Saturday, May 02, 2009

A Trip To Remember III: Puncak Lawang & Bukit Tinggi

Tulisan ini merupakan rangkaian terakhir perjalananku bertualang bersama teman-teman semasa kuliah, mengelilingi Sumatra Barat yang tak akan terlupakan. Setelah meninggalkan Sawahlunto dengan berat hati, kami menuju obyek wisata berikutnya. PUNCAK LAWANG!!!!!

Perjalanan antara Puncak Lawang dan Sawahlunto cukup panjang, menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Namun kami tetap riang gembira, karena selalu melewati jalur yang berbeda. Untuk perjalanan dari Sawahlunto ke Puncak Lawang, kami menyusuri Danau Singkarak.

Danau Singkarak adalah Danau terbesar di Sumatra Barat. Sebenarnya danau ini tak secantik Danau Atas dan Danau Bawah. Tapi tak apalah kan sekalian lewat, jadi kalau orang bertanya mengenai Danau Singkarak, aku sudah tahu.

Di Danau Singkarak kami sempat berhenti sebentar, untuk foto-foto, sekaligus istirahat. Di sekitar danau ini banyak terdapat Rumah Makan dan juga penginapan yang tepat berada di pinggir danau. Ada juga ikan khas yang hanya hidup di danau ini, banyak dijual di pasar tradisional yang ada di daerah ini. Sayang kami tak sempat mencobanya.

Tapi aku tak menyesal, karena kita sempat berhenti di jalan, demi sebuah Lemang Pisang. Hmmmm jangan ditanya rasanya mak nyusss bangetttt. Selama ini penasaran banget dengan rasa lemang, karena sering melihat liputannya mengenai lemang yang banyak dijual pas bulan Ramadhan di Jakarta sebagai makanan berbuka puasa.

Kalau di Singkarak, Lemang Pisang ini katanya dibagikan gratis loh kalau lagi ada upacara adat yang diadakan setahun sekali. Wahhhhh kalau aku dateng pas acara itu, pasti bisa menghabiskan beberapa iris deh.

Lemang Pisang ini terbuat dari beras ketan, yang berisi pisang, dan bukan sembarang pisang, tapi Pisang Raja, yang jelas aja rajanya para pisang, saking enaknya hehehe. Nah Lemang ini dibungkus dalam daun pisang, berbentuk lonjong seperti lontong dalam porsi yang lebih besar.

Setelah melalui Danau Singkarak, perjalanan ke Puncak Lawang melewati kota Padang Panjang. Aku sempat bertanya mengapa kok namanya Padang Panjang, salah satunya karena bentuk kotanya itu memanjang segaris. Kotanya kecil, bersih dan rapih, pemandangannya juga indah karena menghadap ke gunung.

Kota ini juga dikenal sebagai pusat pembelajaran Islam dan Pesantren di Sumatra Barat. Makanya suasana religius sangat terasa di kota ini. Setelah kota Padang Panjang masuklah kami ke daerah berbukit-bukit dengan pemandangan yang sangat aduhai.

Lembah, sawah, hutan semua terhampar di depan mata, wahhhh rasanya tak ingin berkedip memandang keindahan alam. Walaupun jalannya agak sedikit berkelok, mungkin bagi yang tidak tahan bisa mabuk darat.

Sebelum sampai ke Puncak Lawang, kami mampir dulu ke rumah seorang teman, yang kebetulan orang tuanya asli dari kampung sekitar Puncak Lawang. Kami disambut dengan ramah oleh tuan rumah, dan ternyata makan siang sudah terhidang.

Dan wowwww ayam gulai yang disuguhkan mantapppp bangetttt. Ini baru masakan asli Minang. Bumbunya benar-benar berani, dan pedassssss. Kalau yang terbiasa makan makanan Padang di Jakarta, akan tahu bedanya bahwa yang di Jakarta sudah disesuaikan seleranya dengan lidah Jakarta.

Ketika aku memuji tentang masakan itu, temanku kemudian berkata "Ada mitos kalau sudah merasakan masakan warga kampung sini, pasti akan membawa istri warga kampung sini" hahahaha ada-ada saja. Intinya, warga kampung sana memang dikenal sebagai juru masak yang hebat, sehingga para pria akan tergila-gila dan jatuh hati karena olahan masakannya. Ibarat peribahasa "Dari perut turun ke hati...."

Setelah kenyang dengan makan siang yang sangat nikmat, kami disuguhi tebu asi daerah itu yang sangat manis. Rasa tebunya berbeda dengan rasa tebu yang sering aku hisap waktu tinggal di rumah. Ini benar-benar enakkkk.

Dan yang menarik pengolahan tebu menjadi gula di daerah ini masih dilakukan secara tradisional, bukan melalui pabrik modern. Tebu-tebu itu diambil sarinya dengan bantuan seekor Kerbau yang menggerakkan mesin giling sederhana. Dan hampir setiap rumah melakukannya lho.

Sebagai turis-turis lokal yang norak, dan selalu pengin tahu, jadi penasaran dong pengin liat gimana kerbau itu bekerja. Sayangnya kami datang sudah siang, jadi para kerbau itu sudah istirahat bekerja.

Tapi tak papalah, karena perjalanan kami pun masih panjang, kami akhirnya melanjutkan perjalanan naik lagi ke atas bukit menuju Puncak Lawang yang eksotisssss. Dari rumah tersebut ke ats, mungkin masih memakan waktu sekitar 15 menit, melalui perkampungan asli masyarakat sekitar.

Wowwww dan setibanya di Puncak Lawang, aku langsung speechless..... Gila indah bangetttt, luar biasaaaaaaaaaaaaa. Jadi dari atas Puncak Lawang ini kita bisa melihat ke bawah, Danau Maninjau, kemudian perkampungan, dan petak sawah di sekitarnya. Kemudian Perbukitan dan hutan menghijau di belakangnya.

Dan untung sekali cuaca sedang cerah tak berkabut, jadi bisa melihat langit biru dan awan yang terpantul di air danau..... It's a magic.... Obyek wisata ini juga lebih terawat dibandingkan Danau Atas dan Danau Bawah di Solok. Itulah mengapa ini menjadi tempat favoritku di Sumbar, selain Sikuai dan Sawahlunto.

Puncak Lawang dengan cuaca yang dingin, dan angin sepoi-sepoi, menjadi tempat favorit bagi mereka yang berpacaran buat mencari pojok-pojok yang sepi heheheh. Tapi yang jelas kecantikan alamnya memang tak terlupakan. Aku betah terpaku, duduk termangu diantara rumput-rumput, sambil memandang danau dan perkampungan di bawahnya.


Andai aku tak diburu waktu, mungkin aku rela seharian duduk disana terpaku, sambil berkontemplasi. Sangat mungkin akan kulahirkan puisi-puisi paling romantis, terinspirasi dari romantisme alam....


Berhubung hari sudah menjelang sore, dan perjalanan masih harus dilanjutkan ke Bukittinggi, maka kami pun segera turun dari Puncak Lawang dengan berat hati. Nah ini juga tak kalah menariknya, di perjalanan pulang kami mampir dulu ke sebuah Rumah Gadang mewah.

Sebelum perjalanan ke padang, aku memang sudah request ke temanku yang menjadi tour guide, tolong dong bawa ke rumah Gadang yang asli, yang sesuai konteknya sebagai sebuah rumah bukan rumah Gadang yang disiapkan untuk wisatawan dalam sebuah taman atau apalah.

Dan akhirnya kesampaian juga..... Sebenarnya hasrat hati sudah cukup terpuaskan melihat banyak sekali rumah Gadang sepanjang perjalanan antara Solok dan Sawahlunto.
Tapi yang ini sungguh langka, sebuah Rumah Gadang dengan ukiran lengkap di semua sisi rumah, terletak di sebuah halaman yang sangat luas, terus ada rumah kecilnya juga yang digunakan untuk menyimpan beras. Ibarat sebuah fashion, Rumah Gadang ini adalah Louis Vuitton (yang digilai ibu-ibu sasak 4 cm hahahahah.

Dan lebih menyenangkan lagi, karena kami bersama orang lokal, bisa minta ijin untuk berfoto sebentar dan melongok ke dalam. Ternyata bentuk kamarnya sama dengan Rumah Joglo (rumah adat Jawa), dimana kamar-kamarnya di sekat membentuk huruf L, dan di depannya ruang tamu. Aku juga sempat melihat foto seorang wanita setengah baya yang diletakkan di tengah rumah, sepertinya beliau adalah orang yang dituakan di rumah ini, dan pewaris Rumah Gadang ini.

Karena aku teringat cerita temanku, bahwa Rumah Gadang itu diwariskan turun-temurun kepada anak perempuan, karena budaya Minangkabau menganut sistem matriarki. Wah wah wah seperti melihat mimpi jadi kenyataan, bisa mengintip Rumah Gadang yang eksotisss itu.

Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju ke Bukit Tinggi. Siapa coba yang tidak kenal Bukittinggi. Kayaknya kalau ke Sumatra Barat tujuan utamanya pasti kota ini.

Perjalanan kami menuju Bukittinggi, melalui jalur yang tidak biasa. Hmmm ini petualangan yang menarik juga, selain melewati hutan, dan jalanan yang sempit berliku, kami berjalan melewati Ngarai lohhh. Wuahhhh pokoknya seruuuuuu banget.

Kalau Anda pernah melihat Ngarai Sianouk yang indah itu, kami bertualang dibawahnya hehehe. Sesampainya di Bukittinggi, apalagi kalau bukan menikmati indahnya Ngarai Sianouk, sayangnya kami tak sempat masuk ke dalam Gua Jepang mengingat waktu sudah sangat sore, dan hari semakin menua.

Setelah asyik bermain dengan monyet-monyet di Ngarai Sianouk yang jinak (aku terheran-heran kok bisa jinak, gak seperti di Bali yang ganas siap merenggut apapun, perjalanan dilanjutkan ke Jam Gadang. Semua orang juga pasti tahu, karena menjadi ikon Bukit Tinggi.

Kebetulan saat itu malam minggu, jadi suasananya sangat ramai. Kami pun bertualang ke Pasar Atas, hmmmm ini juga menjadi tujuan para wisatawan Indonesia yang selalu napsu untuk berbelanja. Namun sayangnya aku justru tak napsu untuk belanja.

Dari Pasar Atas kami berkeliling kota Bukittinggi dengan berjalan kaki. Aku memaksa temanku untuk menunjukkan mana sih, kota berundak yang menjadi khas Bukit Tinggi. Agaka aneh memang tapi aku penasaran aja. Makanya kami pun berkeliling ke perkampungan mereka, yang dipenuhi gang sempit dan tangga-tangga.

Kami sangat kelelahan berkeliling kota ini dengan berjalan kaki naik turun tangga. Tapi rasanya seru juga. Karena sangat jarang sebuah kota yang perkampungannya berbentuk tangga-tangga seperti ini, otomatis tidak bisa dilewati kendaraan bermotor, atau sepeda sekalipun. Dan uniknya di Bukittinggi ini aku banyak melihat arsitektur rumah yang unik percampuran antara arsitektur Minang dan Eropa.

Uniknya lagi walaupun rumahnya padat dan berada di gang sempit yang mengingatkanku pada Gang Bongkaran dan Taman Sari di Cihampelas, Bandung. Disini lebih tertata, bersih, dan banyak petunjuk jalan. Misalnya arah jalan ke Pasar Atas, Pasar Bawah, Kebun Binatang dll. Sepertinya Pemda Bukit Tinggi tahu, banyak dari para wisatawan itu suka berkeliling ke kampung-kampung tangga berundak itu.

Pemberhentian kami terakhir di Kota Bukit Tinggi adalah Begudal Cafe. Hmmm ini adalah kafe tempat ngumpulnya para bule-bule backpacker yang lagi berkunjung ke Bukittinggi. Interiornya merupakan perpaduan antara nuansa Eropa dan Minangkabau. Para pelayannya juga bergaya selengekan, dengan rambut ala Bob Marley.

Di tempat ini aku mencoba, Yoghurt Susu Kerbau wowww eksotis bukan????? Rasanya sih ok ok ajah, walaupun gak terlalu suka. Tapi seorang teman langsung emoh dengan minuman ini, katanya terlalu asemmm. Padahal ini udah disesuaikan loh gak terlalu asem, kalau yang asli lebih asem lagihhhh. Jadi penasaran neh pengin nyoba yang original apa kabar rasanya?????

Tepat sekitar 19:30, travel menjemput kami di Begudal Cafe dan ini menjadi akhir perjalanan yang manis. Dan saatnya kami mengucapkan perpisahan dengan keindahan dan keramahtamahan Sumatra Barat. Saatnya kami menempuh perjalanan panjang sekitar 6 jam dari Bukittinggi ke Pekanbaru melalui jalur darat.

Wednesday, April 29, 2009

A Trip To Remember II: Solok & Sawahlunto

Perjalanan berikutnya setelah kami menikmati indahnya Sunset di kota Padang, dan Sunset di Pulau Sikuai, saatnya untuk bergegas, karena Solok yang cantik telah menanti. Setelah kapal sandar di Pelabuhan Muaro Kota Padang, kami segera meluncur dengan mobil Kijang Innova yang sudah siap menjempu,t menuju ke Jembatan Siti Nurbaya yang tidak jauh dari Pelabuhan Muaro.

Setelah itu kami sempat tertidur lelap sebelum terbangun untuk makan siang di sebuah perbukitan yang masih di Kota Padang juga. Wahhh, kami makan di sebuah restoran Padang, yang sudah lupa namanya. Yang unik disini, ada menu yang tidak pernah aku temukan di RM Padang manapun sebelumnya yaitu Gulai Pakis. Hah??? Gulai Pakis??? Kayaknya eksotisssss juga, makanya tanpa ragu langsung dilahap deh itu sayuran. Rasanya lumayan enak juga ternyata.

Setelah makan siang disana, Bot, nama seorang teman yang menjadi tour guide dan native people dari Sumbar bilang, "Jangan tidur lagi sekarang, kalian bakal rugi". Wahhhh ternyata memang benerrrrr bangetttt, karena pemandangan alam sepanjang perjalanan dari Padang menuju Solok sangatttt cantik, jalanan berkelok, tumbuhan pakis yang tumbuh liar, hutan yang lebat, kota Padang nun jauh di bawah, menawarkan pengalaman yang sangat menarik.

Lalu setelah perjalanan lebih dari dua jam, akhirnya sampai juga kami di Kota Solok, dimana kami akan mengunjungi dua danau yaitu Danau Atas dan Danau Bawah. Jangan terbalik-balik yah, Danau Atas itu justru letaknya di bawah, dan sebaliknya. Ini memang aneh tapi nyata.

Wahhhhh kota Solok itu sangat cantik, dan dinginnnn, angin berhembus sepoi-sepoi. Kami pertama-tama mengunjungi Danau Atas, setelah puas menikmati dan berfoto. Pindahlah kami ke Danau Bawah. Di antara keduanya aku lebih suka dengan Danau Bawah, karena Danau Bawah hmmmmm airnya terlihat sangat biru kehijauan, penuh misteri. Sayangnya kedua tempat wisata ini tidak terawat dengan baik.

Hari menjelang sore, dan kami pun bergegas menuju ke tujuan berikutnya SAWAHLUNTO.... Perjalanan antara Solok dan Sawahlunto merupakan perjalanan yang paling tak terlupakan. Mengapa??? Karena aku ini pecinta budaya, dan penasaran sekali pengin liat itu namanya Rumah Gadang. Nah, sepanjang perjalanan antara kedua kota inilah aku bisa melihat banyak sekali Rumah Gadang. Ada yang sudah reot, ada yang dimodifikasi, ada juga yang masih bagus dan terawat. Serasa terbayang saat Siti Nurbaya mengintip siluet Syamsul Bahri dari tirai jendela rumahnya hehehe.

Perjalanan ini juga cukup panjang sekitar 3 jam. Nah sebelum masuk Sawahlunto, kita berwisata kuliner dulu, yang diserbu pertama adalah Sop Daging Sapi, yang sangat terkenal. Hmmm maknyusss deh pokoknya sopnya, dan yang lebih hebat lagi sambalnya merah membara, kalau Anda tidak tahan pedas jangan coba-coba deh.

Tak sampai setengah jam perjalanan dari situ, sebelum masuk kota Sawahlunto kita makan lagi!!! Kali ini kita nyicip Dendeng Datokok kalo gak salah, hmmm dendengnya enakkkk, baunya sangat harummmm. Beda dengan dendeng yang pernah dimakan sebelumnya.

Setelah sangat kenyang dengan makan dua kali, saatnya memasuki kota Sawahlunto, yang ternyata berada di sebuah tempat yang terpencil. Kami sampai di kota ini sudah cukup malam sekitar Jam 20:00. Pas masuk ke kotanya wowww langsung takjub, what a beautiful small city....

Kami menginap di Wisma Ombilin, ini adalah hotel satu-satunya yang ada di Sawahlunto, sekaligus bangunan yang sangat bersejarah. Sesampainya di Wisma Ombilin, kami tak sabar untuk segera berkeliling kota. Kami langsung berjalan kaki menikmati kota kecil ini dengan berjalan kaki. Mulai dari Gedung Kesenian yang bergaya Belanda, kemudian alun-alun kota yang sangat cantik yang berhadapan langsung dengan Kantor Perusahaan Batubara Bukit Asam, lalu berkeliling ke Stasiun Kereta Api, dan masuk ke lorong-lorong perkampungan dan pasar.

Setelah capek berkeliling, kami pun terkapar tidur untuk bersiap mengelilingi Sawahlunto keesokan harinya. Hari berikutnya, di hari yang masih sangat pagi, kami berkeliling kota, kali ini menggunakan sepeda tua yang disediakan oleh hotel untuk berkeliling kota Sawahlunto. Wahhh menyenangkan sekali, serasa balik ke masa-masa tahun 1900-an, dengan sepeda, udara sejuk, plus kota kecil yang sepi.

Setelah puas bersepeda pagi, kami bergegas mandi, dan memuaskan hasrat narsis untuk berfoto-foto d beberapa bangunan unik perpaduan antara arsitektur Belanda dan Cina. Satu lagi yang unik dari Sawahlunto, ternyata tukang sampahnya meriah euyyyyy. Masak truk pengangkut sampah muter lagu kenceng-kenceng kayak lagi ada kondangan. Gak tahu apa maksudnya, mungkin sebagai pertanda bagi penduduk kalo punya sampah segera ditaruh di luar biar sekalian diangkut.

Tujuan selanjutnya adalah LUBANG MBAH SURO. Wahhhh ini bagian yang gak boleh dilewatkan di Sawahlunto. Di sini kita bisa masuk ke dalam terowongan, dimana dulunya tempat pertambangan batubara. Harga tiketnya juga sangat murah. Kita akan didampingin oleh seorang guide yang sangat bersahabat dan membantu.

Kenapa namanya Mbah Suro??? Karena beliau adalah Mandor yang paling berjasa di Sawahlunto pada era itu, untuk mengawasi para pekerja tambang. Para pekerja kebanyakan didatangkan dari Jawa, seperti halnya Mbah Suro. Mereka kebanyakan adalah para buangan yang dipekerjakan paksa, dan diberi makan seadanya dan dieksploitasi secara tak manusiawi.

Maka tak heran bila banyak dari para pekerja yang tidak kuat mati terkapar di dalam lubang tambang. Oleh karena itu, beberapa bagian dari lubang tambang tidak dibuka karena dianggap angker. Uniknya di jaman Belanda dulu pun, menurut Guide kami, Belanda menghargai berbagai mitos untuk selamatan dll demi keselamatan.

Budaya ini tentunya dibawa dari Jawa, yang hingga kini budaya Jawa masih menyisakan bentuknya di Sawahlunto, karena masih ada acara tahunan di sana yang menampilkan musik gamelan.

Sawahlunto berdasarkan sejarahnya memang kota yang hidup, dan dikembangkan karena ditemukan tambang batubara. Kota ini ibarat episentrum sebuah wajan, dimana dikelilingi perbukitan yang masih berwujud hutan, dan sangat terisolasi.

Dahulu ketika pertambangan masih berjaya, kota ini menjadi trendsetter di Sumatra Barat, namun setelah pertambangan batubara mulai memudar karena kandungannya mulai menipis, maka kota ini hampir mati suri.

Untungnya walikota Sawahlunto, sangat kreatif dan punya visi yang kuat melihat potensi kota ini sebagai kota wisata. Sangat terasa keseriusan pemerintah kota menata kotanya untuk para wisatawan, museum tertata rapi, petugas hotel dan museum sangat ramah, dan siap membantu. Mereka juga dengan sangat serius menyiapkan angket untuk diisi turis mengenai pengalaman mereka di Sawahlunto.

Setelah puas melihat Lubang Mbah Suro, dan merasakan lorong-lorong tambang batubara. Kami berpindah ke Museum Gudang Ransum yang tidak jauh dari Lubang Mbah Suro. Sebenarnya kedua museum ini bisa ditempuh berjalan kaki tidak sampai 1 menit.

Di museum ini, kita bisa melihat dapur umum super duper jumbo tempat dapur umum bagi para pekerja tambang. Wahhh ada wajan super jumbo, pemasak nasi yang jumbo pula, dan yang yang tidak kalah menariknya adalah bangunannya yang eksotisss.

Sayang kami tak bisa lama-lama berada disini karena perjalanan berikutnya sudah menanti. Tepat sekitar jam 10:00 kami meninggalkan Sawahlunto dengan berat hati....

Monday, March 30, 2009

A Trip To Remember I: Padang & Sikuai

Rabu sore itu tanggal 25 Maret 2009, saat hari mulai sore, akhirnya menginjakkan kaki di Bandara Minangkabau Padang. Tujuan pertama adalah Hotel Nuansa tempat kami menginap. Dari sinilah petualangan itu dimulai. Bersama dengan teman-teman kuliah dulu, ini adalah sebuah petualangan sekaligus reunian. Kami berempat melakukan sebuah Amazing Race menjelajahi Sumatra Barat dan Pekanbaru.

Ternyata hotel yang dipilih itu langsung menghadap ke laut. Jadi setelah turun dari bis damri, yang dilakukan adalah berlari terbirit-birit mengejar Sun Set di Pantai Padang yang ternyata sangat cantik, walaupun agak terlambat, tapi masih sempat diabadikan dalam jepretan kamera.

Setelah beristirahat sebentar untuk mandi, perjalanan dilanjutkan untuk wisata kuliner. Tujuan pertama kami adalah nyicip Martabak Kubang di Restoran Kubang Hayuda, beuhhhhhhh martabaknya mangstafffff.... Isinya daging semua, gak kebanyakan daun seperti yang kita biasa makan. Dagingnya juga lebih berasa berbumbu seperti daging rendang. Dan yang bikin geleng-geleng, untuk sebuah martabak yang enak bangetttt, dan porsi yang lumayan harganya cuman Rp. 13.000. Must try lah kalo ke Padang.
Setelah kenyang dengan Martabak Kubang, perjalanan dilanjutkan buat berburu Es Durian yang juga sangat kesohor di Padang,di daerah Simpang Kinol. Nama tempat makan Es Durian inih adalah Es Durian Ganti Nan Lamo. Daerah ini konon katanya adalah daerah pecinan di Padang. Makanya sempat kaget juga lohhhh kok ada amoy yang pake hot pan berkeliaran gak dikerudungin heheheh. Kan Padang terkenal dengan norma islami yang kuat, ternyata untuk kawasan pecinan ini, adat dan aturan itu nggak berlaku.

Setelah puas dengan Es Duren perjalanan malam itu dilanjutkan dengan berjalan kaki mengelilingi Jalan Gereja, yang banyak terdapat bangunan-bangunan tua yang unik. Setelah itu pulang ke Hotel dan tidurrr, karena esok hari petualangan ala Amazing Race sudah menanti....

Hari Kamis 260309, petualangan dimulai pagi bangettt. Langsung tancap gas ke pasar kota Padang, nyari bendi Padang nan meriahhhh. Setelah itu saatnya keliling kawasan kota lama Padang, tempat pertama yang dikunjungi adalah Masjid Tertua di Padang, yang berasitektur percampuran dengan gaya Cina.


Setelah dari masjid, kita berkeliling ke kawasan kota lama, yang merupakan pusat perdagangan dan kota di jaman Belanda. Deuhhh serasa Siti Nurbaya... Beberapa bangunan masih dipelihara dengan baik, percampuran arsitektur Belanda dan Cina, banyak mewarnai gedung-gedung yang berjajar rapat disana.

Setelah puas berkeliling kota tua, petualangan dilanjutkan ke Pulau Sikuai. Sebuah Resort yang berada sekitar 1 jam dari Padang. Pulau Sikuai yang termahsyur akan eksotismenya bikin aku jadi deg-degan.

Pas nyampe disana, hmmmmmm kesan pertama kok biasa ajahhh gak terlalu amazing. Apalagi ngeliat resortnya kok gak ada sentuhan Bumi Minang sama sekali. Tapi setelah berkeliling pulau wowww ternyata sisi lainnya sangat cantik. Kami sempat naik perahu dan berkeliling Pulau Sikuai. Lalu sore harinya, dengan napas tersengal-sengal, kami mesti mendaki bukit Sikuai dengan lebih dari 300 undakan menuju puncak untuk melihat matahari terbenam. Dan wowwwww gak rugi bangetttt pas nyampe di atas, karena indahhhhhh bangettt, bayangkan lautan biru dikelilingi pulau-pulau yang hijau dengan tebing terjal nan indah di satu sisi. Dan lautan biru, ditingkahi sinar matahari kekuningan di sisi lain. It's very romantic sekaligus melankolis, aku terdiam terpaku meras tenangggg lari dari segala kesibukan.

Esok paginya, tanggal 270309, kami tetap bangun pagi-pagi nggak mau rugi buat menikmati indahnya Matahari terbit di ujung Timur Sikuai sambil jogging. Wahhh seruuu loh, hampir dua jam kita berjalan kaki keliling, sambil foto-foto, dan melihat ikan-ikan hias di laut yang bening...

Beberapa tips Padang dan Sikuai:
1. Mesti cobain angkot di Padang yang modis-modis, dan dilengkapi dengan full music dengan audio system yang canggih, katanya kalo ngga keren gak laku ma anak sekolah. Makanya pada berlomba mendandani angkot.
2. Kawasan Kota Tua Padang layak untuk dijelajahi kalo Anda suka dengan wisata sejarah, dan paling asyik memang berbendi ria, biar lebih berasa era Siti Nurbaya...
3. Ada dua macam paket tur ke Sikuai, paket One Day Tour atau Menginap. Untuk One Day Tour Rp. 150.000,00 dari jam 10.00-16.00 termasuk makan siang dan kapal, kalau menginap biayanya sekitar Rp. 300.000,00 tapi aku bilang menginap lebih worthed, karena keindahan Sikuai itu justru saat Sun Set di atas bukitnya. Kalau One Day Tour gak akan sempat menjelajah seluruh pulau, apalagi naik ke atas.
4. Paling enak membawa orang lokal saat jalan-jalan, seperti kemarin kebetulan seorang teman asli Padang, jadi bisa jadi tour guide ke tempat-tempat dan makanan yang mesti dicoba.

Nantikan kelanjuta petualangan Sumbar dan Pekanbaru, di tulisan berikutnya...