian akademik untuk ujian sidang. Aku bukan merasa senang tapi cemas luarrr biasa. Karena aku akan diuji oleh seorang profesor di bidang marketing yang sangat disegani di UGM, bahkan di Indonesia. Beberapa gosip mengatakan, beliau pernah tidak meluluskan tiga orang sekaligus mahasiswa yang diujinya pada saat yang bersamaan.

Di tengah kegalauan itu, hantaman lain ternyata siap menghadang. Aku pulang beberapa hari sebelum sidang untuk menenangkan diri sebelum ujian tesis. Namun yang kudapatkan sebaliknya. Minggu siang tanggal 5 November 2006, tepat pukul 1 siang. Bapakku membawa berita beliau akan menikah tanggal 19 November. What???? Secepat itu, dan tanpa berdiskusi dengan kami anak-anaknya terlebih dahulu???

Setelah itu aku segera pulang ke Yogya dengan sangat linglung. Di jalan, aku memohon agar pernikahan itu ditunda dua bulan saja. Biarkan aku menjadi lebih tenang menghadapi ujian neraka itu,. Namun ternyata itu pun juga tak bisa. Maka aku harus mengghadapi ujian tesis dengan perasaan yang luarrr biasa galau.

Untung adikku, mengingatkanku. Kata-kata terakhir yang diucapkan ibuku menjelang ajal adalah S2, berkali-kali. Yayaya akhirnya aku mencoba berkonsentrasi, dan belajar malam itu. Aku berusaha tidur tidak terlalu malam. Di pagi hari, aku menjadi orang yang berbeda. Aku lupakan semua kemarahan, dan kepedihan yang lalu.

Dan akhirnya kini, aku telah berdiri tegak menjadi seorang master. Ibu kupersembahkan semuanya untukmu. You are my inspiration for all of my life. Semua tragedi ini, aku anggap sebagai tantangan. Aku selalu yakin aku akan bertahan dengan masalah apapun. Aku harus bisa, dan harus…

Ternyata memang benar, segala macam problema yang pernah aku lewati membuat aku semakin tangguh. Masa recovery-ku atas sebuah kesedihan dan depresi menjadi semakin singkat. Bila dulu mungkin bisa berbulan-bulan, maka kini aku bisa menyembuhkannya dalam jangkauan tak lebih dari semalaman. Aku akan terus memperbaiki diri, apapun masalahnya aku akan tampil dengan penuh semangat secepat mungkin. Nothing in this world can stop me...


Yogyakarta, 081106

Friday, November 03, 2006

Fira Basuki, My Another Case Study…

Karena aku emang doyan bergosip, dan emang pengamat perilaku yang detil. Inilah hasil pengamatanku, halahhh. Sebenernya aku sudah sangat lama memprediksinya. Tapi baru beberapa waktu lalu aku mendapatkan konfirmasi. Walaupun suka bergosip, tapi teteup dong harus ada etika jurnalistik kikikik. Btw my way, every body knows Fira Basuki kan??? Dia adalah penulis yang melejit namanya lewat trilogi novel pertamanya, “Jendela-Jendela”, “Pintu”, dan “Atap”.

Back to the topic. Yahhhh jadi beginih, aku mulai melihat ada sesuatu yang berbeda ketika aku membaca kumpulan cerpen Fira Basuki “Perempuan Hujan”, aku udah punya perasaan gak enak, kayaknya dia udah cerai nih ama suaminya. Hal itu makin diperkuat lagi saat aku membaca cerpen lainnya yang aku lupa judulnya. Dan prediksi ini dikonfirmasi oleh adikku, bahwa Fira pernah diundang di salah satu talk show, bersama Djenar, dan diperkenalkan sebagai para Janda hehehe.

Lau gimana aku bisa tahu??? Sangat sepele, aku adalah pemerhati kata pengantar dan ucapan terima kasih dari penulis. Dari situ ketahuanlah, ada yang berbeda, karena di novel triloginya, dan juga novel berikutnya ”Biru”, nama suaminya yang orang Nepal itu selalu disebut. Tapi saat aku membaca dua kumpulan cerpen terakhir, nama itu sudah tak ada (FYI, jeda antara aku membaca novel-novelnya dengan cerpen-cerpen itu memang cukup lama, mungkin ada dalam hitungan tahunan).

Di tambah lagi, di cerpen-cerpen itu, aku melihat ada benang merah yang sama, pasangan yang berselingkuh, dan berakhir dengan perceraian. Ini berulang pada beberapa cerpen dengan bungkus yang berbeda.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku bisa mengendus kehidupan pribadi Sang Penulis. Sebelumnya ada Jamal, aku bisa melihat perubahan dalam kehidupannya, yang tercermin dalam alur novelnya yang berakhir berbeda. Yaitu di novel pertamanya, ”Lousiana-Lousiana”, dan novel berikutnya ”Rakaustarina”.

Yang lain lagi, Dewi Lestari, dari tiga novel Supernova yang ditulisnya, aku bisa mencium fase kehidupan berbeda yang dialaminya. ”Akar”, menurut aku adalah novel termurung dan tergelap diantara ketiganya. Wujud keputusasaannya menghadapi tekanan keluarga saat ia memasuki UP (Usia Panik). Maksudnya seorang wanita yang dikejar umur, tetapi belum juga menemukan pasangannya.

Penulis lain lagi, yang aku bisa melihat kental nuansa kehidupan pribadinya adalah Bagus Takwin, dari novelnya ”Akademos” (u must read it, coz it’s great), dan kumpulan cerpennya ”Bermain-main dengan Cinta”. Aku membaca kehidupan pribadinya. Tapi tampaknya aku gak ingin menuliskannya di sini. Ini kan privasi orang hehehe. Cukup aku sajah yang tahu, jangan dibagi-bagi ahhh. Kan tidak semua hal harus dibagi...



Yogyakarta, 021106

Dunia 3G di Ranah Indonesia

Mungkin udah pada tahu kan, sekarang lagi gegap gempita dunia telekomunikasi diperkenalkan dengan 3G, dimana kita bukan hanya berkomunikasi lewat HP dengan suara tapi juga gambar sekaligus, dengan kecepatan yang luar biasa.

Ada beberapa fitur yang ditawarkan oleh teknologi ini, misalnya video call, streaming video clip, streaming siaran televisi, dan streaming berbagai hal lainnya. Yang paling menarik menurut aku justru gimana kita bisa learning from the future. Kira-kira fitur apa sih yang akan menjadi tren, diantara berbagai fitur yang ditawarkan itu???

Kalo aku kok melihat ke depan yang akan paling banyak diminati konsumen Indonesia adalah video call. Kenapa??? Simple saja, orang Indonesia itu paling doyan ngerumpi. Pelajaran sosiologi jelas mengatakan, kita itu termasuk dalam masyarakat gemeinschaft, yang menempatkan kebersamaan sebagai hal yang utama. Dengan video call, maka ngerumpi akan menjadi lebih nyata. Kita bisa saling menatap lawan bicara.

Alasan lain, coba kita tengok kebelakang kita kan tidak melompat begitu saja menuju 3G, tapi sebelumnya ada teknologi yang namanya MMS. Tapi apa kabar MMS??? Orang Indonesia merespon dengan adem ayem aja fitur ini. MMS aku piker gatot alias gagal total karena ini tidak memberikan nilai tambah apapun pada kebiasaan kita ngerumpi…

Argumen lain, melihat sejarah perkembangan teknologi yang diadaptasi bangsa Indonesia, yang paling cepat adalah hal-hal yang paling mendukung kita untuk berkomunikasi, dan memuaskan hobi rumpi hehehe

Lihatlah teknologi internet, berdasarkan survei di Amerika atau Eropa paling banyak digunakan untuk browsing. Tapi gimana dengan Indonesia??? Yap betul sekali, pengguna terbesar adalah untuk chatting dan berkirim e-mail.

Tidak usah jauh-jauh di kampus MM UGM, rata-rata mereka menggunakan internet paling banyak untuk Yahoo Messenger, atau membuka halaman Friendster, termasu aku hehehe. Kita memang bangsa yang doyan ngobrol. Jadi apapun teknologinya, yang membuat lebih nyaman dan enjoy buat ngobrol maka akan diterima dengan cepat. Kalo tidak, ya jangan harap berkembang…


Yogyakarta, 021106