Saturday, May 02, 2009

A Trip To Remember III: Puncak Lawang & Bukit Tinggi

Tulisan ini merupakan rangkaian terakhir perjalananku bertualang bersama teman-teman semasa kuliah, mengelilingi Sumatra Barat yang tak akan terlupakan. Setelah meninggalkan Sawahlunto dengan berat hati, kami menuju obyek wisata berikutnya. PUNCAK LAWANG!!!!!

Perjalanan antara Puncak Lawang dan Sawahlunto cukup panjang, menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Namun kami tetap riang gembira, karena selalu melewati jalur yang berbeda. Untuk perjalanan dari Sawahlunto ke Puncak Lawang, kami menyusuri Danau Singkarak.

Danau Singkarak adalah Danau terbesar di Sumatra Barat. Sebenarnya danau ini tak secantik Danau Atas dan Danau Bawah. Tapi tak apalah kan sekalian lewat, jadi kalau orang bertanya mengenai Danau Singkarak, aku sudah tahu.

Di Danau Singkarak kami sempat berhenti sebentar, untuk foto-foto, sekaligus istirahat. Di sekitar danau ini banyak terdapat Rumah Makan dan juga penginapan yang tepat berada di pinggir danau. Ada juga ikan khas yang hanya hidup di danau ini, banyak dijual di pasar tradisional yang ada di daerah ini. Sayang kami tak sempat mencobanya.

Tapi aku tak menyesal, karena kita sempat berhenti di jalan, demi sebuah Lemang Pisang. Hmmmm jangan ditanya rasanya mak nyusss bangetttt. Selama ini penasaran banget dengan rasa lemang, karena sering melihat liputannya mengenai lemang yang banyak dijual pas bulan Ramadhan di Jakarta sebagai makanan berbuka puasa.

Kalau di Singkarak, Lemang Pisang ini katanya dibagikan gratis loh kalau lagi ada upacara adat yang diadakan setahun sekali. Wahhhhh kalau aku dateng pas acara itu, pasti bisa menghabiskan beberapa iris deh.

Lemang Pisang ini terbuat dari beras ketan, yang berisi pisang, dan bukan sembarang pisang, tapi Pisang Raja, yang jelas aja rajanya para pisang, saking enaknya hehehe. Nah Lemang ini dibungkus dalam daun pisang, berbentuk lonjong seperti lontong dalam porsi yang lebih besar.

Setelah melalui Danau Singkarak, perjalanan ke Puncak Lawang melewati kota Padang Panjang. Aku sempat bertanya mengapa kok namanya Padang Panjang, salah satunya karena bentuk kotanya itu memanjang segaris. Kotanya kecil, bersih dan rapih, pemandangannya juga indah karena menghadap ke gunung.

Kota ini juga dikenal sebagai pusat pembelajaran Islam dan Pesantren di Sumatra Barat. Makanya suasana religius sangat terasa di kota ini. Setelah kota Padang Panjang masuklah kami ke daerah berbukit-bukit dengan pemandangan yang sangat aduhai.

Lembah, sawah, hutan semua terhampar di depan mata, wahhhh rasanya tak ingin berkedip memandang keindahan alam. Walaupun jalannya agak sedikit berkelok, mungkin bagi yang tidak tahan bisa mabuk darat.

Sebelum sampai ke Puncak Lawang, kami mampir dulu ke rumah seorang teman, yang kebetulan orang tuanya asli dari kampung sekitar Puncak Lawang. Kami disambut dengan ramah oleh tuan rumah, dan ternyata makan siang sudah terhidang.

Dan wowwww ayam gulai yang disuguhkan mantapppp bangetttt. Ini baru masakan asli Minang. Bumbunya benar-benar berani, dan pedassssss. Kalau yang terbiasa makan makanan Padang di Jakarta, akan tahu bedanya bahwa yang di Jakarta sudah disesuaikan seleranya dengan lidah Jakarta.

Ketika aku memuji tentang masakan itu, temanku kemudian berkata "Ada mitos kalau sudah merasakan masakan warga kampung sini, pasti akan membawa istri warga kampung sini" hahahaha ada-ada saja. Intinya, warga kampung sana memang dikenal sebagai juru masak yang hebat, sehingga para pria akan tergila-gila dan jatuh hati karena olahan masakannya. Ibarat peribahasa "Dari perut turun ke hati...."

Setelah kenyang dengan makan siang yang sangat nikmat, kami disuguhi tebu asi daerah itu yang sangat manis. Rasa tebunya berbeda dengan rasa tebu yang sering aku hisap waktu tinggal di rumah. Ini benar-benar enakkkk.

Dan yang menarik pengolahan tebu menjadi gula di daerah ini masih dilakukan secara tradisional, bukan melalui pabrik modern. Tebu-tebu itu diambil sarinya dengan bantuan seekor Kerbau yang menggerakkan mesin giling sederhana. Dan hampir setiap rumah melakukannya lho.

Sebagai turis-turis lokal yang norak, dan selalu pengin tahu, jadi penasaran dong pengin liat gimana kerbau itu bekerja. Sayangnya kami datang sudah siang, jadi para kerbau itu sudah istirahat bekerja.

Tapi tak papalah, karena perjalanan kami pun masih panjang, kami akhirnya melanjutkan perjalanan naik lagi ke atas bukit menuju Puncak Lawang yang eksotisssss. Dari rumah tersebut ke ats, mungkin masih memakan waktu sekitar 15 menit, melalui perkampungan asli masyarakat sekitar.

Wowwww dan setibanya di Puncak Lawang, aku langsung speechless..... Gila indah bangetttt, luar biasaaaaaaaaaaaaa. Jadi dari atas Puncak Lawang ini kita bisa melihat ke bawah, Danau Maninjau, kemudian perkampungan, dan petak sawah di sekitarnya. Kemudian Perbukitan dan hutan menghijau di belakangnya.

Dan untung sekali cuaca sedang cerah tak berkabut, jadi bisa melihat langit biru dan awan yang terpantul di air danau..... It's a magic.... Obyek wisata ini juga lebih terawat dibandingkan Danau Atas dan Danau Bawah di Solok. Itulah mengapa ini menjadi tempat favoritku di Sumbar, selain Sikuai dan Sawahlunto.

Puncak Lawang dengan cuaca yang dingin, dan angin sepoi-sepoi, menjadi tempat favorit bagi mereka yang berpacaran buat mencari pojok-pojok yang sepi heheheh. Tapi yang jelas kecantikan alamnya memang tak terlupakan. Aku betah terpaku, duduk termangu diantara rumput-rumput, sambil memandang danau dan perkampungan di bawahnya.


Andai aku tak diburu waktu, mungkin aku rela seharian duduk disana terpaku, sambil berkontemplasi. Sangat mungkin akan kulahirkan puisi-puisi paling romantis, terinspirasi dari romantisme alam....


Berhubung hari sudah menjelang sore, dan perjalanan masih harus dilanjutkan ke Bukittinggi, maka kami pun segera turun dari Puncak Lawang dengan berat hati. Nah ini juga tak kalah menariknya, di perjalanan pulang kami mampir dulu ke sebuah Rumah Gadang mewah.

Sebelum perjalanan ke padang, aku memang sudah request ke temanku yang menjadi tour guide, tolong dong bawa ke rumah Gadang yang asli, yang sesuai konteknya sebagai sebuah rumah bukan rumah Gadang yang disiapkan untuk wisatawan dalam sebuah taman atau apalah.

Dan akhirnya kesampaian juga..... Sebenarnya hasrat hati sudah cukup terpuaskan melihat banyak sekali rumah Gadang sepanjang perjalanan antara Solok dan Sawahlunto.
Tapi yang ini sungguh langka, sebuah Rumah Gadang dengan ukiran lengkap di semua sisi rumah, terletak di sebuah halaman yang sangat luas, terus ada rumah kecilnya juga yang digunakan untuk menyimpan beras. Ibarat sebuah fashion, Rumah Gadang ini adalah Louis Vuitton (yang digilai ibu-ibu sasak 4 cm hahahahah.

Dan lebih menyenangkan lagi, karena kami bersama orang lokal, bisa minta ijin untuk berfoto sebentar dan melongok ke dalam. Ternyata bentuk kamarnya sama dengan Rumah Joglo (rumah adat Jawa), dimana kamar-kamarnya di sekat membentuk huruf L, dan di depannya ruang tamu. Aku juga sempat melihat foto seorang wanita setengah baya yang diletakkan di tengah rumah, sepertinya beliau adalah orang yang dituakan di rumah ini, dan pewaris Rumah Gadang ini.

Karena aku teringat cerita temanku, bahwa Rumah Gadang itu diwariskan turun-temurun kepada anak perempuan, karena budaya Minangkabau menganut sistem matriarki. Wah wah wah seperti melihat mimpi jadi kenyataan, bisa mengintip Rumah Gadang yang eksotisss itu.

Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju ke Bukit Tinggi. Siapa coba yang tidak kenal Bukittinggi. Kayaknya kalau ke Sumatra Barat tujuan utamanya pasti kota ini.

Perjalanan kami menuju Bukittinggi, melalui jalur yang tidak biasa. Hmmm ini petualangan yang menarik juga, selain melewati hutan, dan jalanan yang sempit berliku, kami berjalan melewati Ngarai lohhh. Wuahhhh pokoknya seruuuuuu banget.

Kalau Anda pernah melihat Ngarai Sianouk yang indah itu, kami bertualang dibawahnya hehehe. Sesampainya di Bukittinggi, apalagi kalau bukan menikmati indahnya Ngarai Sianouk, sayangnya kami tak sempat masuk ke dalam Gua Jepang mengingat waktu sudah sangat sore, dan hari semakin menua.

Setelah asyik bermain dengan monyet-monyet di Ngarai Sianouk yang jinak (aku terheran-heran kok bisa jinak, gak seperti di Bali yang ganas siap merenggut apapun, perjalanan dilanjutkan ke Jam Gadang. Semua orang juga pasti tahu, karena menjadi ikon Bukit Tinggi.

Kebetulan saat itu malam minggu, jadi suasananya sangat ramai. Kami pun bertualang ke Pasar Atas, hmmmm ini juga menjadi tujuan para wisatawan Indonesia yang selalu napsu untuk berbelanja. Namun sayangnya aku justru tak napsu untuk belanja.

Dari Pasar Atas kami berkeliling kota Bukittinggi dengan berjalan kaki. Aku memaksa temanku untuk menunjukkan mana sih, kota berundak yang menjadi khas Bukit Tinggi. Agaka aneh memang tapi aku penasaran aja. Makanya kami pun berkeliling ke perkampungan mereka, yang dipenuhi gang sempit dan tangga-tangga.

Kami sangat kelelahan berkeliling kota ini dengan berjalan kaki naik turun tangga. Tapi rasanya seru juga. Karena sangat jarang sebuah kota yang perkampungannya berbentuk tangga-tangga seperti ini, otomatis tidak bisa dilewati kendaraan bermotor, atau sepeda sekalipun. Dan uniknya di Bukittinggi ini aku banyak melihat arsitektur rumah yang unik percampuran antara arsitektur Minang dan Eropa.

Uniknya lagi walaupun rumahnya padat dan berada di gang sempit yang mengingatkanku pada Gang Bongkaran dan Taman Sari di Cihampelas, Bandung. Disini lebih tertata, bersih, dan banyak petunjuk jalan. Misalnya arah jalan ke Pasar Atas, Pasar Bawah, Kebun Binatang dll. Sepertinya Pemda Bukit Tinggi tahu, banyak dari para wisatawan itu suka berkeliling ke kampung-kampung tangga berundak itu.

Pemberhentian kami terakhir di Kota Bukit Tinggi adalah Begudal Cafe. Hmmm ini adalah kafe tempat ngumpulnya para bule-bule backpacker yang lagi berkunjung ke Bukittinggi. Interiornya merupakan perpaduan antara nuansa Eropa dan Minangkabau. Para pelayannya juga bergaya selengekan, dengan rambut ala Bob Marley.

Di tempat ini aku mencoba, Yoghurt Susu Kerbau wowww eksotis bukan????? Rasanya sih ok ok ajah, walaupun gak terlalu suka. Tapi seorang teman langsung emoh dengan minuman ini, katanya terlalu asemmm. Padahal ini udah disesuaikan loh gak terlalu asem, kalau yang asli lebih asem lagihhhh. Jadi penasaran neh pengin nyoba yang original apa kabar rasanya?????

Tepat sekitar 19:30, travel menjemput kami di Begudal Cafe dan ini menjadi akhir perjalanan yang manis. Dan saatnya kami mengucapkan perpisahan dengan keindahan dan keramahtamahan Sumatra Barat. Saatnya kami menempuh perjalanan panjang sekitar 6 jam dari Bukittinggi ke Pekanbaru melalui jalur darat.