Wednesday, April 29, 2009

A Trip To Remember II: Solok & Sawahlunto

Perjalanan berikutnya setelah kami menikmati indahnya Sunset di kota Padang, dan Sunset di Pulau Sikuai, saatnya untuk bergegas, karena Solok yang cantik telah menanti. Setelah kapal sandar di Pelabuhan Muaro Kota Padang, kami segera meluncur dengan mobil Kijang Innova yang sudah siap menjempu,t menuju ke Jembatan Siti Nurbaya yang tidak jauh dari Pelabuhan Muaro.

Setelah itu kami sempat tertidur lelap sebelum terbangun untuk makan siang di sebuah perbukitan yang masih di Kota Padang juga. Wahhh, kami makan di sebuah restoran Padang, yang sudah lupa namanya. Yang unik disini, ada menu yang tidak pernah aku temukan di RM Padang manapun sebelumnya yaitu Gulai Pakis. Hah??? Gulai Pakis??? Kayaknya eksotisssss juga, makanya tanpa ragu langsung dilahap deh itu sayuran. Rasanya lumayan enak juga ternyata.

Setelah makan siang disana, Bot, nama seorang teman yang menjadi tour guide dan native people dari Sumbar bilang, "Jangan tidur lagi sekarang, kalian bakal rugi". Wahhhh ternyata memang benerrrrr bangetttt, karena pemandangan alam sepanjang perjalanan dari Padang menuju Solok sangatttt cantik, jalanan berkelok, tumbuhan pakis yang tumbuh liar, hutan yang lebat, kota Padang nun jauh di bawah, menawarkan pengalaman yang sangat menarik.

Lalu setelah perjalanan lebih dari dua jam, akhirnya sampai juga kami di Kota Solok, dimana kami akan mengunjungi dua danau yaitu Danau Atas dan Danau Bawah. Jangan terbalik-balik yah, Danau Atas itu justru letaknya di bawah, dan sebaliknya. Ini memang aneh tapi nyata.

Wahhhhh kota Solok itu sangat cantik, dan dinginnnn, angin berhembus sepoi-sepoi. Kami pertama-tama mengunjungi Danau Atas, setelah puas menikmati dan berfoto. Pindahlah kami ke Danau Bawah. Di antara keduanya aku lebih suka dengan Danau Bawah, karena Danau Bawah hmmmmm airnya terlihat sangat biru kehijauan, penuh misteri. Sayangnya kedua tempat wisata ini tidak terawat dengan baik.

Hari menjelang sore, dan kami pun bergegas menuju ke tujuan berikutnya SAWAHLUNTO.... Perjalanan antara Solok dan Sawahlunto merupakan perjalanan yang paling tak terlupakan. Mengapa??? Karena aku ini pecinta budaya, dan penasaran sekali pengin liat itu namanya Rumah Gadang. Nah, sepanjang perjalanan antara kedua kota inilah aku bisa melihat banyak sekali Rumah Gadang. Ada yang sudah reot, ada yang dimodifikasi, ada juga yang masih bagus dan terawat. Serasa terbayang saat Siti Nurbaya mengintip siluet Syamsul Bahri dari tirai jendela rumahnya hehehe.

Perjalanan ini juga cukup panjang sekitar 3 jam. Nah sebelum masuk Sawahlunto, kita berwisata kuliner dulu, yang diserbu pertama adalah Sop Daging Sapi, yang sangat terkenal. Hmmm maknyusss deh pokoknya sopnya, dan yang lebih hebat lagi sambalnya merah membara, kalau Anda tidak tahan pedas jangan coba-coba deh.

Tak sampai setengah jam perjalanan dari situ, sebelum masuk kota Sawahlunto kita makan lagi!!! Kali ini kita nyicip Dendeng Datokok kalo gak salah, hmmm dendengnya enakkkk, baunya sangat harummmm. Beda dengan dendeng yang pernah dimakan sebelumnya.

Setelah sangat kenyang dengan makan dua kali, saatnya memasuki kota Sawahlunto, yang ternyata berada di sebuah tempat yang terpencil. Kami sampai di kota ini sudah cukup malam sekitar Jam 20:00. Pas masuk ke kotanya wowww langsung takjub, what a beautiful small city....

Kami menginap di Wisma Ombilin, ini adalah hotel satu-satunya yang ada di Sawahlunto, sekaligus bangunan yang sangat bersejarah. Sesampainya di Wisma Ombilin, kami tak sabar untuk segera berkeliling kota. Kami langsung berjalan kaki menikmati kota kecil ini dengan berjalan kaki. Mulai dari Gedung Kesenian yang bergaya Belanda, kemudian alun-alun kota yang sangat cantik yang berhadapan langsung dengan Kantor Perusahaan Batubara Bukit Asam, lalu berkeliling ke Stasiun Kereta Api, dan masuk ke lorong-lorong perkampungan dan pasar.

Setelah capek berkeliling, kami pun terkapar tidur untuk bersiap mengelilingi Sawahlunto keesokan harinya. Hari berikutnya, di hari yang masih sangat pagi, kami berkeliling kota, kali ini menggunakan sepeda tua yang disediakan oleh hotel untuk berkeliling kota Sawahlunto. Wahhh menyenangkan sekali, serasa balik ke masa-masa tahun 1900-an, dengan sepeda, udara sejuk, plus kota kecil yang sepi.

Setelah puas bersepeda pagi, kami bergegas mandi, dan memuaskan hasrat narsis untuk berfoto-foto d beberapa bangunan unik perpaduan antara arsitektur Belanda dan Cina. Satu lagi yang unik dari Sawahlunto, ternyata tukang sampahnya meriah euyyyyy. Masak truk pengangkut sampah muter lagu kenceng-kenceng kayak lagi ada kondangan. Gak tahu apa maksudnya, mungkin sebagai pertanda bagi penduduk kalo punya sampah segera ditaruh di luar biar sekalian diangkut.

Tujuan selanjutnya adalah LUBANG MBAH SURO. Wahhhh ini bagian yang gak boleh dilewatkan di Sawahlunto. Di sini kita bisa masuk ke dalam terowongan, dimana dulunya tempat pertambangan batubara. Harga tiketnya juga sangat murah. Kita akan didampingin oleh seorang guide yang sangat bersahabat dan membantu.

Kenapa namanya Mbah Suro??? Karena beliau adalah Mandor yang paling berjasa di Sawahlunto pada era itu, untuk mengawasi para pekerja tambang. Para pekerja kebanyakan didatangkan dari Jawa, seperti halnya Mbah Suro. Mereka kebanyakan adalah para buangan yang dipekerjakan paksa, dan diberi makan seadanya dan dieksploitasi secara tak manusiawi.

Maka tak heran bila banyak dari para pekerja yang tidak kuat mati terkapar di dalam lubang tambang. Oleh karena itu, beberapa bagian dari lubang tambang tidak dibuka karena dianggap angker. Uniknya di jaman Belanda dulu pun, menurut Guide kami, Belanda menghargai berbagai mitos untuk selamatan dll demi keselamatan.

Budaya ini tentunya dibawa dari Jawa, yang hingga kini budaya Jawa masih menyisakan bentuknya di Sawahlunto, karena masih ada acara tahunan di sana yang menampilkan musik gamelan.

Sawahlunto berdasarkan sejarahnya memang kota yang hidup, dan dikembangkan karena ditemukan tambang batubara. Kota ini ibarat episentrum sebuah wajan, dimana dikelilingi perbukitan yang masih berwujud hutan, dan sangat terisolasi.

Dahulu ketika pertambangan masih berjaya, kota ini menjadi trendsetter di Sumatra Barat, namun setelah pertambangan batubara mulai memudar karena kandungannya mulai menipis, maka kota ini hampir mati suri.

Untungnya walikota Sawahlunto, sangat kreatif dan punya visi yang kuat melihat potensi kota ini sebagai kota wisata. Sangat terasa keseriusan pemerintah kota menata kotanya untuk para wisatawan, museum tertata rapi, petugas hotel dan museum sangat ramah, dan siap membantu. Mereka juga dengan sangat serius menyiapkan angket untuk diisi turis mengenai pengalaman mereka di Sawahlunto.

Setelah puas melihat Lubang Mbah Suro, dan merasakan lorong-lorong tambang batubara. Kami berpindah ke Museum Gudang Ransum yang tidak jauh dari Lubang Mbah Suro. Sebenarnya kedua museum ini bisa ditempuh berjalan kaki tidak sampai 1 menit.

Di museum ini, kita bisa melihat dapur umum super duper jumbo tempat dapur umum bagi para pekerja tambang. Wahhh ada wajan super jumbo, pemasak nasi yang jumbo pula, dan yang yang tidak kalah menariknya adalah bangunannya yang eksotisss.

Sayang kami tak bisa lama-lama berada disini karena perjalanan berikutnya sudah menanti. Tepat sekitar jam 10:00 kami meninggalkan Sawahlunto dengan berat hati....