Friday, December 15, 2006

Every Chance is A Challenge…

Tiba-tiba Yogyes.com menelponku, bertanya apakah aku bersedia menjadi MC untuk acara launching “Tour de Djokdja”, sekaligus pengajian dotcomers yang bakal diadain di Hotel Jayakarta tanggal 12 Desember. Saat menerima telpon itu terus terang aku sempat merasa ragu. Menjadi MC di acara launching??? Di hotel berbintang??? Memandu Pak Nukman (beliau adalah pemilik virtual consulting dan portalhrd.com), seseorang yang penting???

Tapi akhirnya aku menerima saja. Walaupun menurut aku ini adalah sebuah kenekatan. Aku memang pernah siaran, beberapa kali menjadi pembawa acara. Tapi tak pernah acara sebesar ini, dan acara yang sangat penting.

Aku hanya berpikir ini adalah saatnya untuk mencoba. Kalo Yogyes.com sudah percaya penuh padaku, maka aku harus percaya dong dengan kemampuanku sendiri. Karena kesempatan terkadang gak akan datang lagi. Sekali kita melepaskannya, maka habislah sudah. Padahal setiap kesempatan, tanpa melihat apakah akan berhasil atau tidak, akan memberikan pembelajaran baru buat kita.

Terbukti aku dapat melakukan tugasku dengan lumayan baik, menurut aku sendiri sih hehehe. Indikatornya aku bisa mengendalikan diriku dengan baik, gak ada perasaan nervous, dan cukup pede walaupun harus berbicara di depan orang penting.

Dalam acara ini aku juga belajar menjadi ”tuan rumah” yang baik. Mengajak ngobrol tamu-tamu sebelum acara dimulai misalnya. Selama ini aku merasa kecewa pada diriku sendiri, karena aku kurang proaktif untuk mengajak berkenalan dengan orang-orang baru. Dan kemarin itu adalah saatnya aku belajar menjadi lebih proaktif.

Kemudian aku juga berhasil memperluas jaringan, karena akhirnya aku bisa berkenalan dan ngobrol banyak dengan Pak Nukman. Punya banyak jaringan kan gak ada ruginya. Lumayanlah bisa kenal dan belajar dari orang penting, ini membuatku lebih terinspirasi menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata aku sangat berterima kasih pada Mas Agus dan Mbak Inda yang ngasih aku kesempatan buat jadi MC. Karena dengan kesempatan ini, aku jadi belajar lebih banyak lagi. Tidak semua orang mempunyai kesempatan baik seperti diriku...

Yogyakarta, 151206

Dua Tahun Dalam Dunia Blog…

Tak terasa bulan ini telah memasuki tahun kedua aku menorehkan guratan dalam blog. Dua tahun bagiku bukanlah waktu yang singkat, karena mempertahankan stamina bukanlah perkara yang mudah.

Selama dua tahun aku menulis. Aku telah menjadi saksi bermunculannya blog-blog baru milik teman-temanku. Namun di saat yang sama, aku menjadi saksi tak sedikit yang kemudian layu, dan tak terurus lagi...

Satu hal yang paling sulit di dunia ini adalah masalah konsistensi... Beberapa orang mungkin sangat bersemangat di awal, tapi semangat itu ternyata hanya bertumbuh untuk beberapa saat, dan tak lama kemudian tenggelam. Lalu aku belajar, sangat bersyukur aku dianugerahi Tuhan dengan stamina yang sama sepanjang untuk apa yang aku lakukan.

Dalam perjalanannya, aku bukan hanya mendapatkan teman-teman baru. Aku juga secara tak langsung menginspirasi beberapa teman belajar menulis, dan membuat blognya sendiri.

Dan jasa yang paling mutakhir dari blog ini adalah blogku mempunyai andil hingga aku memperoleh pekerjaan. Kenapa??? Karena sebentar lagi aku bekerja di dunia PR, dimana keahlian menulis menjadi salah satu modal. Dalam surat lamaranku aku mencatumkan blogku, dan ternyata ini menjadi salah satu yang dipertanyakan saat wawancara. Berarti mereka tertarik dengan blogku bukan???

Ini memang tidak terlalu mengagetkan. Karena sejak lama aku menyadari bahwa blog ini akan menjadi semacam portfolio hasil karyaku. Dan berbagai tujuan lainnya. Mungkin terkesan janggal, di tengah orang lain membangun blognya dengan tujuan yang sederhana.

U know that I always be complicated, and some others say too ambitious… Finally I hope, I will still write the celebration for the years that will come.


Yogyakarta, 151206

Next Destination Leeds...

Yayaya judul ini terinspirasi dari pengumuman di dalam Bis Transjakarta tentang tujuan pemberhentian berikutnya. Kayaknya hidup aku juga gak jauh seperti itu hehehe. Setiap aku berada pada suatu tempat, maka aku sudah mempersiapkan kemana lagi arah kaki ini akan kulangkahkan.

Ini memang sedikit gila, bahkan aku sekarang masih ada di Yogya. Walaupun sebentar lagi aku akan berkompetisi untuk menaklukkan kerasnya Jakarta, dan aku udah merencanakan ajahhhh my next destination after Jakarta hehehe.

But I always crazy, kalo gak crazy itu mah bukan Tuhu kale namanyah kikikikik. Why Leeds?? Karena aku terobsesi bisa ngambil second master, dan mungkin dilanjutkan doktoral di jurusan Marketing and Advertising, Leeds Business School di Leeds University.

Ceritanya suatu ketika kala aku masih kuliah di S1 di HI UNPAD, aku dating ke pamran pendidikan dan mengambil silabus postgraduate Leeds University. Aku melihat ada jurusan Advertising and Marketing, dan sejak saat itu aku merasa ini adalah sesuatu yang tepat buat aku. Belajar tentang brand management sound interesting…

Aku memang terkadang mengambil keputusan berdasarkan my feeling. Tiba-tiba aja terasa ada sesuatu yang spesial dengan hal itu. Itu sama halnya ketika aku memilih HI. Seorang sepupuku menyebut jurusan itu ketika aku masih SMU, dan itu pertama kali mendengar ada jurusan bernama HI. Dan aku berjanji dalam hati akan cari tahu lebih banyak, dan kuliah di jurusan ini.

Lalu mengapa Leeds??? Karena aku telah ngubek-ngubk berbagai universitas di seluruh dunia, dan aku belum menemukan universitas yang menawarkan jurusan yang mirip dengan ini. Mungkin juga karena faktor pengetahuanku yang emang cupet, bisa jadi hehehe.

Alasan kedua, aku memang lebih menyukai bersekolah di Eropa terutama Inggris ketimbang AS. Karena Eropa mempunyai sejarah pergulatan dengan pengetahuan yang lebih panjang, dan mereka mempunyai kebudayaan yang sangat tinggi. Alasan lain, orang-orang Inggris yang stereotipnya orang yang angkuh dan dingin justru menantang untuk ditaklukkan. Finally, Inggris mempunyai daya magis tersendiri buat aku. FYI Inggris adalah nama negara yang pertama kali aku kenal selain Indonesia. Saat itu aku belum bersekolah, aku pikir di dunia ini hanya ada dua negara, Inggris dan Indonesia. Gimanapun kesan pertama emang gak terlupakan…..


Yogyakarta, 141206

Thursday, December 14, 2006

Diskonista…

Apa yang ada dibenak ketika membaca judul ini??? Dalam versi aku ada dua hal, pertama mengikuti pakem fahionista, jadi berarti pecinta diskon. Yang kedua dipecah menjadi diskon dan nista, artinya kaum pariah yang sukanya barang-barang diskonan karena kalo gak diskon mana tahannnn kikikikik

Lalu gw termasuk yang mana??? Kayaknya dua-duanya deh ya... Ide ini muncul karena aku kalap ajahhh dengan namanya pameran buku, dan harga buku yang lagi diskon. Upsssssss, tapi kalo baju-baju diskon aku juga bisa kalap ding hehehe.

Aku sangat tidak rasional kalo melihat ada buku diskon. Bayangkan belum ada sebulan lalu, aku memborong 6 buku. Soalnya pas pameran satu bukunya diobral lima ribuan. Nah belumlah selesai membacanya. Aku kembali kalap kemarin, karena itu hari terakhir Gramedia di Yogya ngasih diskon 30% untuk semua buku. Walhasil aku pulang membawa 3 buku tebal, dari dua gerai Gramedia yang berbeda…

Tapi kayaknya bukan aku sendiri kale, secara berdasarkan rumpi-rumpi para pemasar orang Indonesia paling gampang dibujuk dengan gimmick diskon, cashback, hadiah, dan lain-lain. Para konsumen itu menjadi tidak rasional dalam membeli, dan terkadang membeli di luar kebutuhannya. Karena para pemasar memainkan psikologis mereka dengan iming-iming mumpung diskon, mumpung dapat hadiah, dan berbagai mumpung lain-lain. Kita kan emang terkenal dengan aji mumpung. Emang artis dan pejabat doang yang boleh aji mumpung???

Tapi gimanapun juga sekalap-kalapnya kita, tetap harus ada sisi rasionalnya. Walaupun aku juga kalap membeli buku, tapi aku yakin gak ada ruginya, karena buku dan pengetahuan itu investasi. Bukan seperti barang konsumsi lainnya, bila setelah dikonsumsi yang udah tuntas...


Yogyakarta, 141206

Friday, December 08, 2006

When You Have Lot of Friends…

Keyakinan yang aku percaya selama ini semakin terbukti. Bahwa mempunyai banyak teman itu adalah investasi yang sangat berharga. Teman yang banyak membuat aku bisa banyak belajar dari pengalaman-pengalaman mereka.

Teman-teman juga menjadi sumber informasi berbagai hal, termasuk pekerjaan yang akhirnya aku dapatkan. Kalau tanpa seorang teman yang berbaik hati mengirim sms, agar aku mengirim lamaran ke Maverick. Mungkin aku masih mencari pekerjaan kesana-kemari.

Buat Belly, makasih banget ya udah ngasih info Maverick. Aku benar-benar berutang budi ama kamu. Lalu ketika aku di Jakarta, teman-temankulah yang banyak berperan. Selama satu minggu aku tes di Jakarta, beberapa teman dengan senang hati menawarkan tempatnya untuk tumpangan selama aku tes. Kesediaan mereka yang tulus membuat diriku merasa sangat terharu.

Makanya selama seminggu aku di Jakarta, aku menyempatkan diri untuk mengontak teman-teman ngajak ketemuan. Dan alhamdulilah aku sempat bertemu dengan beberapa teman lama, yang berasal dari komunitas berbeda. Walaupun ada beberapa yang lain ngajak ketemuan kalo aku ke Jakarta, tapi gimana aku gak sempat kontak dan ketemu dengen mereka. Soalnya waktuku kan terbatas....

Aku semakin yakin bahwa pertemanan akan membawa kita pada kesuksesan. Dari setiap kesuksesan yang kuraih, ada peran orang-orang yang ada di sekitarku, baik itu keluarga, teman, pengajar dan sebagainya. Mereka menjadi motivator, penenang, inspirasi, pemberi informasi, dan juga pengingat...

Thanks God, U give me a lot of people that love me…


Yogyakarta, 081206

I’m on The Right Track…

Tak ada kata yang lebih pantas kukatakan selain “Terima kasih Tuhan…”. Karena semuanya berakhir dengan indah. Aku mendapatkan pekerjaan yang sangat aku inginkan. Dan aku mendapatkannya sesuai target, sebelum aku diwisuda.

Alangkah indah rasanya dunia ini.... setelah semua hal yang sempat aku lalui. Segala macam kekecewaan, segala macam paceklik prestasi. Dan akhirnya dipenghujung tahun ini, aku mendapatkan anugrah luarrr biasa yang telah aku nanti-nanti. Beberapa bulan ke belakang, adalah masa-masa yang penuh mimpi buruk. Masa yang dipenuhi kecemasan, tentang apa yang akan terjadi padaku kalo aku harus menanti cukup lama hingga mendapatkan pekerjaan.

Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya, aku selalu yakin semuanya akan datang tepat pada waktunya... Walaupun dulu aku tak akan pernah mampu membayangkannya. Bayangkan aku hanya sekali ke Jakarta, dan aku berhasil memperoleh pekerjaan. Paling tidak, tidak terlalu banyak energi, dan uang yang harus kubuang.

Apalagi ini adalah pekerjaan yang sangat aku idamkan sejak lama. Pekerjaan yang memberi tantangan baik dari segi intelektual, maupun kreativitas. Tidak semua bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang mereka inginkan, maka aku merasa sangat bersyukur ketika mendapatkannya.

Dan yang lebih membuatku senang, semuanya sejalan dengan rancangan jangka panjang. Bekerja di bidang konsultansi, yang akan membawaku mendalami lebih mendalam mengenai brand management. Hingga suatu saat nanti aku bisa mengantarkan produk lokal ke kancah internasional.

Jalan memang masih teramat panjang, tapi paling tidak aku telah ada di jalur yang benar. Aku harus bekerja lebih keras lagi dalam menempa diri, agar apa yang kuinginkan tercapai. Tak ada keberhasilan yang dating tiba-tiba. Ia akan datang pada orang yang pantas menerimanya.

Maka aku akan terus bekerja keras, dan tak pernah lengah. Karena aku hidup demi menghidupi impian-impian besarku...


Yogyakarta, 071206

Dari Toilet ke Toilet

Beberapa waktu yang lalu aku bepergian ke Jakarta untuk wawancara kerja, lalu dilanjutkan jalan ke Bandung. Sebagai orang yang nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada satu cerita menarik, tentang toilet-toilet yang aku singgahi.

Apa yang menarik??? Ternyata di empat toilet yang aku gunakan, aku menemukan ada empat orang temanku yang menggunakan produk yang sama pembersih muka Ponds.

Pada awalnya aku gak terlalu nyadar, tapi setelah lama kelamaan, aku jadi berpikir hebat juga Ponds.... Dia bisa menguasai pasar dengan begitu cepat. Dan yang lebih mengejutkan lagi semua teman yang mengkonsumsi Ponds adalah pria. Padahal dari iklan Ponds sendiri kan sebenarnya yang ditarget wanita???

Hmm that sound great... Unilever emang keren bangetttt kalo urusan mempengaruhi persepsi konsumen. Mereka harus diakui mempunyai tim pemasar yang handal. Bayangkan merek Ponds kan lumayan baru dibanding beberapa produk lain. Tapi aku gak menyadari bahwa penetrasi mereka begitu cepat, hingga aku menyambangi berbagai toilet temanku, dan mengetahui ternyata mereka mempunyai selera yang sama.

Mungkin saja ini hanya kebetulan, tapi kebetulan tidak mungkin terjadi empat kali pada saat yang bersamaan. Menariknya lagi, teman-teman yang aku datangi berasal dari beragam latar belakang profesi, tingkat pendidikan, dan penghasilan.

Ternyata produk ini dikonsumsi baik kelas profesional, maupun kelas pekerja kerah biru. Aku jadi berpikir, mungkin karena harganya terjangkau, dan kualitas produk yang bagus??? Aku belum bisa komen soal ini, tampaknya aku harus mencari tahu lebih banyak lagi dengan menyambangi pasar swalayan terdekat hehehe.


Yogyakarta, 071206

Wednesday, November 22, 2006

Road to Be Celebrity with MM UGM


Hohoho, akhirnya aku memasang fotoku sendiri di dalam rangkaian tulisan blogku. Ini adalah sesi foto para penerima beasiswa MM UGM, dari angkatan pertama hingga yang terbaru.

Gimana gak bersemangatttt, secara foto kami akan dipajang dalam iklan MM UGM di empat media berbeda, dan salah satunya KOMPAS ajahhh. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sebelumnya wajahku sudah pernah nampang dua kali dalam iklan MM UGM. Pertama diterbitkan di koran Pikiran Rakyat (koran lokal Jabar), dan kedua adalah fotoku bersama teman-teman di Smart Corner Club, yang ini terbit di Bisnis Indonesia.

Pengalaman sebagai mahasiswa MM UGM, telah mengantarkanku bukan hanya belajar gimana manajemen, dan jualan. Tetapi juga memuaskan hasrat banci tampil dan hayang eksis (versi sunda dari banci tampil red.). Gimana enggak, selain menjadi bintang iklan, aku juga pernah siaran di radio bersama Smart Corner.

Jadi inget waktu S1 dulu, pengennnnn banget siaran di radio. Pokoknya nampil dan eksis lah hehehehehe. Kebetulan aku mempunyai temen-temen deket, yang tujuannya searah, seleb wanna be ajahhhhh.

Kita semua paling demen yang namanya, datang ke acara-acara di radio, ikutan audisi, ikutan kuis,semuanyalah yang bisa membawa pada ketenaran hahaha. Kita berempat sering beranda-andai, “enak kali ya kalo jadi penyiar”. Terus gila-gilaan having fun dengan any kind audisi. Mulai dari Indonesian Idol, Pop Star, AFI ampe VJ Hunt…

Yang paling heboh waktu audisi MTV VJ Hunt, aku rela berlenggak-lenggok buat ngedapetin sepatu dalam sebuah games. Lenggak-lenggok gila itu membuahkan kehebohan penonton, dan dapetlah aku sepasang sepatu hahahaha. Dan gilanya lagi pas acara dah bubar, ada ibu-ibu masih ngenalin aku sebagai pembuat kehebohan di games hehehe.

Dan akhirnya gak nyangka bangettt, kuliah S2 di Yogya, membawaku pada eksistensi yang lebih tinggi dalam dunia tampil-menampil. Jadi bintang iklan, dan penyiar??? Hmmm kayaknya dulu gak pernah kebayang deh… Dan temenku seperjuangan makin ngiri ajah melihat karirku yang terus menanjak di dunia tampil menampil…

So every body, buat yang pada suka nampil dan jadi terkenal daftar ajah beasiswa MM UGM. Kurang apa coba??? Sekolah gratis, masih pula diundang buat jeprat-jepret kikikikik. Tak kubayangkan dunia seindah ini…


Yogyakarta, 211106

Monday, November 20, 2006

Children Purchasing Power


Masih seputar cerita nonton bioskop kemarin Kali ini analisis dari sudut pemasaran. Honestly, kemarin aku terkaget-kaget karena banyak yang datang menonton Denias adalah anak-anak. Mungkin Anda berpikir, ahhh itu mah biasa. Ya memang biasa, tapi menjadi tidak biasa ketika mereka datang bergerombol bersama teman-temannya. Sementara mereka paling berumur sembilan hingga dua belas tahun. Ya.., ini berarti mereka masih duduk di bangku SD.

Tampang-tampang meraka masih sangat imut-imut khas anak-anak. Dan itu bukan hanya segerombol, tapi ada beberapa gerombol aku pikir ini sangat luarrr biasa. Karena ternyata generasiku dan generasi mereka yang tidak terlalu beda jauh, menunjukkan perubahan perilaku yang besar.

Zaman aku seumuran itu, kayaknya tidak ada yang berani bepergian sendiri, apalagi ini nonton bioskop. Aku hanya mengenal musim main kelereng, main kartu, main layangan.

Anak-anak sekarang tampaknya lebih independen, hal ini didorong karena orang tua mereka yang semakin sibuk sehingga semenjak kecil mereka terbiasa ditinggal sendiri.

Alasan kedua, zaman dulu mana mungkin anak seumuran itu punya uang jajan cukup banyak untuk membeli tiket bioskop. Bayangkan tiket bioskop 21 di Ambarukmo Plaza adalah Rp. 20.000,00, jadi bisa diperkirakan kira-kira berapa ribu uang jajan harian mereka.

Ini menunjukkan ternyata anak-anak saat ini memang pasar yang sangat potensial. Mereka mampu mengambil keputusan sendiri tentang apa yang akan mereka konsumsi. Mereka juga mempunyai cukup banyak uang untuk membeli produk yang mereka suka.

Anak-anak sekarang tumbuh dewasa lebih cepat dibanding generasi sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan bila banyak sekali pemasar yang menyasar anak-anak, atau menggunakan anak-anak sebagai infulencer dalam pembelian suatu produk.

Tentu saja, ini lebih banyak terjadi pada anak-anak kelas menengah atas. Di mana orang tua mereka biasanya sibuk bekerja, sehingga uang dan materi menjadi kompensasi akan waktu yang mereka habiskan di luar rumah. Boleh dikata, apa pun mau si anak, asal mereka senang pasti akan diberikan.

Kedua, keluarga kelas menengah atas biasanya mempunyai jumlah anak yang sedikit, tidak lebih dari dua orang. Perhatian dan materi yang mereka berikan tentunya juga menjadi lebih besar porsinya bagi masing-masing anak.

Yogyakarta, 201106

Tunggu Denias Sekolah Mama…

Ini adalah penggalan dialog film “Denias”, ketika ia menangis tersedu-sedu dihadapan mayat ibunya. Kontan saja, aku tak sanggup mencegah lelehan air mata yang berhamburan. Aku teringat kembali saat-saat terakhir aku melihat ibuku terbaring lemah menahan sakit…

Yayaya, mungkin peristiwa ini telah berulangkali kutulis di blog ini. Tapi rasanya aku tak pernah puas, dan ingin terus menuliskannya. Karena itu adalah momen yang tak akan pernah aku lupakan dalam hidup...

Saat di mana aku akhirnya merelakannya untuk pergi selamanya... Saat aku benar-benar ikhlas melepas beliau, karena aku tak tahan lagi melihat penderitaan yang harus ditanggungnya. Dan tak lama kemudian beliau menghembuskan napas terakhir...

Aku seperti halnya Denias, hanya menginginkan hal sederhana. Aku ingin ibuku menanti hingga aku menamatkan masterku. Aku ingin beliau ada saat aku merayakan kemenangan itu. Tapi apa mau dikata. Takdir tak mungkin dilawan. Beliau telah berjuang sekuat tenaga, tapi kuasa Tuhan berkata lain.

Lalu seperti halnya Denias, aku melalui satu tahun belakangan ini dengan penuh semangat menyelesaikan kuliahku demi Ibu. Denias berkata, ia ingin bersekolah demi Sang Ibu di Surga. Aku pun sama, aku bersemangat menyelesaikan kuliahku demi Ibu.

Karena Ibu bercita-cita agar anaknya sukses dan jadi ”orang”. Ibu kini sebagian impianmu telah tercapai. Namun perjalanan masih panjang. Impian Ibu melihatku menjadi ”orang”, masihlah jauh. Banyak jalan terjal yang harus kuhadapi di depan Ibu...

Tapi demi mengingatmu, aku akan tetap bersemangattt!!! Walaupun aku harus berdarah-darah, dan seberapapun mahalnya biaya kesuksesan itu, aku rela membayarnya demimu Ibu... Di saat aku lelah, dan linglung, kala aku kehilangan semangat, maka aku akan mengingatmu...

Kata-kata yang terus kau ucapkan saat kita berbicara berdua. Impian yang kau titipkan padaku, menjadi ajimat yang akan mengalahkan semua ketakutan dan rintangan di depan. Ibu..., kuharap kau sedang berada disampingku kala aku menuliskan ini...

Namun bagaimanapun aku masih lebih beruntung dibanding Denias. Ia ditinggal ibunya saat masih SD, sementara aku sudah hampi meraih gelar S2. Kehidupan dan rintangan yang dihadapi Denias juga jauhhhh lebih berat dari yang aku hadapi. Kalo Denias saja mampu menorehkan sejarah, dan memberikan inspirasi. Mengapa aku tidak??? Paling tidak aku bisa memberikan inspirasi bagi orang-orang terdekat...


Yogyakarta, 191106

Mengolah Ingatan Masa Lalu Lewat “Denias”



Film Denias entah mengapa mampu memberikan dorongan cukup kuat buatku untuk pergi ke bioskop. Maklum aku orang yang sangat jarang ke bioskop. Alasan pertama, aku tipikal orang yang lebih suka membaca daripada menonton. Kedua, aku bisa bangkrut kalo sering-sering nglencer ke bioskop.

Mengapa akhirnya dibela-belain nonton bioskop sendirian, demi Denias??? Pertama temanya yang mengangkat kisah nyata seorang anak Papua dari suku tertinggal yang bersemangat untuk sekolah menggugahku… Karena aku juga orang yang percaya pendidikanlah yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih baik.

Kedua, aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan pada perkembangan film nasional. Aku hanya ingin membuktikan komitmenku pada bangsa ini, dengan memberikan penghargaan pada kreasi anak bangsa.

Dan ternyata tidak salah, film ini membuatku menangis terharu, sekaligus membuatku tertawa terpingkal-pingkal dengan tingkah lugu mereka. Aku pun tersenyum-senyum simpul, karena beberapa kenangan masa lalu seperti tersibak kembali…

Yayaya, bumi Papua adalah tempat dimana aku dilahirkan. Logat bicara Denias, dan para tokoh lainnya dalam film ini, mengingatkanku pada masa-masa dulu... Semuanya sangat khas Papua. Sesuatu yang mungkin tidak pernah dikenal di luar Papua. Misalnya istilah suwanggi untuk setan, lalu penggunaan akhiran kah yang mungkin tidak lazim bagi orang-orang di luar Papua.

Lalu hukuman yang menggunakan cambuk dari rotan, membuatku mengingat masa-masa SD di Sorong. Memang benar, di Papua ketika seorang murid melakukan kesalahan maka ia akan dihukum dengan dipukul kakinya dengan sebilah rotan. Aku tak tahu apakah di semua daerah, dan di semua sekolah. Tapi paling tidak di sekolahku memang begitu...

Belum lagi, lagi-lagu asli Papua yang mengiringi film itu, membawaku pada kenangan di saat-saat terakhir sebelum aku meninggalkan tanah Papua. Ketika itu aku menjadi salah satu penari yospan (Yosim Pancar), tarian khas Papua. Tarian ini dipentaskan di sekolah, untuk sebuah acara yang aku lupa hehehe (maklum aku di sana hanya hingga kelas 4 SD, itu berarti lima belas tahun lalu). Dan lucunya dari kalo gak salah sepuluh orang penari, tak ada satupun yang asli Papua, semuanya keturunan pendatang (misal Jawa, Ambon, Ternate).

Film yang sangat tidak rugi untuk ditonton. Film yang bukan hanya memberikan inspirasi baru, tapi juga membangkitkan romansaku dengan masa lalu. Masa-masa yang indah, masa kanak-kanakku yang sebagian besar kuhabiskan di Papua... Karena di Papualah aku benar-benar belajar apa arti toleransi, dan hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama.


Yogyakarta, 191106

Friday, November 17, 2006

X-Men 3, The Reigning of Perpetual Peace…


Seperti janji sebelumnya, aku akan menulis tentang X-Men 3. Kalo liat akhir cerita film ini, langsung keinget dengan buku Imanuel Kant, “Perpetual Peace”. Karena Imanuel Kant sebagai tokoh yang berparadigma Liberalis, menganut asumsi yang berbeda dengan Realis, yang disebutkan dalam tulisan sebelumnya.

Kaum Liberalis berasumsi, bahwa manusia itu pada dasarnya baik, dan mau bekerjasama. Oleh karena itu, Imanuel Kant dalam bukunya Perpetual Peace, menyarankan adanya kerjasama antar umat manusia agar tercipta kedamaian abadi, atau perpetual peace.

Aku lupa apakah saat itu ia sudah menyinggung soal hubungan antar negara, atau hubungan antarmanusia secara umum. Tapi yang jelas, karya Kant menjadi inspirasi utama bagi pemikir-pemikir Liberalis berikutnya dalam menyumbangkan ide untuk menciptakan perdamaian dunia, melalui penciptaan organisasi dunia.

Oke kembali lagi ke film X-Men 3, yang diakhiri dengan cerita perdamaian, dan dialog antara manusia dan mutan. Lalu dipilihlah seorang mutan yang mewakili Amerika Serikat di PBB.

Jelas sekali dong aroma Liberalisnya??? Pertama adanya dialog dan kerjasama antara mutan dan manusia. Kedua dipilihlah satu wakil yang akan mewakili suaran mutan dan manusia di PBB. Ingat tadi disebutkan, kalangan Liberalislah yang merupakan sponsor utama pembentukan organisasi dunia.

Ini bukan berarti pemikir Realis tidak cinta perdamaian lhoo… Mereka juga cinta damai, tapi menurut mereka kedamaian hanya bisa dicapai melalui Balance of Power. Lagi-lagi contohnya pada era masa Perang Dingin. Dua negara adidaya memang berseteru, tapi mereka tak pernah melakukan perang terbuka. Begituuu menurut kaum Realis…


Yogyakarta, 161106

X-Men 2, Representation of Realism


Setelah nonton film X-Men jadi kangen neh, untuk mengulasnya dari sisi HI, seperti tugas waktu kuliah Teori Hubungan Internasional (THI) dulu. Ceritanya, dalam sekuel kedua ini. Magneto (pimpinan mutan yang radikal, ingin memusnahkan manusia, karena manusia tidak bisa menerima kehadiran mutan), dan Charles Xavier (pimpinan mutan yang lebih menyukai cara damai dalam menyelesaikan perselisihan ini), akhirnya bersatu melawan tokoh antagonis yang ingin memojokkan kalangan mutan.

Padahal sebelumnya mereka berdua adalah musuh. Karena mereka punya pandangan yang berbeda. Namun ternyata bersatunya mereka hanyalah sementara. Mereka bersatu karena punya kesamaan kepentingan.

Tidakkah ini sama ceritanya dengan hubungan Rusia dan AS pada Perang Dunia II??? Sebelumnya kedua negara ada pada sisi yang berbeda. Namun dalam PD II mereka bersatu, karena mempunyai kesamaan kepentingan mengalahkan Jerman, dan Jepang yang membabi buta.

Setelah PD II usai, dan mereka merayakan kemenangan. Kedua negara pun menjadi musuh kembali, hingga terjadilah Perang Dingin.

Inilah yang kemudian membuat pandangan Realis menjadi populer. Mereka mengklaim hanya melihat dunia seperti adanya. Mereka bersifat realistis, maka disebut Realis. Realisme menganut asumsi dasar, manusia itu pada dasarnya egois dan mementingkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, dalam tataran hubungan internasional, jargon utama dari Realisme adalah National Interest. Sebenarnya konseptual, dan sejarahnya emang lebih kompleks dari ini hehehe. Tapi bagi orang awam, pemahaman ini semoga tidak menyesatkan.

Dan sekali lagi, konflik, kerjasama, lalu kembali terjadinya konflik antara Charles Xavier dan Magneto, mengingatkan kembali nuansa Realisme. Kepentinganlah yang menyatukan mereka untuk kompromi, dan kepentingan juga yang membuat mereka akhirnya pecah.

Tapi aku sangat suka dengan akhir cerita X-Men, seperti yang digambarkan pada sekuel ketiga. Gimana ceritanya, baca aja tulisanku tentang X-Men 3...


Yogyakarta, 161106

Cermin Merah, Menilik Kepribadian yang Depresi…


Beberapa waktu lalu aku baru saja membaca novel “Cermin Merah”, yang ditulis oleh N. Riantiarno. Novel yang asyik sebenarnya, dan membawa banyak perenungan dan pesan.

Mulai dari sentilan pada Orde Baru yang bersikap represif terhadap orang-orang yang dianggap PKI. Novel ini juga banyak mengupas perdebatan antara film seni, dan komersial. Pertentangan antara idealisme dan keinginan pasar. Cerita juga berkembang mengenai kepribadian yang terkoyak akibat trauma mendalam akan berbagai kenyataan hidup yang dihadapi Arsena sebagai tokoh utama.

Lalu apa sebenarnya inti novel ini??? Aku sangat setuju dengan komentar Maman S. Mahayana dalam sampul buku ini, yaitu menunjukkan karakter N. Riantiarno yang terkoyak secara psikologis.

Novel ini bergerak, dari masa sekarang, lalu kembali ke masa lalu. Banyak adegan cerita dalam cerita. Penggambaran fiksi, yang juga merupakan kenyataan. Misalnya Arsena menulis novel yang berjudul ”Cermin Merah”, sama halnya dengan judul novel ini.

Novel ini seperti juga menguak pengalaman tragis Riantiarno ketika novel ini sempat ditolak dimana-mana pada saat itu, karena mengangkat persoalan yang sensitif yaitu PKI. Novel yang sangat tragis dari awal hingga akhir.

Aku belum pernah menjadi begitu depresi membaca novel sebelumnya. Tapi novel ini membuat perasaan aku benar-benar terkoyak-koyak karena terlarut dalam lika-liku Arsena. Novel yang memberikan banyak perenungan dan pengetahuan. Namun sekaligus menjengkelkan, karena aku tak suka dengan tokoh Arsena yang sangat indecisive, dan terlalu melankolis hehehe.


Yogyakarta, 171106

Sunday, November 12, 2006

The Namesake Cerminanku…

Aku baru saja menulis tentang “The Namesake”. Dan tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan itu. Aku merasa senang dengan novel ini karena ada beberapa bagian dari novel itu, yang sesuai dengan problema yang PERNAH, SEDANG, atau AKAN kuhadapi.

Pertama kegalauan Gogol tentang namanya. Why Gogol??? Aku juga pernah bertanya mengapa Tuhu??? Nama itu sangat asing bagi telinga orang Jawa, dan orang Indonesia manapun. Sehingga aku pernah merasa bosan dengan berbagai pertanyaan, apa artinya Tuhu??? Dan perasaan marah karena I am the only Tuhu in this world. Tapi perasaan itu sudah sirna, karena aku melihat sisi lain. Ini adalah competitive advantage dari diriku.

Kedua, Gogol mengalami krisis identitas karena berada pada pusaran sistem kebudayaan yang berbeda. Aku juga megalami hal yang sama. Aku membenci sistem budaya Jawa, terlalu sering berkumpul bersama keluarga besar, menurutku ini lebih bayak berdampak buruk. Karena ajang ngumpul bukan untuk membicarakan hal positif, tapi lebih ajang unjuk pamer, dan menjelekkan orang lain. Aku juga merasa benci dengan karakter orang Jawa yang penuh basa-basi, dan kurang ekspresif.

Aku lebih menyukai sistem nilai di mana aku mempunyai kebebasan sebagai individu, mempunyai hak privasi yang luas, dan dihargai sebagai individu seperti halnya Barat. Mengapa bisa begitu??? Mungkin memang bakat alam, aku ingin menjadi pemberontak, dan anti kemapanan. Dan juga, selama ini aku banyak disodori dengan pemikiran Barat, melalui televisi, buku teks, novel, radio, dan semua media lainnya.

Tapi bagaimanapun juga, seperti halnya Gogol (tokoh utama dalam novel). Aku tak mungkin lepas dari identitasku sebagai orang Jawa. Semakin aku berusaha lari darinya, maka aku akan semakin dihantui olehnya. Maka aku menerimanya sebagai sebuah perpaduan yang unik, untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Cerminan ketiga, aku yakin suatu saat nanti aku akan sama halnya dengan Ashoke (Ayah Gogol). Aku akan merantau ke suatu negeri entah di mana (It must be europe or America), lalu menetap di sana. Dan aku mungkin akan menghadapi problema yang sama. Sedikit keterasingan, kerinduan akan kampung halaman, dan keluarga, di Indonesia.

Namun di negeri baru itulah, aku akan memulai sesuatu yang baru. Menjadi diriku yang berbeda. Seperti halnya Ashoke yang berpindah ke Amerika untuk menghilangkan trauma atas kecelakaan kereta api yang menimpanya.


Yogyakarta, 121106

Jumpha Lahiri Mencari Jati Diri


Beberapa waktu yang lalu akhirnya aku membaca novel “The Namesake”, karya Jumpha Lahiri. Jumpha Lahiri adalah warga Amerika yang lahir di Amerika, tetapi keturunan India.

Novel ini bercerita tak jauh dari pengalamannya. Novel yang unik dan mengharukan. Memulai konflik dengan nama sebagai representasi goyahnya fondasi identitas Gogol (tokoh utama dalam novel). Gogol diambil dari nama pengarang Rusia, ia keturunan India, namun lahir dan dibesarkan di Amerika.

Pertentangan sistem nilai Timur dan Barat sangat nyata digambarkan dalam novel ini. Orang-orang Timur yang doyan berkumpul bersama keluarga besar, kurang ekspresif dalam mengungkapkan perasaan, dan mempunyai sistem nilai yang rigid, disandingkan dengan sistem nilai Barat yang kebalikannya.

Dan Gogol harus memilih di antara keduanya. Di rumah ia harus mengikuti adat-istiadat India yang dibawa oleh orang tuanya. Karena orang tuanya adalah generasi pertama yang lahir di India, dan merantau untuk bekerja dan menetap di India.

Sementara di luaran, Gogol harus berhadapan dengan teman Amerikanya yang mempunyai kebiasaan yang berbeda. Gogol mengalami krisis identitas, yang terus di carinya hingga ia berumur 32 tahun.

Gogol dalam perjalanan waktunya berusaha untuk keluar dari kungkungan adat India yang dibawa orang tuanya. Dia berusaha menjadi Amerika sejati, berpacaran dengan orang Amerika. Namun akhirya gagal juga. Dia tak bisa menghilangkan tarikan budaya India yang juga merupakan bagian tak terlepaskan darinya.

Di sisi lain akhirnya di tengah perasaan putus asa, Gogol menikah dengan seorang keturunan India jyang tinggal di Amerika sesuai dengan keinginan ibunya. Ternyata pernikahan ini juga tidak berhasil.

Honestly, ketika aku membaca bagian di mana novel ini mencapai babak saat Gogol memilih wanita keturunan India. Aku merasa ini sebuah kepicikan. Dalam hati aku gak terima, mengapa Jumpha Lahiri begitu picik???? Karena bila cerita berakhir dengan pernikahan bahagia Gogol dengan istri keturunan India, ini merepresentasikan ekslusivisme ras.

Ternyata cerita memang belum selesai. Cerita diakhiri dengan sesuatu yang indah. Gogol akhirnya membaca kumpulan cerpen karya Nikolai Gogol yang dihadiahkan oleh ayahnya beberapa tahun sebelumnya, yang selama ini tak pernah disentuh olehnya.

Ibu Gogol pun akhirnya punya keyakinan, bahwa Sonia (adik Gogol) yang bertunangan dengan seorang pria keturunan Yahudi dan Cina, akan berakhir bahagia. Tidak seperti pernikahan Gogol...


Jatinangor, 131106

Lisan Yang Menyesatkan…

Selama ini aku tahu, ragam bahasa lisan memang punya banyak kelemahan. Dan sayangnya, masyarakat kita lebih suka berbicara, daripada menulis. Hal ini semakin aku sadari, karena aku mengalami secara langsung beberapa waktu lalu.

Aku membicarakan sebuah masalah pada sekelompok orang. Aku berusaha sebaik mungkin untuk melakukannya, ternyata informasi yang di sampaikan pada pihak ketiga, yang kemudian diceritakan kembali padaku sangat jauh berlawanan. Di sini tak penting untuk membeberkan apa masalahnya, tapi lebih pada membahas esensi kelemahan ragam bahasa lisan.

Kelemahan pertama pada interpretasi. Baik ragam bahasa lisan maupun tulisan akan mempunyai dampak perbedaan interpretasi, karena ini adalah alamiah. Seseorang dan orang lain dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, mempunyai pengetahuan yang berbeda, latar belakang yang berbeda.

Namun lisan akan lebih mudah diinterpretasikan melenceng, karena ia akan mengacu pada sumber yang tidak sama. Ia akan mengacu dari banyak orang. Di mana dari tiap orang per orang, telah disisipkan baik sengaja atau tidak opini pribadi. Sementara itu tulisan, akan mengacu pada satu sumber yang sama.

Alasan kedua, kemampuan memori otak manusia sangat terbatas. Sehingga sangat mungkin ketika suatu informasi disampaikan ke seseorang, lalu orang itu menyampaikan lagi pada orang lain, maka yakin ada sesuatu yang berkurang atau bertambah. Mungkin ia memang tak bermaksud melakukannya, tapi namanya juga manusia. Ia bukan komputer yang mampu mengingat semua urutan kalimat, dan kata-kata dengan tepat. Dan inilah yang kemudian ditutupi oleh ragam bahasa lisan. Karena ia akan selalu sama saat dibaca oleh siapapun.

Ketiga, bahasa lisan melibatkan emosional. Dalm artian cara pengucapan, cara bersikap, nada bicara, yang bisa diinterpretasikan lain, oleh yang mendengarkan. Bahasa lisan juga tidak dapat diedit berulang-ulang, seperti halnya bahasa tulis, untuk menghindari perasaan tersinggung dari orang lain.

Oleh karena itu pengalaman kemarin menjadi pelajaran yang sangat berharga. Walaupun aku sangat menyesalinya. Aku berusaha menjelaskan dengan niat baik, tanpa pretensi apapun, ternyata telah disalahartikan. Ya sudahlah, setiap langkah adalah pembelajaran. Dan aku akan menjadikan ini sebagai evaluasi untuk ke depan.


Yogyakarta, 131106

Wednesday, November 08, 2006

Master Ini Untukmu Ibu…

Akhirnya setelah melalui perjuangan yang panjang, melelahkan, dan penuh air mata. Kuliah masterku selesai sudah. Tanggal 6 November, sekitar pukul lima sore, aku telah dinyatakan lulus dari MM UGM.

Apabila aku mengingat kembali rangkaian proses menuju itu, aku hanya dapat mengatakan ini lebih dramatis dari sekedar telenovela. Perjalanan dimulai ketika aku lulus S1, dengan kebimbangan antara kuliah lagi atau mencari kerja???

Saat itu ibuku menginginkan aku bekerja terlebih dahulu. Sementara Bapakku ingin aku segera sekolah lagi. Jauh dalam hati kecilku, aku memang ingin kuliah lagi, tapi dengan beasiswa. Karena aku kasihan bila haruis dibiayai S2 yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Akhirnya setelah terombang-ambing hampir setahun. Akhirnya aku tiba pada satu ujung, aku kuliah lagi di MM UGM dengan beasiswa. Ini menjadi jalan tengah yang paling elegan. Saat itu ibuku sedang sakit parah, ia tak ingin aku kuliah jauh-jauh. Di sisi lain, ini sesuai dengan harapanku dan Bapakku.

Ternyata awal kuliah bukan hal yang mudah. Aku harus menyesuaikan dengan lingkungan baru. Masyarakat yang rigid, konservatif membuat aku merasa frustasi. Ini masih pula ditambah ibuku yang masuk rumah sakit hampir sebulan sekali, sejak April 2005 hingga sekitar bulan Juli 2005. April 2005 adalah awal aku kuliah di MM UGM.

Drama itu berlanjut lagi, ketika beberapa hari menjalang ujian trimester pertama ibuku bukan hanya kambuh, tapi sekarat dalam keadaan koma beberapa hari. Sangat beruntung ibuku sempat siuman, dan nampak sehat, dua hari menjalang ujian dimulai.

Namun itu tak bertahan lama, dua minggu setelah ujian mid trimester pertama, Ibuku akhirnya menemui ajal. Saat itu adalah hari Jumat, 30 September 2005, sekitar pukul 4 sore. Aku lah menjadi satu-satunya orang yang mendampingi di saat-saat terakhir. Ini sebuah pengalaman yang mengharukan, sekaligus mengerikan.

Aku pun tak bisa berlarut dalam kesedihan. Sehari setelah penguburan ibuku di hari Sabtu. Aku harus kembali ke Yogya, karena Senin aku kuliah, dan maju presentasi kelompok. Walaupun dalam masa duka yang masih mendalam, aku harus bangkit dan mempresentasikan makalah kelompok. Dan tak tanggung-tanggung, hari itu ada dua presentasi.

Hari-hari berikutnya menjadi masa yang juga sulit. Ternyata kehilangan seseorang yang sangat disayangi menguras banyak tenagaku. Aku sempat merasa kehilangan semangat. Hingga seseorang mengingatkanku, bahwa aku masih mempunyai tanggung jawab akan adikku dan bapakku. Inilah yang membuat aku mampu untuk bangkit kembali.

Tantangan kembali datang, ketika idealismeku untuk membuat penelitian tesis yang bagus terhadang oleh biaya dan waktu. Akhirnya aku harus banting stir, mengambil tema yang lebih mudah, dan sekaligus menggunakan metodologi kuantitatif.

FYI, aku paling takut dengan analisis kuantitatif. Karena sudah menjadi rahasia umum di manapun anak HI, paling males dengan itungan, apalagi statistik. Boleh dikatakan, aku buta sama sekali dengan statistik.

Namun demi mengejar tenggat waktu kontrak beasiswa MM UGM, dan juga mengingat orang tuaku sangat berharap aku segera lulus. Aku terima ini sebagai tantangan, dan aku mulai belajar lagi dari nol. Akhirnya tantangan ini bisa aku atasi juga.

Drama ternyata masih berlanjut, saat ditelpon bagian akademik untuk ujian sidang. Aku bukan merasa senang tapi cemas luarrr biasa. Karena aku akan diuji oleh seorang profesor di bidang marketing yang sangat disegani di UGM, bahkan di Indonesia. Beberapa gosip mengatakan, beliau pernah tidak meluluskan tiga orang sekaligus mahasiswa yang diujinya pada saat yang bersamaan.

Di tengah kegalauan itu, hantaman lain ternyata siap menghadang. Aku pulang beberapa hari sebelum sidang untuk menenangkan diri sebelum ujian tesis. Namun yang kudapatkan sebaliknya. Minggu siang tanggal 5 November 2006, tepat pukul 1 siang. Bapakku membawa berita beliau akan menikah tanggal 19 November. What???? Secepat itu, dan tanpa berdiskusi dengan kami anak-anaknya terlebih dahulu???

Setelah itu aku segera pulang ke Yogya dengan sangat linglung. Di jalan, aku memohon agar pernikahan itu ditunda dua bulan saja. Biarkan aku menjadi lebih tenang menghadapi ujian neraka itu,. Namun ternyata itu pun juga tak bisa. Maka aku harus mengghadapi ujian tesis dengan perasaan yang luarrr biasa galau.

Untung adikku, mengingatkanku. Kata-kata terakhir yang diucapkan ibuku menjelang ajal adalah S2, berkali-kali. Yayaya akhirnya aku mencoba berkonsentrasi, dan belajar malam itu. Aku berusaha tidur tidak terlalu malam. Di pagi hari, aku menjadi orang yang berbeda. Aku lupakan semua kemarahan, dan kepedihan yang lalu.

Dan akhirnya kini, aku telah berdiri tegak menjadi seorang master. Ibu kupersembahkan semuanya untukmu. You are my inspiration for all of my life. Semua tragedi ini, aku anggap sebagai tantangan. Aku selalu yakin aku akan bertahan dengan masalah apapun. Aku harus bisa, dan harus…

Ternyata memang benar, segala macam problema yang pernah aku lewati membuat aku semakin tangguh. Masa recovery-ku atas sebuah kesedihan dan depresi menjadi semakin singkat. Bila dulu mungkin bisa berbulan-bulan, maka kini aku bisa menyembuhkannya dalam jangkauan tak lebih dari semalaman. Aku akan terus memperbaiki diri, apapun masalahnya aku akan tampil dengan penuh semangat secepat mungkin. Nothing in this world can stop me...


Yogyakarta, 081106

Friday, November 03, 2006

Fira Basuki, My Another Case Study…

Karena aku emang doyan bergosip, dan emang pengamat perilaku yang detil. Inilah hasil pengamatanku, halahhh. Sebenernya aku sudah sangat lama memprediksinya. Tapi baru beberapa waktu lalu aku mendapatkan konfirmasi. Walaupun suka bergosip, tapi teteup dong harus ada etika jurnalistik kikikik. Btw my way, every body knows Fira Basuki kan??? Dia adalah penulis yang melejit namanya lewat trilogi novel pertamanya, “Jendela-Jendela”, “Pintu”, dan “Atap”.

Back to the topic. Yahhhh jadi beginih, aku mulai melihat ada sesuatu yang berbeda ketika aku membaca kumpulan cerpen Fira Basuki “Perempuan Hujan”, aku udah punya perasaan gak enak, kayaknya dia udah cerai nih ama suaminya. Hal itu makin diperkuat lagi saat aku membaca cerpen lainnya yang aku lupa judulnya. Dan prediksi ini dikonfirmasi oleh adikku, bahwa Fira pernah diundang di salah satu talk show, bersama Djenar, dan diperkenalkan sebagai para Janda hehehe.

Lau gimana aku bisa tahu??? Sangat sepele, aku adalah pemerhati kata pengantar dan ucapan terima kasih dari penulis. Dari situ ketahuanlah, ada yang berbeda, karena di novel triloginya, dan juga novel berikutnya ”Biru”, nama suaminya yang orang Nepal itu selalu disebut. Tapi saat aku membaca dua kumpulan cerpen terakhir, nama itu sudah tak ada (FYI, jeda antara aku membaca novel-novelnya dengan cerpen-cerpen itu memang cukup lama, mungkin ada dalam hitungan tahunan).

Di tambah lagi, di cerpen-cerpen itu, aku melihat ada benang merah yang sama, pasangan yang berselingkuh, dan berakhir dengan perceraian. Ini berulang pada beberapa cerpen dengan bungkus yang berbeda.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku bisa mengendus kehidupan pribadi Sang Penulis. Sebelumnya ada Jamal, aku bisa melihat perubahan dalam kehidupannya, yang tercermin dalam alur novelnya yang berakhir berbeda. Yaitu di novel pertamanya, ”Lousiana-Lousiana”, dan novel berikutnya ”Rakaustarina”.

Yang lain lagi, Dewi Lestari, dari tiga novel Supernova yang ditulisnya, aku bisa mencium fase kehidupan berbeda yang dialaminya. ”Akar”, menurut aku adalah novel termurung dan tergelap diantara ketiganya. Wujud keputusasaannya menghadapi tekanan keluarga saat ia memasuki UP (Usia Panik). Maksudnya seorang wanita yang dikejar umur, tetapi belum juga menemukan pasangannya.

Penulis lain lagi, yang aku bisa melihat kental nuansa kehidupan pribadinya adalah Bagus Takwin, dari novelnya ”Akademos” (u must read it, coz it’s great), dan kumpulan cerpennya ”Bermain-main dengan Cinta”. Aku membaca kehidupan pribadinya. Tapi tampaknya aku gak ingin menuliskannya di sini. Ini kan privasi orang hehehe. Cukup aku sajah yang tahu, jangan dibagi-bagi ahhh. Kan tidak semua hal harus dibagi...



Yogyakarta, 021106

Dunia 3G di Ranah Indonesia

Mungkin udah pada tahu kan, sekarang lagi gegap gempita dunia telekomunikasi diperkenalkan dengan 3G, dimana kita bukan hanya berkomunikasi lewat HP dengan suara tapi juga gambar sekaligus, dengan kecepatan yang luar biasa.

Ada beberapa fitur yang ditawarkan oleh teknologi ini, misalnya video call, streaming video clip, streaming siaran televisi, dan streaming berbagai hal lainnya. Yang paling menarik menurut aku justru gimana kita bisa learning from the future. Kira-kira fitur apa sih yang akan menjadi tren, diantara berbagai fitur yang ditawarkan itu???

Kalo aku kok melihat ke depan yang akan paling banyak diminati konsumen Indonesia adalah video call. Kenapa??? Simple saja, orang Indonesia itu paling doyan ngerumpi. Pelajaran sosiologi jelas mengatakan, kita itu termasuk dalam masyarakat gemeinschaft, yang menempatkan kebersamaan sebagai hal yang utama. Dengan video call, maka ngerumpi akan menjadi lebih nyata. Kita bisa saling menatap lawan bicara.

Alasan lain, coba kita tengok kebelakang kita kan tidak melompat begitu saja menuju 3G, tapi sebelumnya ada teknologi yang namanya MMS. Tapi apa kabar MMS??? Orang Indonesia merespon dengan adem ayem aja fitur ini. MMS aku piker gatot alias gagal total karena ini tidak memberikan nilai tambah apapun pada kebiasaan kita ngerumpi…

Argumen lain, melihat sejarah perkembangan teknologi yang diadaptasi bangsa Indonesia, yang paling cepat adalah hal-hal yang paling mendukung kita untuk berkomunikasi, dan memuaskan hobi rumpi hehehe

Lihatlah teknologi internet, berdasarkan survei di Amerika atau Eropa paling banyak digunakan untuk browsing. Tapi gimana dengan Indonesia??? Yap betul sekali, pengguna terbesar adalah untuk chatting dan berkirim e-mail.

Tidak usah jauh-jauh di kampus MM UGM, rata-rata mereka menggunakan internet paling banyak untuk Yahoo Messenger, atau membuka halaman Friendster, termasu aku hehehe. Kita memang bangsa yang doyan ngobrol. Jadi apapun teknologinya, yang membuat lebih nyaman dan enjoy buat ngobrol maka akan diterima dengan cepat. Kalo tidak, ya jangan harap berkembang…


Yogyakarta, 021106

Monday, October 30, 2006

Prasangka…

Masih satu rangkaian dengan tulisan sebelumnya. Tulisan ini juga terinspirasi oleh film yaitu ”X-Men”, yang episode pertama pula hehehe. Basi banget gak sih??? Aku memang jarang nonton film, karena nonton itu kalo bener-bener punya waktu luang. Biasanya aku lebih suka baca dari pada nonton. Jadi kalo sekali nonton kadang bisa borong beberapa film sekaligus.

Anyway, yang paling menarik dari film X-Men apalagi kalo bukan soal prasangka. Prasangka itu memang jahat luarrr biasa. Karena prasangka seringkali memicu terjadinya perang. Karena prasangka sering kali konflik berawal.

Pertanyaannya kemudian, mengapa muncul prasangka??? Dan kedua, apakah prasangka bisa dimusnahkan dari muka bumi??? Gak nyangka, akhirnya aku mengerucut membahas ini. Karena sebelumnya ada begitu banyak ide yang berseliweran, akan dibawa kemana arah tulisan ini.

Pertama, mengapa prasangka muncul. Aku pikir karena kita tanpa sadar dididik untuk selalu curiga. Kita selalu curiga dengan sesuatu yang baru, curiga dengan orang baru, curiga dengan orang yang mempunyai kemampuan lebih, curiga dengan sesuatu yang berbeda dari yang kita yakini. Semuanya dibungkus dengan dalih kewaspadaan.

Hingga titik tertentu aku setuju bahwa kita memang perlu waspada. Tapi apa iya kemudian kewaspadaan itu harus berlebihan, sehingga memunculkan reaksi yang kadang tak terkendali???

Lalu bagaimana memusnahkannya dari muka bumi. Ya seperti yang aku bilang. Mulailah dari diri kita sendiri. Belajarlah dari hal kecil, misalnya menghargai orang lain yang mempunyai keyakinan atau pandangan yang berbeda. Cobalah untuk memahami, bukan langsung memberikan penilaian.

Atau beranilah mengambil risiko mencoba sesuatu yang baru. Karena dengan berani mencoba, kita akan menjadi lebih terbuka pemikirannya. Dan kedua menurunkan intensitas kecurigaan pada sesuatu. Sungguh sayang kan, bila konflik terjadi hanya karena prasangka, bukan karena keadaan sebenarnya.

Kadang banyak hal kecil yang membuat kita terjebak dalam prasangka. Aku sendiri mengakui tidak imun akan hal itu. Tapi aku berusaha menyadari, dan memperbaiki diri as best I can. Dengan begitu paling tidak aku menyumbangkan sesuatu bagi dunia yang lebih damai.


Yogyakarta, 191006

Kamu Ini Kiri atau Kanan???

Judul ini terinspirasi oleh film ”Gie”, yang baru aja aku tonton. Ini merupakan salah satu dialog, dimana Gie ditanya oleh seorang temannya. Dan kemudian aku membayangkan, seandainya aku ditanyakan pertanyaan serupa. Mungkin aku juga bingung akan memberikan jawaban apa.

Karena bagi aku kiri atau kana sih oke aja. Tapi bentar dulu makna kanan sendiri, punya dua makna yang berbeda. Kanan bisa berarti penganut sistem kapitalisme dan liberalisme, atau dapat diartikan sebagai penganut pemahaman politik berdasarkan agama. Dan tampaknya dalam konteks film itu adalah yang kedua. Sementara kiri jelas, ini mengacu pada mereka yang menganut paham sosialisme dan komunisme.

Kalo aku sendiri jelas, tidak pernah simpati dengan orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk tujuan politik. Karena aku selalu percaya Tuhan itu milik semua orang, bukan milik agama tertentu.

Berarti tinggal masalah apakah kapitalis atau sosialis??? Ini jelas sangat membingungkan untuk menjawabnya. Karena ketika kuliah di HI UNPAD, aku sangat katam dengan berbagai buku Sosialis, mulai dari karya Karl Marx dan Engel ”Das Kapital”, dan berbagai pemikiran turunannya seperti Gramsci, dan lebih jauh lagi Postmodernisme.

Di sisi lain, aku juga belajar tentang sistem kapitalisme. Di MM UGM tiap hari yang dicekoki adalah soal modal, dan bagaimana mengembangkannya. Profit, dan bagaimana meraup sebanyak-banyaknya...

Hmm mungkin aku lebih tepat mengatakan bahwa aku berada di tengah-tengah kedua pemikiran itu, dengan tanpa meninggalkan berbagai kearifan lokal ketimuran, dan kejawen tempat dari mana aku berasal.

Karena sejak dulu aku memang tidak suka dengan pandangan ekstrim. Aku pernah bergaul dengan mereka-mereka yang penganut aliran kiri garis keras. Mereka ingin membangun masyarakat sosialis tanpa kelas, yang bagi aku itu utopis. Aku sempat berdebat panjang lebar dengan mereka. Dan akhirnya mereka pun tak mampu meyakinkan aku, bahwa apa yang mereka katakan itu benar. Yah sudah kita jalan dengan pandangan masing-masing.

Finally, I hope you get the point. Pokokna saya mah nyang sedang-sedang sajah…


Yogyakarta, 191006

Wednesday, October 18, 2006

Prestasi….

Sudah cukup lama blog ini tidak di up date, semoga orang-orang yang rutin berkunjung tidak terlalu kecewa. Karena beberapa hari belakangan ini, hmmm jadwalku berasa sangat padat.

Dan beberapa hari ini juga, aku merasa sangat bangga karena berita bagus datang secara beruntun dari teman-temanku. Mereka semua membukukan prestasi-prestasi yang gemilang. Ada yang dapat beasiswa ke Australia, ada yang memenangkan kompetisi tingkat nasional, ada juga yang mendapat pekerjaan baru yang lebih baik.

Entah mengapa, setiap kali mendengar prestasi teman-temanku, aku merasa terharu. Sepertinya yang berprestasi itu aku sendiri hehehe. Padahal as you know belakangan ini tampaknya aku lagi paceklik prestasi.

Yang jelas prestasi teman-temanku itu menjadi pemacu semangat baru buat aku, agar lebih banyak berbuat. Kemenangan mereka membuat aku yakin, bahwa semua bisa dicapai asal kita mau berusaha.

Rentetan prestasi itu seakan mengubur kebosananku dengan urusan tesis yang mengapa hingga kini, belum juga di acc, dan masih saja revisi. Yahhh, tapi ini adalah saatnya untuk menguji kesabaran. Di tengah badan yang lemas karena puasa, dan aku harus bolak-balik kampus FE dan MM, tapi tetap harus semangat... Karena semuanya tak akan selesai hanya dengan mengeluh, bukankah begitu???

Makasih buat semua teman-temanku karena, tanpa kalian aku hanyalah manusia tanpa semangat. Dengan apa yang kalian lakukan, tanpa disadari telah memberikan inspirasi bagiku untuk lebih bersemangat...

Terima kasih Tuhan, coz You give me a lot of great friends, so I can benchmark what I have done with what they have done. I know there are many things that I missing, but I will try hard to fulfil all of that. Hopefully I can.

Yogyakarta, 171006

Saturday, October 07, 2006

Masa Transisi…

Aku membayangkan kehidupan ini seperti menaiki sebuah sampan. Aku melayari lautan dengan sebuah sampan yang dalam jangka tertentu kenyamanan itu terusik karena harus berganti sampan. Sampan yang digunakan tentu saja suatu saat akan aus, lalu ada tiga pilihan. Apakah akan tetap pada sampan itu??? Berpindah pada sampan lain, yang sama besarnya??? Atau berpindah pada sampan yang lebih besar???

Jelas ini bukan perkara mudah. Bila kita memilih tetap di sampan yang membuat kita merasa nyaman, ini namanya hanya kenikmatan sementara. Karena suatu saat pasti sampan itu tenggelam juga. Suatu saat nanti pasti kita akan dipaksa untuk berpindah, atau akan tenggelam bersamanya bila tetap nekat bertahan.

Atau memilih yang kedua, berpindah ke sampan yang sejenis . Ya ini mungkin pilihan yang juga aman. Tapi buat aku, masak iya dalam hidup kita akan stagnan pada hal-hal yang sama???

Kalo aku akan memilih pilihan ketiga, ancang-ancang pindah ke sampan yang lebih besar. Walaupun tentunya ini bukan perkara mudah. Hanya ada terlalu sedikit sampan, untuk begitu banyak peminat.

Mau tidak mau aku harus bersaing, tanpa kepastian. Ibarat aku harus melompat dari sampanku yang nyaman, berenang-renang mencari sampan yang baru. Memang peralihan itu jarang mulus-mulus aja, bak dongeng.

Kadang aku harus berenang-renang kesana kemari tanpa kejelasan. Kadang aku lelah, dan ingin kembali ke sampanku sebelumnya, yang lebih nyaman. Dalam keadaan seperti ini, mungkin aku linglung, lelah, sedih, seakan tanpa harapan. Tapi aku selalu disiplin pada diri sendiri untuk ”never look back”.

Segala kemenangan, prestasi di masa lalu, itu tak ada artinya. Karena aku hidup untuk hari esok. Untuk ini aku banyak belajar dari filosofi Sampoerna, mereka menyimpan semua penghargaan yang diperoleh di sebuah museum. Karena tidak ingin mabuk oleh prestasi masa lalu, yang ”hanyalah” sejarah, bukan masa depan.

Dan tahukah, kalo saat ini aku sedang menghadapi masa transisi itu. Sebuah masa tanpa kejelasan. Di mana mau tak mau harus terjun ke lautan bebas. Dan berenang menuju sampan yang lebih besar, yang akan membawaku berlayar menuju apa yang aku impikan.

Aku harus berenang-renang lagi, fokus pada sampan mana yang aku tuju. Ini menjadi lebih sulit dikarenakan sumber daya yang aku miliki sangat terbatas. Tak ada ruang untu banyak coba-coba sana-sini, kalo tidak aku akan kehabisan amunisi sebelum sampai pada sampan yang dituju, Maka tak ada pilihan lain, aku harus lebih kreatif dan jeli menggunakan kesempatan dan keadaan agar aku bisa segera menemukan sampanku yang baru.

There always a hope, for the one who can proof that he/she deserve for it…


Yogyakarta, 071006

Friday, October 06, 2006

Sejarah Dan Kekuasaan

Seorang teman di milis HI UNPAD 99, mengingatkan bawa hari ini adalah 30 September??? Tiga puluh September saat ini sepertinya tanpa makna, tapi coba bayangkan tanggal ini di era sebelum tahun 1998. Maka semua orang akan diingatkan dengan hari sacral tentang pengkhianatan PKI, dan film yang wajib ditonton adalalah “Pengkhianatan G30S/PKI. Film wajib tahunan yang berdarah-darah, dan menunjukkan betapa kejamnya PKI.

Aku masih mengingatnya saat pertama kali menonton fil itu, saat itu aku masih sangat kecil. Film itu sungguh memberi efek menakutkan. Aku sampe gak bisa tidur semalaman. Dan aku masih saja merasa perlu menontonnya beberapa tahun berikutnya. Untuk sekedar ikut mengutuk PKI, yang tampaknya sangat kejam (maklumlah saat itu aku masih begitu hijaunya).

Lalu kemana gema semua itu??? Tampaknya seperti lenyap ditelan bumi. Dan nampaknya sejarah bangsa ini sedang direvisi. Kok bisa??? Jelas bisa, karena telah terjadi pergantian penguasa, sehingga sejarah pun bisa diubah.

Masih ingat juga kan kontroversi buku pelajaran sejarah Jepang, yang diprotes oleh Korea Selatan dan China karena buku sejarah itu dianggap tidak obyektif dalam melihat sejarah agresi Jepang ke negara-negara Asia pada Perang Dunia II, yang menimbulkan luka yang sangat mendalam bagi kedua negara tersebut.

Pertanyaannya kemudian benarkah sejarah itu tunggal??? Benarkah sejarah itu obyektif??? Yaaa jelas gitu lohhh, sejarah itu sangat subyektif. Seperti judul tulisan ini, sejarah itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa, dan yang menang.

Memang benar, sejarah itu untaian peristiwa. Tapi peristiwa itu kan harus diinterpretasi, untuk menentukan siapa yang dianggap pahlawan dan pecundang, dan ini sangat ditentukan oleh siapa pemenang dan penguasa saat itu.

Jadi aku hingga kini, masih berpegang pada pemikiran postmodernisme. Bahwa sejarah itu milik penguasa. Mereka yang menentukan jalannya sejarah. Bila penguasa berganti, sangat mungkin alur sejarah berganti. Lihat saja kasus 30 September...

Lalu gimana dengan pemikiran positivisme yang melihat sejarah itu linier dan obyektif, karena hanyalah rangkaian peristiwa bisu??? Nanya ke aku??? Hanya satu komentar ”ke laut aja” kikikik


Yogyakarta, 300906

Brondongisme…

Para brondong tampaknya sekarang banyak diincar, secara semakin banyak entah para lelaki atau perempuan yang doyan dengan brondong. Lihat saja fenomena belakangan ini, Rency Milano (seorang bintang sinetron yang haying eksis dengan bikin sensasi. Dia adalah kaka kandung dari Elma Theana) yang menikah dengan seorang pria yang jauh lebih muda. Yang lebih baru adalah kisah Yusril Ihza Mahendra (yang mentri itu lhooo) yang menikah dengan wanita berusia 22 tahun, yang lebih pantas jadi anaknya.

Sebenarnya kalo seorang pria menikah dengan wanita yang jauh lebih muda itu hal biasa. Namun yang menjadi tak biasa para wanita pun memuja pria-pria alias para brondong. Sekarang tidak aneh lagi, bila banyak para wanita yang menikah dengan pria lebih muda. Padahal beberapa tahun yang lalu, ini tampaknya sesuatu yang tabu.

Para wanita setengah baya saat ini juga tidak malu-malu lagi untuk mengungkapkan ketertarikannya pada para brondong. Dimana-mana memang yang masih muda emang lebih enak hehehe.

Tapi di sini aku tak ingin melihat dari sudut emansipasi wanita, atau wanita yang semakin mempunyai power karena semakin banyaknya wanita yang bekerja dan mempunyai penghasilan bahkan lebih tinggi dari pria, sehingga mereka boleh juga dong ikut menikmati brondong kikikik.

Aku justru ingin melihatnya dari sisi pemasaran, secara aku akan terjun ke dunia ini. Dari sisi ini aku melihat adanya pemujaan yang makin terang-terangan akan kemudaan, dan sesuatu yang membuat seseorang tampak lebih muda.

Menurut aku generasi terdahulu, tidak terlalu memuja kemudaan, karena semakin berumur dan tua maka derajat dan kekuasaannya semakin besar. Karena budaya Timur yang selalu menganggap orang tua harus dihormati. Namun seiring perkembangan zaman, dan interaksi global tampaknya pandangan ini mulai bergeser.

Fenomena perubahan sosial akan pemujaan kemudaan mungkin belum banyak tercium, karena tentunya konsumen ini gak akan ngaku. Walaupun ini tak sepenuhnya fenomena baru. Di AS, generasi Baby Boomers yang menua, juga berusaha terlihat lebih muda dengan berbagai kosmetik dan mungkin bedah plastik untuk membuat mereka tampak lebih muda.

Aku pikir ini saatnya bagi pemasar untuk mendekati emosional konsumen dari sisi ini. Dan produk yang bisa ditawarkan tidak harus berupa kosmetik. Pokoknya produk-produk yang mengacu paada segmen paruh baya, tampaknya bisa menggunakan pendekatan ini. Walaupun tentunya dengan tidak secara sadis mengatakan bahwa ini untuk membuat mereka terlihat lebih muda. Mana ada sih yang mau dianggap tua??? Mana ada yang ingin diingatkan dengan umurnya???

Tapi sebagai pemasar tentunya lebih cerdik untuk bisa mengkomunikasikan secara implisit tapi teteup ”nendang”...

Yogyakarta, 30 September 2006

Saturday, September 30, 2006

Mendadak Blog…

Lucu juga membaca blog seorang teman yang akhirnya terseret “arus” untuk ikut bikin blog. Di tulisan pembuka blognya, ia menulis soal mengapa akhirnya ia menulis blog. Pada awalnya dia memandang sebelah mata soal “perblogan” ini karena dianggap hanya penyaluran dari orang-orang yang ingin di dengar (pernyataan ini memang tidak salah).

Lalu di akhir, dia memberikan pembelaan mengapa akhirnya ikut bikin blog juga. Katanya dia mulai menyadari membuat blog, bisa jadi bagian dari “menjual diri”, agar orang lain tahu bagaimana kualitas diri kita.

Baru tahu dia, batinku dalam hati, kikikik. Karena sejak aku masuk MM UGM, mulai berpikir bahwa blog bisa menjadi bagian dari proses untuk mempromosikan diri sendiri (walaupun aku telah menulis blog sebelum masuk di MM). Dari blog ini, aku belajar bagaimana menjual blog ini, agar orang mau membacanya. Lalu lebih lanjut lagi, gimana caranya agar orang mau kembali, lagi, dan lagi. Bukankah itu inti dari pemasaran yang aku pelajari di kampus???

Blog ini juga mengajarkan aku untuk tetap konsisten meng-update, karena aku akan mengecewakan orang-orang yang menjadi pelanggan tetap pembaca blog ini, bila jarang di up date. Di sini aku belajar untuk menjadi customer oriented.

Di samping itu blog mengajarkanku untuk bisa mengeluarkan pendapat, tanpa menyinggung perasaan orang lain. Di blog kita bebas untuk mengemukakan pendapat, tapi kan bisa diedit lagi, lagi dan lagi. Jadi kita bisa menetapkan standar kepantasan menurut ukuran kita tentunya. Karena kepantasan itu kan sangat normatif.

Blog juga mengajarkan aku untuk lebih rajin mengarsipkan berbagai peristiwa, walaupun itu terbatas pada pengalaman pribadi. Tapi paling tidak ini akan aku bawa ke banyak hal lainnya. Katanya orang Indonesia itu kan paling lemah soal pengarsipan. Kenapa tidak aku memulai dari diri sendiri???

Ya akhir kata, aku akan sangat mendukung teman-teman yang mau meluangkan waktunya untuk membuat blog, dan menulis. Karena itu bukanlah hal mudah bagi bangsa kita yang terbiasa dengan budaya lisan.

Semoga akan semakin banyak manusia Indonesia, yang mendokumentasikan pengalaman dan pemikirannya dalam blog...


Yogyakarta, 290906

Still A Long Journey To Be A Leader

Yayaya hari ini, akhirnya tugasku sebagai ketua Smart Corner Club MM UGM berakhir. Ini perlu dicatat, karena ini adalah pertama kalinya aku diberi kepercayaan memimpin sebuah organisasi. Dan ternyata aku merasa banyak hal yang kurang memuaskan, dari cara aku memimpin.

Aku baru menyadari, ternyata, aku memang hanya pintar dalam konseptual. Ketika ini menginjak pada apa yang disebut tindakan nyata. Aku ternyata begitu gagap dan canggung. Ini menjadi catatan paling penting dari pengalamanku sebagai ketua. Dan ini menjadi prioritas utama untuk aku benahi.

Entahlah, selama kepemimpinan aku yang delapan bulan ini. Aku merasa banyak kekurangan kecil disana-sini hehehe. Aku merasa sebagai seorang pemimpin aku masih lemah dalam hal koordinasi. Maklumlah aku kan Si Mr. Perfeksionis

Aku juga tampaknya tidak terlalu pandai menangani diri, dan menanggulangi keadaan di saat-saat krisis dan penting. Entahlah apa yang dipersepsikan orang lain soal kepemimpinan aku. Jangan-jangan lebih parah lagi hihihi.

Tapi aku merasa ini adalah bagian dari proses yang sangat berharga. Aku belajar langsung di lapangan gimana sih mengendalikan orang. Yang ternyata emang hmmm sulit minta ampun.

Dan semoga aku belajar banyak dari kesalahan ini. Semoga yang pertama ini, bisa menjadi modal bagi diriku untuk menjadi pemimpin yang lebih baik di masa mendatang. Karena ke depan tanggung jawab yang mungkin akan aku emban lebih besar lagi...

Untuk teman-teman yang telah bekerjasama dengan aku selama ini. Aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Aku yakin tak akan bisa berbuat apapun tanpa kalian semua...

Yogyakarta, 290906

Friday, September 29, 2006

Masih Ada Kereta Yang Lewat…

Hari ini merupakan hari yang lumayan shocking, karena ternyata teman-teman yang barengan bimbingan tesis pada dosen yang sama, besok sudah ujian??? Padahal kita baru aja bimbingan bareng hari jumat, seminggu lalu, hmmm hanya gara-gara malas bimbingan senin kemarin beginilah jadinya hiks hiks.

Sempat merasa bete, dan mikir coba aku gak males mengerjakan analisis data??? Dan ikut bimbingan Senin kemarin??? Pastinya Jumat besok, aku sudah resmi MM. Dan November bisa wisuda. Apa mo dikata, sidang setelah tanggal itu berarti aku hanya bisa berharap wisuda Januari.

Yang agak sedikit menghibur, mereka yang ujian besok itu semuanya senior dua angkatan di atasku. Tapi itu bukan pembelaan yang tak beralasan, alasan sebenarnya aku mulai jenuh, dan kehilangan momentum untuk mengerjakan tesis.

Untung saja, berita itu seperti menjadi pemicu baru agar semangatku kembali bergelora, akibat kejenuhan-kejenuhan ini. Di samping itu ada hikmah lain dari kejadian ini.

Aku masih bisa ikutan lomba karya tulis ilmiah mahasiswa MM se-Indonesia. Di mana salah satu syaratnya belum diwisuda pada saat lomba di pertengahan November mendatang….

Lalu di malam hari dapet lagi info, kalo Lomba Trust By Danone tahun 2007 segera akan dimulai. What Amazing…, aku merasa udah kehilangan kesempatan yang tak mungkin datang kembali, setelah kegagalan yang menyakitkan awal tahun ini, dengan kompetisi yang sama.

Kali ini aku akan mempersiapkan tim yang lebih baik. Aku harap paling tidak timku bisa ikut bermain ke Jakarta. Aku sangat belajar dari kesalahan yang lalu. Hmmm ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan kedua, di saat-saat terakhir masa studiku di MM. I hope both competitions will be a sweet memory of farewell competition when I am in MM UGM.

Tahun ini adalah tahun yang paling paceklik dalam karir aku beberapa tahun belakangan ini… belum ada satu pun prestasi yang aku torehkan. Padahal tahun bentar lagi berganti. Tak ada yang memaksakku sihhhh, tapi kadang aku memang sangat masokis pada diriu sendiri hehehe.

Semoga, di saat-saat terakhir aku masih bisa berbuat sesuatu. I hope much…




Yogyakarta, 280906

Wednesday, September 20, 2006

Evolusi Dalam Tiga Fase…

Tak terasa setahun sudah ibuku meninggal, ditandai 14 September kemarin diadakan selamatan satu tahun meninggalnya beliau. Satu tahun sepertinya menjadi perjalanan waktu yang teramat singkat. Karena aku tak pernah merasa ibuku telah tiada, aku merasa beliau selalu ada di sampingku.

Saat ini aku telah memasuki fase ketiga, dari evolusi penerimaanku atas meninggalnya beliau. Fase pertama, di mingu-minggu awal setelah beliau meninggal. Aku tak merasa dia telah tiada. Aku hanya berpikir, ia sedang keluar kota, dan akan segera kembali. Di fase ini, aku belum terlalu merasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan kami.

Lalu fase kedua, dalam bulan pertama hingga bulan keempat, dimana aku seperti baru siuman dari ketidaksadaran bahwa ibuku ternyata emang sudah gak ada untuk selama-lamanya Masa yang sangat sulit, karena aku sering dikejar berbagai mimpi buruk.

Masa dimana aku sering menerawang jauh, apa gunanya kehidupanku tanpa Ibu. Masa dimana aroma sentimental begitu menggebu-gebu menggerayangi pemikiranku. Aku seperti kehilangan orientasi, masihkah sesuatu yang kulakukan akan berguna??? Karena semua yang aku lakukan, hanya ingin kupersembahkan untuk Ayah dan Ibu, yang selama ini telah mendidik dan membesarkanku. Ketika salah satunya hilang, apakah itu masih berguna???

Aku bersyukur masa sulit itu akhirnya bisa kulalui setelah aku bertemu dengan seseorang. Dia mengatakan bahwa aku masih bisa melakukan sesuatu untuk ibu, dengan memenuhi harapan-harapannya, dan pesan-pesannya selama ia masih hidup.

Inilah fase baru dalam kehidupanku menghadapi realita. Aku bangkit menjadi diriku yang berbeda lagi. Aku merasa ibuku selalu mendampingiku di manapun aku berada. Dia memang tak bisa lagi kulihat dan kusentuh. Tapi kehadirannya selalu kurasakan dalam jiwaku. Dia selalu menemaniku kemana pun aku pergi.

So aku tak pernah merasa ibuku telah tiada, aku hanya merasa jasadnya saja yang telah tiada. Aku sering kali masih bertemu dengannya dalam mimpi. Mimpi yang justru kunanti, bukan lagi mimpi buruk yang membuatku tergagap saat bangun seperti dulu.

Saat ini aku merasa tak pernah kehilangan ibuku. Ia akan selalu ada saat aku merasa sedih. Dan ia selalu disampingku saat-saat aku merayakan sebuah kemenangan. Sungguh sayang memang ia tak bisa menikmati secara langsung makna kesuksesan yang aku capai. Tapi aku yakin, dia akan tetap tersenyum di sampingku. Pada setiap momen-momen penting itu.

Mom, ur soul will never die in my heart….


Yogyakarta, 200906

Tuesday, September 19, 2006

Mendadak Dangdut, Mendadak Indonesia

Belakangan ini lagu dangdut “Jablai” dan “SMS” lagi naik daun bangettt. Bayangkan saja, aku makan di warung, rumah depannya nyetel lagu sms keras banget ampe se-RT kedengeran. Temen-temenku di MM UGM sedang heboh bertukar MP3 Jablai dan SMS. Saat menulis ini pun, aku menggunakan musik latar SMS dan Jablai hehehe, biar lebih menghayati.

Aku pikir ini fenomena yang menarik. Bayangkan saja, lagu dangdut yang dulu dianggap lagu kelas pinggiran, sekarang telah menjadi bagian dari kehidupan semua masyarakat. Mulai dari kalangan bawah hingga kelas atas. Semua orang ”mendadak mendangdut ria”. Walaupun beberapa orang masih agak malu-malu, tapi banyak yang berpikir gak ada yang salah dengan ini semua.

Aku sendiri dari dulu tidak mengharamkan lagu dangdut, walaupun tidak semua lagu dangdut aku suka. Hanya beberapa lagu yang unik aja yang aku suka. Namun perkembangan belakangan ini semakin menggembirakan. Karena masyarakat kita telah bisa menerima dangdut sebagai bagian dirinya. Ini aku interpretasikan sebagai penerimaan identitas dan kebanggaan diri sebagai orang Indonesia.

Karena terkadang aku merasa prihatin dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin ke sini semakin kebarat-baratan. Dan merasa gak keren kalo mempelajari budaya sendiri. Aku berharap melalui dangdut ini, kita lebih menyadari lagi identitas kita sebagai sebuah bangsa. Walaupun perjalanan ini masih sangat panjang.

Tapi dengan Dangdut kita telah membuat awal yang tepat.....


Yogyakarta, 160906

Brand Missionary

Aku tidak tahu apakah fenomena yang aku deskripsikan bener atau tidak dengan konsep brand missionary. Secara teori brand missionary didefinisikan sebagai konsumen yang secara sukarela menjadi penyebar dan pembela merek tertentu.

Ceritanya beberapa hari yang lalu aku mengantar adikku wisuda di UNS Solo. Dan saat membeli sesuatu di Kopma UNS, aku mengamati antrian di depanku yang ternyata sedang membeli stiker bertuliskan “Hugo’s Café”.

Hmmm bayangkan seseorang rela membeli sebuah stiker seharga seribu rupiah untuk sebuah merek. Dan stiker itu dibeli di suatu tempat yang tak ada hubungannya dengan Hugo’s. Dan setahu aku, Hugo’s itu tidak ada di Solo, adanya di Yogya.

Jadi membayangkan alangkah enaknya bila mempunyai suatu merek yang sangat dikenal dan dicintai seperti ini. Karena aku juga sering mengamati, banyak sekali mobil-mobil yang berseliweran di Solo dan Yogya memasang stiker ini. Pemilik Hugo’s tampaknya tak perlu bersusah payah untuk mempromosikan produknya, karena para pecinta Hugo’s telah mempromosikannya secara sukarela, dan yang terpenting gratissss.

Pertanyaan berikutnya, kok bisa??? Menurut aku sih alasan paling kuat adalah Hugo’s mampu menghubungkan citranya dengan predikat sebagai anak gaul. Mereka-mereka yang pernah ke Hugo’s layak menyandang predikat gaul.

Sehingga orang-orang berlomba memasang stiker Hugo’s di mobil dan di manapun untuk menunjukkan pada teman-teman dan orang-orang, kalo mereka termasuk anak gaul.

Bahkan mungkin beberapa orang belum pernah ke sana, misalnya yang membeli stiker tadi (ini hanya asumsi). Tapi dia juga ingin diakui sebagai komunitas gaul. Maka dia rela membeli stiker seharga seribu itu untuk memperoleh pengakuan.

Dunia pemasaran sebenarnya bermain-main dengan persepsi dan pencitraan. Pinter-pinternya kita aja menghubungkan merek, dengan hal tertentu yang mampu mengaduk-ngaduk emosi konsumen. Maka konsumen akan menjadi pembela utama merek kita pada orang lain.


Yogyakarta, 160906

Thursday, September 07, 2006

“Mereka Tidak Sebaik yang Mereka Kira, Tapi Punya Keyakinan untuk Mengejar Hal-Hal Besar”

Pendapat Goldsmith ini dimuat di majalah Business Week edisi terbaru, yang membahas tentang karakter para pemenang. Mengapa aku merasa perlu menulisnya, karena aku sangat terpukau dengan pendapat. You know why??? Karena itu gw banget gitu lohhhhh hehehehe. Makanya aku merasa memerlukan untuk menyimpannya dalam HP, dan berjanji akan menulis soal ini.

Intinya, aku sebenarnya tak sehebat yang aku bayangkan jelas bangettt, everybody know it, hihihi. Tapi aku terlalu sombong untuk mengakui aku hanya biasa-biasa saja, ya jadinya aku terus saja mencoba dan mencoba lagi sampe berhasil.

Aku hanya percaya, apabila kita terus mencoba, maka Tuhan pun akan luluh hatinya untuk meluluskan permintaan kita. Dan ternyata dalam laporan BusinessWeek memberitakan hal serupa. Orang-orang yang paling sukses bukanlah orang yang paling pintar dan jenius.

Mereka hanyalah seperti yang dikatakan di atas “Mereka Tidak Sebaik yang Mereka Kira, Tapi Punya Keyakinan untuk Mengejar Hal-Hal Besar”. Mereka orang-orang yang tidak mengenal kata lelah, dan jera, dalam berbagai kegagalan yang menguras energi. Mereka adalah yang tahan banting menghadapi berbagai permasalahan.

Aku merasa mendapatkan pencerahan dan energi baru, ya seperti aku pernah bilang. Ini adalah era terberat dalam hidupku. Tapi aku selalu berjanji pada diri sendiri untuk bertahan, dan selalu bertahan.

Dan semoga suatu saat nanti, aku akan menjadi bagian dari orang-orang yang sukses seperti yang ditulis BusinessWeek. Kalo mereka bisa, kenapa aku tidak??? Mereka manusia, aku juga manusia, pasti semua bisa kalo kita yakin, dan mau berusaha.

Aku harus memenangkan kompetisi ini. Harus, harus, dan harus. Aku yakin semua orang dilahirkan untuk menjadi pemenang di bidangnya masing-masing, tinggal dia mau menggalinya atau tidak. Ini hanya masalah pilihan.

Aku sadar tidak dilahirkan menjadi si jenius yang luar biasa dan dikagumi banyak orang. Tapi aku ingin merangkak sebagai orang biasa yang tahan banting, hingga suatu saat akan keluar sebagai pemenang berbagai kompetisi.

Dan satu hal yang selalu aku ingatkan pada diri sendiri. Seandainya aku sukses nanti. Saat banyak orang mengagumi, mungkinkah aku akan tetap rendah hati??? Apakah hatiku tak akan terbutakan??? Akankah aku berubah menjadi rakus??? Mampukah aku menahan diri???

Aku tahu bagaimana rasanya terlecehkan dan perasaan disakiti lainnya. Apakah aku akan mengulang kesalahan yang sama saat nantinya aku berada di atas??? Semoga akan banyak orang yang mengingatkanku, bila tiba saatnya nanti.

Yogyakarta, 070906

Monday, September 04, 2006

I Just Survive…

Yayaya di tulisan sebelumnya aku menulis, saat ini aku hanya berusaha untuk bertahan. Kata-kata itu memang paling tepat menggambarkan keadaan saat ini.

Karena aku tidak bisa mengharapkan apapun, selain mempertahankan semangat, harapan, impian yang aku miliki. Selain itu, semuanya harus turun standar. Bila kehidupan ibarat sebuah putaran roda, maka aku sedang berada pada titik terbawah.

Aku menurunkan semua standarku tentang apapun. Aku harus rela dengan banyak hal yang mungkin dulu tak akan mau aku gunakan atau lakukan. Padahal aku orang yang sangat perfeksionis, aku hanya mau yang terbaik. Tapi dalam keadaan sekarang ini, aku tak punya banyak pilihan.

Lupakan saja semua kesempurnaan itu. Aku hanya fokus gimana bisa tetap bertahan menghadapi keadaan yang serba sulit saat ini. Di sisi lain aku juga berpikir, kalau aku hanya mempunyai naluri bertahan tanpa melakukan pengembangan, bagaimana aku bisa keluar dari putaran ini???

Karena aku juga tidak mau akan berada dalam lingkaran ini terus-menerus, aku juga tetap harus berjuang untuk keadaan yang lebih baik. Ahhhh ternyata susah juga ya hehehe. Aku harus bertahan pada keadaan yang sulit, di saat yang sama harus tetap melakukan perbaikan seadanya demi memperbaiki keadaan.

So, ini saatnya untuk benar-benar menentukan prioritas. Bagian mana yang perlu dilakukan investasi baik waktu, tenaga, atau uang untuk memutar kembali roda ini agar bergerak lebih cepat. Dan bagian mana yang standarnya harus diturunkan, agar tercipta keseimbangan, mengingat sumber daya yang dimiliki sangat terbatas.

Inilah saatnya aku ditantang menjadi lebih dewasa dan bijak dalam bertindak. Inilah saatnya aku diuji ketahanan dan kesabaranku menghadapi keadaan yang sangat tak bersahabat dan penuh tekanan. Semoga masa-masa ini dapat kulalui dengan gemilang. Hingga suatu saat ketika aku telah melaluinya, aku boleh merasa bangga karena aku mampu melewatinya dengan baik.

Ini bukan semacam prestasi untuk dipamerkan pada orang lain. Namun lebih pada pembelajaran bagi diri sendiri. Sebuah pertarungan untuk menaklukkan diri sendiri. Bukankah kata orang bijak, lebih sulit menaklukkan ego sendiri???


Yogyakarta, 040906

Ketakutan???

Setiap manusia pasti punya masalahnya masing-masing. Walaupun apa yang dianggap besar atau kecil bagi masing-masing orang itu berbeda, tergantung pada persepsi tentang apa yang dianggap penting dan tidak penting.

Namun bagaimana bila kita terjebak dalam suatu masalah dimana seakan-akan pilihan yang bisa diambil sangat terbatas??? Risikonya begitu besar, sementara keadaan sedang sangat tidak bersahabat.

Dan kita tetap harus mengambil keputusan untuk hal ini. Kadang aku berusaha melihatnya sebagai sebuah tantangan. Tapi pada satu titik, terkadang daya tahanku jebol juga untuk menghadapi suatu permasalahan.

Apalagi bila ini menyangkut banyak orang. Menyangkut harapan dan ekspektasi orang lain pada diriku. Aku tak akan pernah tega melihat wajah-wajah kecewa orang-orang yang ada di sekelilingku.

Sementara keadaan hanya memberikan ruang gerak yang sangat sempit. Rasanya ingin marah, dan teriak sejadi-jadinya. Tapi apakah itu akan menyelesaikan masalah??? Apakah ini akan membawaku pada titik terang??? Aku yakin tidak.

Namun aku juga takut dan bingung untuk menghadapi hari esok, bila ternyata sesuram yang diperkirakan. Yang bisa kulakukan hanyalah melakukan berbagai antisipasi, dengan segala daya upaya dan kemampuan yang aku miliki, walaupun itu sangat terbatas.

Aku berusaha keras mengurai benang kusut ini satu per satu dengan penuh kesabaran. Selangkah demi selangkah, aku berusaha menapakinya, tentunya dengan penuh perhitungan. Semoga saja akan ada banyak keajaiban di depan seperti yang lalu.

Karena hanya itulah harapan terakhir yang bisa aku lakukan di tengah pilihan-pilihan sulit, dan terbatas yang aku miliki. Semoga aku mampu bertahan di tengah pusaran kegalauan ini.


Yogyakarta, 040906

Sunday, September 03, 2006

Delegasi Yang Bukan Perkara Mudah

Dulu aku seringkali membaca literatur tentang pentingnya pendelegasian tugas dan wewenang. Aku pun diajarkan tentang betapa susahnya mendelegasikan wewenang, serta mempercayai orang lain, bahwa mereka bisa melakukannya dengan baik.

Dan belakangan ini aku baru menyadarinya (kamana wae atuh??? Udah basi kali ya). Bahwa pendelegasian wewenang bagi seorang pemimpin sangatlah penting. Apalagi mendelegasikan sesuatu yang aku anggap aku bisa melakukannya dengan sangat baik.

Beberapa kali aku mendelegasikan tugas pada orang lain. Dan beberapa kali itu pula, di tengah-tengah kegiatan, seperti ada dorongan dalam diriku untuk mengambil alih tugas itu untuk aku lakukan sendiri.

Namun tentu saja itu hanya dorongan dalam diri. Aku berusaha keras untuk mengontrol diri sendiri, untuk lebih mempercayai orang lain. Tahukah apa yang kupikir pada di saat seperti itu???

Yang terngiang di otakku adalah, ”kamu harusnya melakukan ini dan itu, kamu harusnya mengatakan ini dan itu”. Di saat itu, aku merasa diriku lebih hebat dari yang lain. Aku merasa hasil kerjaku pasti lebih baik dari yang bisa mereka lakukan.

Hmmm bisa dibayangkan kan betapa egoisnya aku sebagai manusia??? Jadi tak salah kalo beberapa orang mengatakan aku mengidap penyakit narsisme akut hehehe. Dan aku merasa kemenangan terbesarku adalah ketika aku bisa menenangkan diri sendiri, dan membiarkan orang lain menyelesaikan tugas dengan baik.

Kini aku baru menyadari, mengapa pendelegasian tugas selalu mendapatkan penekanan dalam berbagai literatur manajemen. Karena memang melakukan sesuatu itu, tak semudah yang dikatakan. Apalagi ini menyangkut ego dan kebanggaan kita sebagai individu.

Individu yang merasa dirinya mampu melakukan dengan baik. Individu yang mendapatkan pujian dari berbagai pihak karena mampu melakukannya dengan sempurna. Sehingga, akan semudah itukah kita merelakan eksistensi dan pujian itu beralih pada orang lain???

Hal ini selalu saja sulit, tapi harus dilakukan. Tanpa menyiapkan regenerasi yang baik, maka kita tidak bisa dianggap berhasil menjadi seorang pemimpin...

Yogyakarta, 280806

Ke Jakarta, Aku Kan Kembali…

Sudah lumayan lama, blog ini tidak di up date. Aku takut semakin lama gak ada posting baru, aku jadi makin malas menulis. Dan itu tentunya akan mengecewakan orang-orang yang setia mengunjungi blog ini.

Jadi, kali ini aku mau cerita soal jalan-jalan ke Jakarta seminggu yang lalu. Jalan-jalan hal yang paling aku suka. Karena aku bisa keluar sejenak dari rutinitas kuliah dan tesis yang kadang bikin jenuh.

Satu hal yang menarik lainnya ketika aku di Jakarta. Aku merasa kembali menjadi diriku yang sebenarnya??? Maksudnya??? Aku merasa menjadi manusia yang bebas. Aku bisa merasakan dinamika dan semangat kompetisi yang menyengat.

Jujur saja, Yogya memang sangat nyaman dan dirindukan banyak orang. Tapi aku merasa Yogya bukan habitat yang tepat buat aku. Bagiku Yogya menawarkan kenyamanan yang justru akan membuat aku tersesat.

Sementara aku tak pernah ingin merasa nyaman dengan sesuatu apapun. Kenyamanan akan membuat aku enggan berubah, kenyamanan membuatku sulit meninggalkan sesuatu. Padahal apa sih yang kekal di dunia??? Bila sesuatu terlalu nyaman, di saat aku harus meninggalkannya, maka akan muncul kesedihan yang mendalam.

Alasan lainnya, Jakarta adalah tempat berkumpul orang-orang terbaik dari seluruh penjuru negeri. Bila aku bisa menaklukkannya, maka aku akan menjadi jajaran manusia terbaik negeri ini.

Dan di Jakarta pula, teman-teman terdekatku telah menunggu. Mereka berharap aku segera berjuang bersama mereka untuk menaklukkan Jakarta, dan melakukan berbagai aktivitas yang norak-norak bergembira bersama hehehe.

Yayaya, aku harap tak akan lama lagi aku akan menghirup udara Jakarta. Aku ingin menjadi bagian dari masyarakat metropolitan dengan segala suka-dukanya. Karena aku menyukai tantangan dan kompetisi. Hidup tanpa kompetisi hanyalah kehambaran. Kecemasan dan ketidakpastian membuat adrenalinku menggelegak, yang akhirnya akan memicuku untuk berbuat lebih banyak lagi, dan lebih baik lagi.


Yogyakarta, 280806

Monday, August 14, 2006

To Be an EO

Syukurlah acara Saturday Jazz Lunch “The Toyota Way” Seminar, telah usai. Setelah beberapa minggu yang panjang harus dilalui. Energi juga terkuras habis untuk memikirkan agar segala sesuatunya berjalan dengan baik. Dan tampaknya semua berjalan dengan sukses, walaupun tentu saja kekurangan kecil masih saja terjadi.

Yang menarik dari semuanya adalah banyak pelajaran yang dipetik dari kegiatan ini. Pertama, aku harus belajar untuk menghadapi ketidakpastian, dan ketidakberaturan. Padahal ini adalah hal yang paling aku tidak sukai. Aku adalah tipikal yang melakukan sesuatunya harus terencana.

Namun sebagai EO ini adalah hal yang tidak terhindarkan. Aku harus bekerjasama dengan berbagai pihak. Dalam kegiatan ini misalnya, bekerjasama dengan penerbit Erlangga, V-Art Gallery Cafe, toko buku Toga Mas, i Radio, pembicara dari MM UGM dan Astra, Blank Design Buro dan berbagai pihak lainnya.

Bisa dibayangkan dalam last minutes ada banyak hal yang mungkin berubah. Dan sebagai EO, aku harus belajar gimana memecahkannya dengan cepat, dan yang terpenting dengan kepala dingin.

Pelajaran kedua, aku harus bekerjasama dengan orang-orang yang mempunyai karakter yang beda-beda. Ada yang sangat emosional, ada yang mempunyai ide besar yang brilian, tetapi lemah pada detil teknis di lapangan. Semuanya serasa begitu kompleks, dan kadang membuat frustasi.

Tapi bagaimanapun aku tidak boleh menyerah. Aku tidak boleh terpancing menjadi emosional. Karena pada saat seperti ini, aku harus menunjukkan peranku sebagai seorang pemimpin. Bukan sebagai pemimpin yang harus tampil di depan. Tapi pemimpin yang fleksibel, mampu menjadi pendengar yang baik, terkadang harus rela disuruh-suruh. It’s okay... kehadiran seorang pemimpin kan bukan harus tersurat, tapi juga tersirat.

Pelajaran lainnya, aku dipaksa untuk multi tasking. Bayangkan di saat aku sibuk untuk mengurus proposal, lalu memasang poster, dan berjualan tiket acara. Aku harus tetap konsisten mengerjakan tesis. Menghubungi dan menunggu dosen, yang jadwalnya juga padat dan susah ditemui.

Belum lagi di saat bersamaan, aku ada panggilan psikotes dari Danone yang dilakukan seharian penuh. Belum selesai psikotes, aku diberitahu berita buruk soal pembicara yang tiba-tiba tidak bisa, sementara poster terlanjur dicetak. Bayangkan betapa padatnya hari-hariku. Thanks God semuanya sudah lewat, dan aku mampu melampauinya dengan baik.

Setiap hal adalah proses, dan aku sedang berproses menjadi lebih baik. Aku tak merasa diri yang terbaik, tapi aku selalu berjanji pada diri sendiri dan orang lain untuk menjadi lebih baik, dalam setiap langkahku…

Yogyakarta, 130806

Saturday, August 12, 2006

The Art of Selling

Beberapa hari belakangan ini aku disibukkan dengan persiapan mengadakan sebuah acara dari Smart Corner Club bekerjasama dengan V-Art Gallery Coffe. Acaranya sendiri, bedah buku “Toyota Way”. Banyak hal yang aku pelajari dari kegiatan ini. Tapi yang paling berkesan adalah, ini kali pertama aku berjualan produk.

Ternyata memang tidak mudah menjual produk. Ada teknik-teknik tertentu untuk bisa meyakinkan orang lain agar mau membeli tiketnya. Tapi aku merasa ini sangat mengasyikkan. Aku telah berkomitmen ingin memasuki dunia pemasaran. Maka ini adalah langkah awal untuk memahami secara langsung dalam dunia nyata, bukan hanya teori, gimana sih memasarkan itu???

Beberapa hal yang aku temukan adalah, tiap orang mempunyai ketertarikan yang berbeda atas sesuatu. Ada yang memang tertarik dengan bukunya. Ada yang tertarik karena tempatnya. Ada yang tertarik karena teman dekatnya juga datang, tak perduli apa acaranya. Ada yang teratrik pengin foto-foto.

Ini berpengaruh pada pendekatan yang berbeda saat membujuk mereka hingga akhirnya mau membeli tiket. Dan aku harus bisa membaca dengan cepat, kira-kira faktor apa yang paling mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan pembelian.

Hal lainnya, ternyata memang tidak mudah meyakinkan orang lain. Aku tahu ini adalah bagian dari kelemahanku. Aku kurang mampu meyakinkan orang lain untuk mendukung pendapatku. Nah di saat inilah ajang yang sangat tepat untuk belajar meyakinkan orang lain, agar mau membeli.

Sejauh ini, hasilnya cukup memuaskan. Walaupun aku merasa seharusnya aku bisa melakukan lebih banyak lagi penjualan. Namanya juga pengalaman pertama, tentunya banyak sekali kekurangan. Tapi aku berjanji untuk selalu belajar agar bisa melakukannya dengan lebih baik lagi, dan lebih baik lagi.

Karena dalam otakku, apabila aku menerjuni sesuatu hal, dan telah memutuskan ini hal yang aku inginkan. Maka aku hanya akan melakukannya untuk mencapai yang terbaik. Aku hanya ingin yang terbaik, tidak nomor dua atau nomor tiga. Aku akan membayar berapapun biaya yang harus aku keluarkan untuk mencapainya.

Ini kan bagian dari proses, sesuatu itu akan menjadi baik bila kita mau membayar proses yang harus dilaluinya...

Yogyakarta, 110806

Good Luck Part 2: Persistency of the Japanese

Ini adalah bagian kedua dari serangkaian tulisan yang dijanjikan tentang serial “Good Luck”. Kali ini aku ingin menggambarkan betapa orang Jepang sangat gigih dalam memperjuangkan mimpi, dan harapannya.

Shinkai, tokok utama dalam serial itu, mengalami kecelakaan sehingga kakinya cedera dan syarafnya putus. Dokter mengatakan ia tidak mungkin lagi menjadi seorang pilot, karena walaupun dia dapat berjalan dengan normal. Penyakitnya bisa kambuh kapan saja, dan ini sangat membahayakan penumpang.

Namun Shinkai tidak pernah menyerah. Sebuah kalimat yang mengharukan ketika ia mengatakan ”Aku akan melakukannya, walaupun semua orang mengatakan itu tidak mungkin”.

Melihat kegigihannya, Dokter memberikan tawaran untuk melakukan operasi menyambung syaraf yang putus. Namun risikonya sangat besar, apabila gagal maka ia tidak akan bisa berjalan selamanya. Dan tingkat keberhasilan operasi ini di bawah sepuluh persen. Dan bisa ditebak, Shinkai tanpa ragu-ragu mengambil risiko itu, demi impiannya untuk kembali menjadi pilot.

Dari sini kita bisa belajar, bagaimana orang-orang Jepang sangat gigih dalam melakukan sesuatu. Mereka pantang menyerah, walaupun dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun. Mereka mempunyai kemauan yang sangat keras, sehingga tak ada satupun yang mampu menghancurkan impian mereka.

Maka jangan heran bila Jepang yang dulunya terisolasi dari dunia luar. Lalu dipaksa membuka diri oleh Barat pada abad 18. Akhirnya mampu bangkit, dari kebodohan dan ketertinggalan mereka melalui Restorasi Meiji. Dan akhirnya lahirlah Jepang yang menjadi raksasa menakutkan pada tahun 1945.

Dan sekali lagi setelah mereka porak-poranda akibat kekalahan dalam Perang Dunia II, mereka mampu bangkit dengan cepat. Dalam waktu kurang dari dua puluh tahun, mereka mampu menunjukkan kembali dirinya sebagai kekuatan yang sangat disegani di dunia.


Yogyakarta, 110806

Tuesday, August 08, 2006

Mengingat Kembali “Pengakuan Pariyem”

Yayaya tentang “Pengakuan Pariyem”. Tiba-tiba aku merasa tertarik untuk mengulasnya, karena aku baru saja melihat buku ini kembali dicetak dan dipajang di rak-rak took buku. Ceritanya beberapa hari yang lalu aku melihatnya di toko buku langganan, dan aku berjanji untuk menulis tentang buku ini di blog.

Yayaya buku ini memang sangat mengesankan, karena aku berhutang banyak hal darinya. Awalan ”yayaya” yang sering kali aku gunakan untuk memulai alinea, terinspirasi dari prosa liris ini. Aku ingat sekali, setiap alinea baru atau bab baru (maaf aku lupa, karena aku membacanya beberapa tahun yang lalu), selalu di awali dengan kalimat ”Yayaya nama saya Maria Magdalena Pariyem”.

Kalimat yang mencerminkan keluguan ini sangat mengesankan buat aku. Prosa liris ini sangat direkomendasikan, bila Anda ingin mengetahui seluk beluk kehidupan orang Jawa.

Linus Suryadi, yang mengarang prosa liris ini. Mencoba mengkritik budaya Jawa, dengan cara Jawa, yang halus, tapi nylekit (bahasa Jawa untuk menyakitkan red). Dari pengakuan seorang Pariyem. Maka Anda akan diajak bertamasya melihat seperti apa sih masyarakat Jawa itu??? Yang terlihat halus, namun menyimpan banyak ironi... Seorang Pariyem yang sangat lugu, baik hati, dan berpikiran positif, sangat khas. Dan aku merasa tokoh ini benar-benar hidup...

Linus menceritakan tentang sistem kasta, pendefinisian manusia tentang dosa, kehidupan masyarakat pedesaan jaman dahulu. Karena aku gak yakin masyarakat di desa masih sempat menonton ketoprak di desa tetangga. Ini kan era televisi, siapa sih yang gak tersihir olehnya???

Pariyem juga mengakui dosanya telah berhubungan dengan anak majikannya, yang tidak dianggapnya sebagai sebuah aib. Tapi lebih kebanggaan karean berhasil merenggut keperjakaan anak Sang Majikan...

Bahasa yang lugu, khas orang desa. Membuat kita tersenyum sekaligus berpikir, betapa mirisnya kehidupan. Lewat sosok Pariyem pula, kita diperkenalkan dengan istilah “Lembu Peteng”. Istilah untuk anak haram yang tidak jelas bapaknya. Biasanya terjadi karena perselingkuhan seorang “priyayi” atau orang terpandang dengan wanita yang derajatnya tidak setara.

Sang wanita diminta untuk tutup mulut agar tidak mengatakan siapa ayah dari anak tersebut, karena ini merupakan aib, dan merusak nama baik Sang Priyayi. Ya kira-kira begitulah sebagian dari isi buku itu yang masih kuingat.

Sebuah buku yang bagus akan selalu meninggalkan sesuatu bagi pembacanya. Dan buku itu selalu menjadi inspirasiku. It’s so nice to know this book.

Yogyakarta, 060806

Between Feeling and Rationality???

Pernahkah sosok seseorang di masa lalu, kembali mengganggu??? Seakan sosoknya hidup kembali, dan mengiang-ngiang mengejarmu??? Rasanya memang aneh, setelah sekian lama, waktu terus berjalan, tapi masih saja membayangkannya. Masih saja akan menemukannya, dalam suatu saat tak terduga.

Aku dulu berpikir ini hanya ada dalam dunia film. Sebuah fantasi tentang romantisme yang hanya berkutat di dunia imajinasi, dan bukan di dunia nyata. Lalu mengapa aku terjebak dalam perasaan serupa??? Apakah aku kebanyakan menonton film??? Ataukah memang selama ini aku tidak jujur pada diri sendiri???

Sempat mengubur dalam sosoknya hingga aku berhasil melupakannya, namun semua itu hanya untuk sesaat. Hingga saat di mana ada stimulus yang membangkitkan memori itu, dan perasaan yang selama ini aku tekan kembali muncul ke permukaa???

Entahlah kadang aku begitu tidak memahami perasaan sendiri. Satu sisi mengatakan, itu hanya kebohongan romantis yang aku bangun atas fantasi. Sosok melankolis yang kadang aku benci.

Di sisi lain, sudut hatiku mengatakan. Someday we will meet again... Suatu waktu di negeri antah berantah, saat itu semuanya telah berbeda. Di saat itu aku dan dia tidak lagi memasang ego... Di saat itu aku dan dia merasa kami selama ini saling kehilangan, dan berusaha mencari sandaran, tapi tak pernah menemukan yang tepat..

Suatu waktu yang aku yakin bukan dalam waktu dekat. Aneh, sekaligus menyebalkan... Kadang aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagian mana dalam diriku yang harus aku percayai??? It’s just a split personality. Fighting between feeling and rationality…

Yogyakarta, 060806

Sunday, August 06, 2006

Good Luck Part I: All About Service Quality…

Seorang teman mengunduh dari internet serial drama Jepang berjudul “Good Luck”. Dia sangat merekomendasikan serial ini untuk ditonton. Ternyata rekomendasi itu memang benar. Serial ini sangat mengesankan, aku merasa perlu untuk menulisnya dalam blog.

Serial ini, bercerita tentang kehidupan para pilot, pramugari, dan orang-orang yang terlibat dalam bisnis penerbangan. Tulisan ini memang sengaja di beri judul Part I karena akan ada beberapa bagian yang direncanakan untuk mengulas serial ini.

Untuk bagian pertama, aku tertarik membahas perusahaan penerbangan Jepang, yang sangat memperhatikan aspek pelayanan pada penumpang. Dalam serial ini, ditunjukkan bagaimana telitinya seorang mekanik memeriksa mesin pesawat. Semua harus sempurna, demi keselamatan penumpang.

Para pramugari pun melakukan simulasi tentang bagaimana menangani penumpang yang mabuk di atas pesawat. Dan bagaimana cara melarangnya, tapi tidak membuat penumpang tersinggung. Semuanya demi keselamatan dan kenyamanan penumpang.

Sungguh... Sebagian dari Anda mungkin berpikir itu kan hanya film??? Tapi aku yakin ini benar, karena prinsip utama manajemen bisnis Jepang adalah konsumen itu Tuhan/Dewa, bukan hanya sekedar Raja.

Ironis sekali membayangkan pelayanan jasa penerbangan di Indonesia, yang kita dengar selalu kecelakaan, dan kecelakaan. Ini jelas menunjukkan bahwa pelayanan pelanggan , hanyalah omong kosong.

Berbagai perusahaan jasa lainnya, yang pernah aku temui juga melakukan hal yang sama. Perlakuan yang buruk pada pelanggan, sehingga aku kapok untuk kembali lagi. Harus diakui perusahaan asing lebih bisa menghargai pelanggan.

Lebih ironis lagi, tesis-tesis di MM UGM sangat banyak mengangkat tema kualitas pelayanan. Lalu kemanakah hasil berbagai penelitian ini, kok tampaknya hilang tak berbekas???

Bila kita mengerti apa pentingnya kualitas pelayanan dalam tataran ide, mengapa dalam tataran praktek berantakan??? Jangan-jangan benar, predikat bangsa kita yang hanya pandai membuat slogan???

Dari serial ini, aku merasa harus memulai memperbaiki dari diri sendiri. Aku berjanji untuk memperlakukan orang lain lebih baik lagi. Kualitas pelayanan kan bukan harus pada tataran perusahaan. Aku bisa memulainya dengan melayani teman-teman, dengan setulus hati.

Ini akan menjadi kebiasaan yang baik, hingga suatu saat, ketika aku mempunyai perusahaan, it has been in my blood. Menumbuhkan sebuah budaya, bukan perkara gampang. Dan aku harus memulainya saat ini juga...

Apapun yang kita lakukan, baik itu memproduksi barang ataupun jasa tetap saja ada unsur jasa di sana, karena kita menyediakan jasa kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Maka aku harus bekerja sepenuh hati demi kepuasan pelanggan. Dan pelanggan akan menghargai kita, dengan sepenuh hati...

Yogyakarta, 050806