Tuesday, December 27, 2005

Belajar Berbeda

Komentar pertama teman-teman sebelum presentasi dan diskusi kelas adalah, “nanti jangan nanya ya”. Lama-kelamaan jadi males juga dengernya. Mengapa tak boleh bertanya? Bukankah presentasi adalah forum untuk berbagi informasi???

Justru kalo aku yang maju presentasi, aku merasa gagal bila tidak ada yang tanya. Berarti aku gagal menghadirkan presentasi yang baik. Mengapa yang lain justru sebaliknya???

Padahal bertanya, bukan untuk menjatuhkan. Bertanya dan memberi komentar, ya demi kemanjuan bersama. Tapi beberapa orang mungkin berpikir, memalukan kalo sampe gak bisa menjawab pertanyaan.Takut nilainya jadi jelek. Takut dianggap kurang persiapan.

Walau mungkin faktor itu ada. Tapi yang paling penting bukan itu. Justru dengan adanya cara pandang yang berbeda, kita kan akan lebih kaya. Toh semua orang juga tak akan mampu mengetahui segalanya. Ada saatnya, orang lain lebih mengerti daripada penyaji di depan. Terus kenapa???

Namun yang terjadi justru, banyak yang reaktif dan defensif. Dengan pembelaan yang terkadang gak lucu sama sekali, dan terkesan dipaksakan.

Atau tipikal kedua, yang selalu merasa paling benar, dan tidak bisa menerima orang lain dengan sudut pandang yang berbeda.

Tipikal ini melihat kebenaran itu tunggal. Kalo mereka merasa apa yang mereka pikir itu benar, maka pandangan lainnya itu salah. Padahal kan oke-oke saja, perbedaan justru membuat kita banyak belajar tentang toleransi dan menghargai.

Aku teringat dengan sebuah presentasi kelompokku. Aku merasa sangat bosan dan bete, hanya karena beberapa orang mempertanyakan hal yang sama. Mereka tak mau menerima sudut pandang kami, meski kami telah memberikan alasan yang kuat.

Kami telah mengatakan, ya... kami menerima sudut pandang Anda. Tapi kelompok kami punya sudut pandang yang lain. Namun tetap saja mereka ngotot, penginnya kami mengubah pendirian kami.

Saat itu, kami tetap kukuh karena memang ada alasan kuat. Dan tidak terebersit dalam benak kalo opini yang lain salah. Tapi beberapa orang tidak siap dengan perbedaan. Lalu bila berpikir lebih jauh lagi, jangan-jangan itu juga penyebab demokrasi di Indonesia hingga saat ini justru membawa petaka???

Atau jangan-jangan aku punya andil menciptakan situasi yang tidak enak dalam kelas. Sesuatu yang mungkin tidak aku sadari. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan. Aku harus adil dalam menilai, bukan hanya menilai orang lain, tapi juga diri sendiri, bukankah begitu???


Yogyakarta, 271205

Wednesday, December 21, 2005

Feminisme Manja, dan Gerakan Emansipasi Pria!!!

Sebenarnya pemikiran ini sudah lama menganggu, tapi mernjadi begitu bersemangat untuk menuliskannya karena beberapa kali melihat iklan Garda Oto. Dan aha.... inilah feminisme sejati, yang tidak cengeng dan mau enaknya sendiri.

Mungkin ada yang belum tahu iklan Garda Oto. Ceritanya, sepasang kekasih mobilnya mogok, lalu Sang Lelaki menelpon Garda Oto yang segera mengirimkan orangnya untuk mengganti ban yang gembosss. Tapi Si Pria berpura-pura dihadapan pacarnya kalo dia yang memperbaiki.

Tapi mungkin jarang yang memperhatikan, kalo diakhir iklan terlihat yang sedang menyetir itu wanitanya. Masak sih??? Iya saja..., soalnya yang laki duduk di bangku sebelah kiri. Kalo gak percaya coba perhatikan lebih detil.

Kalo melihat iklan itu, perubahan sosial masyarakat Indonesia menuju lebih fair. Karena menunjukkan, tak jadi masalah ceweknya yang nyetir, so what gitu loh???

Soalnya selama ini kan wanita menuntut persamaan. Katanya wanita dan pria itu punya hak yang sama. Mereka gak mau kalo dianggap kelas dua. Tapi kalo urusan yang enak-enak, mereka ngakunya “gue kan cewek...”

Misal saja urusan setir-menyetir katanya harus pria yang nyetir, “Aku kan wanita nanti gampang capek”, kemana-mana harus dianterin, katanya “Aku kan wanita takut kalo jalan sendiri”, apa-apa pun merasa harus ldidahulukan hanya karena wanita.

Kalo memang ngaku feminis, ya ndak perlu lagi kayak beginian. Bukannya ini justru menunjukkan wanita itu memang lemah, jadi selalu butuh bantuan lelaki. Bukankah itu justru menodai konsep feminisme yang sedang diperjuangkan???

Atau jangan-jangan masyarakat kita memang ingin mencari jalan tengah seperti biasa, ya feminis ya enggak. Jadi diambil enaknya aja dari keduanya. Makanya aku jadi kepikiran menamakannya feminisme manja ala Indonesia.

Pemikiran ini mulai menganggu, sejak kuliah S1, saat itu aku punya seorang teman yang ngakunya feminis sejati. Ampe skripsinya pun dengan penuh semangat mengangkat tema feminisme. Harus diakui dia memang pintar dan hebat, lawan debat yang tangguh deh.

Tapi yaitu tadi..., ngaku feminis tapi ke kamar mandi pun mesti diantar, takut katanya. My God... what kind of feminism is it??? Dan kalo dikejar soal itu, dia lalu berlindung pada kalimat sakti “Aku kan cewek,” lho kok????

Sekali lagi, kehadiran Garda Oto kayaknya memberikan angin segar dan pemikiran baru, atau memang cerminan masyarakat yang telah berubah??? Bahwa feminisme mengandung banyak konsekuensi, yang terkadang harus melepaskan beberapa hal yang mungkin trerlanjur nyaman bagi para wanita.

Yogyakarta, 211205

Tuesday, December 20, 2005

Mempertanyakan Eksistensi???

Siapa yang tak ingin diakui eksistensinya??? Siapakah yang tak ingin diakui, dan menonjol??? Pertanyaan ini kembali berkecamuk dalam benak. Belakangan ini aku mulai menyadari, ternyata keinginan untuk eksis dan diakui oleh orang lain itu memang melekat pada semua orang.

Ya... ya... aku melihat dari gerak-gerik orang-orang sekitar, dan tersenyum sendiri mengamati tingkah polah masing-masing yang tak pernah mau kalah menunjukkan eksistensinya. Mulai dari yang malu-malu, ampe yang terang-terangan bergaya demi suatu eksistensi. Dan hampir semua dari mereka, tanpa malu berkata, mereka ingin menarik perhatian orang lain, agar kehadirannya diakui.

Lalu aku berpikir ternyata itu lumrah??? Emangnya kenapa??? Soalnya selama ini aku berusaha untuk mengerem sikap diri yang terlalu bernafsu untuk over exposure... aku menekan banyak hasrat diri tentang hal itu. Dalam tataran idealku, biarlah orang akan menilai eksistensi kita tanpa kita memaksakannya.

Aku pengin eksistensi dan keberadaanku dihargai dalam proses yang alamiah, tanpa aku memaksa orang mengakuinya. Lalu dimana salahnya??? Bukankah itu juga ide yang cukup bagus???

Yah mungkin sounds so good, but sometimes aku bisa sangat gelisah, dan hampir-hampir tak memaafkan diri sendiri, bila sedikit saja aku pikir aku terlalu maksa agar eksis. Bukankah menjadi eksis adalah hal lumrah??? Kadang juga berpikir begitu.

Tapi sisi lain, keinginan menjadi manusia yang sempurna. Sungguh sangat melelahkan diri sendiri. Kadang aku heran juga, terjerembab pada stres hanya karena hal-hal yang sangat sepele (kayaknya tak perlu diceritakan dalam forum ini, karena itu sangat memalukan).

Lalu apa yang seharusnya aku lakukan as human??? Tetap menjadi manusia pada umumnya yang bertingkah polah untuk mencari eksitensi, atau seharusnya aku hijrah menuju kepribadian ideal yang aku bayangkan???

Honestly aku masih berpikir, dan berdebat dengan diri sendiri. Gitu aja kok repot ya??? Yah itu juga merupakan bagian tak terpisahkan dariku, memikirkan hal-hal reme-temeh gak penting.


Yogyakarta, 191205

Wanita Oh Wanita

Masih seputar blog dari Jane Shalimar dan Sarah Azhari, cukup lucu sihhhhh membaca celaan-celaan mereka berdua yang tanpa ampun pada para seleb Indonesia. Bikin aku terhibur dan sedikit terkekeh-kekeh baca komentar mereka.

Hampir semua artis kondang kena deh celaan mereka berdua.Lalu aku jadi berpikir, kayaknya selama ini kalo orang mengatakan wanita membenci pria, atau bersaing dengan pria. Justru persaingan antarmereka lebih seru dan begitu sadisnya...

Tentu sering dong denger cewek-cewek SMU ngerjain adik kelasnya, atau mahasiswa deh ngerjain mahasiswa baru. Mereka benci banget tuh ama yang namanya anak-anak baru. Kira-kira kenapa??? Benarkah anak baru kecentilan??? Kayaknya kok enggak masuk akal ya.

Dugaan kuat justru karena para senior itu merasa gerah karena ada pesaing baru memperebutkan perhatian cowok. Jadi tahu alasan mengapa para junior dianiaya??? Karena mereka cantik titik!!!!!

Kadang lucu campur kasihan ngembayangi dunia para cewek-cewek ini. Orang pasti berpikir mereka sangat setiakawan dengan sesamanya. Tapi justru ngeliat cowok lebih solider, dan tidak terlalu tercium aroma persaingan.

Ehmmm tak terbayangkan menjadi para wanita. Kayaknya hidup selalu penuh dengan ketakutan, takut terlihat gendutlah, takut gak cantiklah, takut gak lakulah macem-macem dehhhh. Walhasil ujung-ujungnya saling mencela satu sama lain. Apalagi kalo orang lain lebih moncer pasti dicari aja kekurangannya buat dicela. Yang sebenarnya deep inside their heart, mereka hanya merasa iri...

Kalo aku melihat seseorang yang pintar mencela, semakin telanjanglah dihadapanku kalo mereka adalah orang yang gak pedean... apakah para wanita itu pernah terbersit pemikiran seperti ini???

Yang merasa dirinya wanita give comment please????


Yogyakarta, 191205

Agnes Memang Luarrr Biasaaaa

Mengapa aku bernafsu menulis tentang Agnes Monica??? Karena dalam sehari ini aku dicekoki dengan tiga liputan tentang Agnes. Pertama, profil Agnes di harian Kompas, kedua Agnes ternyata tengah diperbicangkan pula di milis marketing. Dan terakhir aku membuka blog dari Sarah Azhari dan Jane Shalimar yang mencelagaya dandan para artis, di sana pun Agnes kayaknya paling banyak dicela.

Ehmmm Agnes memang bikin heboh, dan sangat fenomenal. Banyak yang memuji, namun banyak juga yang mencela. Yah itu hal yang alamiah di dunia. Tapi terus terang aku sangat kagum dengan sosoknya.

Pertama karena dalam usia yang sangat muda dia mempunyai prestasi luar biasa. Dan prestasi itu dibangunnya dengan kerja keras, dan persiapan matang untuk setiap langkahnya.

Kedua umurnya mungkin terbilang masih sangat belia. Tapi cara berpikirnya sangat dewasa. Dia berpandangan jauh ke depan. Tentang gimana memanage diri dan karirnya. Di saat teman-teman sebayanya hanya mampu berpikir soal belanja ke mall, dan ngecengin cowok keren. Dia sibuk memutar otak, gimana caranya bisa go internasional.

Ketiga dia adalah salah satu dari sangat sedikit artis di Indonesia yang punya otak. Dia memberikan nuansa baru tentang dunia keartisan, menjadi artis bukan hanya mengandalkan tampang oke... Tapi harus didukung dengan otak yang encer agar bisa tetap bertahan di dunia selebritis yang sangat kejam. Karena bisa saja hari ini dielu-elukan, esok tinggal sejarah.

Keempat mendengar Agnes diwawancarai, atau membaca liputan wawancaranya, aku dibuat mendidih. Dia punya semangat yang gak pernah luntur. Dia sangat optimistik dan penuh gairah. What a wonderful person, isn’t she??? Aku jadi terpecut untuk bekerja lebih keras, agar mencapai lebih banyak hal.

Kelima wataknya yang keras, dan percaya diri sangat mirip dengan aku. Dia ingin selalu membuktikan pada orang-orang yang selama ini mengejek dan meremehkannya. Ia ingin bilang “Aku benar-benar bisa, karena aku akan berusaha keras, aku bukanlah pemimpi!!!!”

Aku sangat yakin targetnya menjadi penyanyi tingakt internasional tak akan lama lagi terwujud. Dengan semua talenta dan kerja keras yang dimiliki, apa sih yang tidak mungkin??? Hanya orang-orang yang syirik yang mencemooh harapannya. Bangsa ini membutuhkan orang-orang seperti ini, bukan hanya orang yang pandai mencemooh dan berkomentar.

Yogyakarta, 191205

Thursday, December 15, 2005

Bergulat Dengan Ketakutan

Pernahkah merasa ketakutan? Bagaimana seandainya itu benar-benar terjadi??? Sebuah mimpi buruk yang menyedihkan. Itulah pertanyaan yang menghantui belakangan ini. Yang membuatnya menjadi berat dan menakutkan, karena ini melibatkan banyak orang. Bila kegagalan hanya melibatkan diri sendiri aku tak pernah perduli, toh kegagalan adalah sahabat sejatiku. Dan aku tak pernah takut akan itu.

Namun bisakah membayangkan, bila kegagalan itu akan mengecewakan orang lain, terutama orang tua??? Oh tidakkkk, sama sekali aku tak bisa membayangkannya. Apalagi sih yang bisa aku lakukan selain membuat mereka tak kecewa. Apalah bakti yang bisa dilakukan seorang anak, selain memenuhi harapan beliau???

Kadang mungkin aku bisa terima, tapi bagaimana dengan orang lain??? Apa kabar dengan bapak yang memberikan harapan yang begitu tinggi??? Tegakah aku menghancurkan mimpinya???

Sebenarnya bapakku pun tak menuntut banyak, tapi secara moral aku merasa mempunyai tanggung jawab besar untuk mewujudkannya. Karena hanya itulah yang bisa diwujudkan sebagai tanda baktiku.

Apalagi saat ini Ibu telah tiada, bahkan ia belum sempat menikmati apa yang ia harapkan. Seandainya saat itu pun tiba, dia tak pernah akan menikmatinya. Dan pertanyaan itu semakin mengejar-ngejar dalam diriku.

Namun masih ada waktu untuk mempersiapkan semuanya, dan aku akan berusaha mewujudkan apa yang mereka harapkan. Seharusnya rasa takut itu kuolah menjadi energi maha dahsyat mewujudkan segala impian itu.....

Ibu aku berjanji atas namamu, yang saat ini entah berada dimana. Atau kau mungkin ada disampingku??? Aku akan mewujudkan impianmu, menjadi orang sukses. Yang kumiliki sekarang hanyalah Bapak, semoga ia masih sempat menikmati apa yang kudapat nanti. Oh Tuhan... tolonglah jangan mengambilnya secepat Kau memanggil Ibu, karena Bapak dan Ibu adalah obor dalam hidupku.

Merekalah yang membuatku selalu pantang menyerah, demi merekalah semua hal yang telah kudapatkan, dan akan kuperolah nantinya kupersembahkan Berikanlah kesempatan bagi Bapak untuk menikmati apa yang bisa kuberikan. Berilah aku kesempatan untuk mempunyai arti sebagai seorang anak.

Yogya, 151205

Susahnya Tetap Konsisten...

Semester ini aku mulia mendengar keluhan beberapa teman yang mengalami demotivasi. Merasa kuliah ini mulai membosanan, padahal mereka diawal begitu menggebu-gebu, dan sangat rajin.

Lalu terpikir lagi, begitu susahkah untuk konsisten??? Karena sepanjang sejarah, beberapa kali aku melihat kejadian serupa. Beberapa teman yang dulu begitu hebatnya saat SD tiba-tiba meredup saat masuk SMP, dan masih banyak cerita lainnya.

Untungnya Tuhan mengkaruniai aku dengan konsistensi, sejak SD memang prestasiku tak terlalu gemilang. Aku tak pernah diijinkan menjadi yang terbaik alias rangking 1. Aku tahu mengapa??? Karena aku mudah besar kepala, dan lupa diri. Karena Tuhan sayang padaku, aku hanya diijinkan paling banter rangking 2. Itu pun hanya sesekali, selebihnya rangking standar, yang penting masih sepuluh besar.

Namun disisi lain, Tuhan menganugerahiku konsistensi untuk berjuang, tanpa mengenal lelah. Aku masih saja penuh energi dari awal hingga akhir, yang mungkin jarang dimiliki orang lain. Dan selama ini aku tak terlalu menyadarinya.

Lalu mengapa aku terus bertahan, dan tetap bersemangat??? Jawabannya sangat sederhana, aku punya mimpi. Mimpi yang mengejar untuk dipenuhi. Kedua, aku bermental tahan banting, yang tak malu menyebut aku sering gagal. Buat apa merasa malu akan gagal, bila aku mengingkarinya berarti aku pengecut.

Dan ketiga, aku dikelilingi dengan banyak keterbatasan. Namun aku tak pernah malu dengan keterbatasan itu. Justru aku mencambuk diri sendiri untuk menjadi energi potensial agar terus berjuang adan berusaha. Walau terkadang ini pun membuatku bersedih, dan ingin melolong.

Tapi itu tak pernah lama, aku tak pernah akan mau mengasihani diri sendiri, karena aku bukan pengemis!!!!! Akhir kata, aku berkesimpulan. Tuhan tak menganugerahi aku apapun, selain satu “semangat”.

Hanya dengan itu pun, dunia akan berada dalam genggamanku.........


Yogya, 151205

Thursday, December 08, 2005

Asia Memang Tak Lepas dari Putaran Nasib

Masih berkaitan dengan cerita selama liburan, serial Korea yang aku tonton salah satunya adalah “Jewel in the Palace”, diangkat dari kisah nyata tentang perjuangan seorang dokter wanita pertama di Korea.

Tapi aku lebih tertarik untuk bercerita soal nasib. Ya... tentang perputaran nasib. Dalam serial ini diceritakan Jang Geum sebagai tokoh utama, telah diramalkan oleh seseorang yang pernah ditemui ayahnya akan menjadi orang yang akan berjasa menyelamatkan orang banyak.

Saat menonton adegan ini, aku teringat dengan novel “Samurai: Kastil Burung Gereja”, yang ditulis oleh novelis keturunan Jepang. Dengan benang merah cerita hampir sama, yaitu garis kehidupan pada dasarnya telah ditentukan. Lord Genji sebagai tokoh utama, berusaha menghindari nasib buruk yang dapat diliatnya di depan. Namun tetap saja tak bisa, karena itu telah digariskan.

Bagaimana dengan di Indonesia sendiri, jangan ditanya. Bukankah kita juga sangat percaya, semua ditentukan oleh perputaran nasib??? Sehingga apapun yang terjadi baik gagal atau sukses semua digantungkan pada kata “nasib”???

Asia memang unik, meski telah semodern Jepang pun mereka tetap percaya tentang alur nasib. Kesimpulannya modernisme tak ada hubungannya dengan persepsi tentang nasib. Ini lebih menyangkut pada budaya. Lalu mengapa Indonesia tak sehebat Korea dan Jepang???

Dari novel dan serial yang aku baca pun tampak. Orang Jepang dan Korea memang percaya nasib, tapi sebisa mungkin mereka berjuang mengubah segalanya menjadi lebih baik. Walau pada akhirnya selalu diakhiri dengan kemenangan suratan yang digariskan, namun paling tidak mereka telah mencoba sekuat tenaga.

Lalu apa kabar Indonesia??? Jangankan berjuang untuk berubah, yang ada hanyalah meratap dan menangisi, mengapa nasibnya begitu malang??? Dengan begitu, akan lebih mudah untuk mencari dalih atas semua ketertinggalan....

Bukankah begitu??? Coba tanyakan pada hati nurani kita masing-masing???


Yogyakarta, 051205

Asia Yang Simbolis

Seminggu yang lalu adalah liburan kuliah, yang menyenangkan sekaligus memusingkan, karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan saat itulah aku punya kesempatan buat nonton tv.

Dan apa yang aku tonton kebanyakan adalah serial drama Korea. Lalu teringatlah sesuatu yang dari dulu ingin kutulis. Karya-karya film atau serial televisi Asia kalo dicermati dengan detil maka akan ditemukan kesamaan, yang membedakannya dengan karya Hollywood.

Dimananya??? Coba perhatikan karya besutan orang Asia baik itu Jepang, India atau Kore maka gaya pengambilan gambarnya banyak yang lamban, close up ke wajah para pemerannya, dan banyak adegan yang sangat khas Asia. Citarasanya sangat berbeda dengan gaya Hollywood.

Pesan yang disampaikan pun lebih simbolis. Biasanya melalui suatu benda tertentu, pesan itu disampaikan. Sementara Hollywood biasanya lebih lugas, dan tak bertele-tele.

Inilah yang membuat aku lebih menyukai serial drama Asia, bukan karena karya Hollywood tidak bagus. Bukan juga menyangkut sentimen anti Amerika. Ini masalah kedekatan budaya. Kesamaan cara berpikir, dan melihat sesuatu.

Karena tak bisa dipungkiri film ataupun drama memotret kondisi sosial masyarakat di sekitarnya. Tempat dimana karya itu dibangun, dan diwujudkan. Simbolisme yang implisit, kesan sendu, dan nuansa kebersamaan seakan merupakan bagian dari kehidupan yang sangat dekat.

Dengan menonton serial drama itu, aku seperti sedang mendalami diriku sendiri. Bukan sedang berimajinasi tentang sesuatu yang asing, sebuah pola pikir dan konflik yang tak bisa kubayangkan. Apakah Anda berpikiran sama???


Yogyakarta, 051205

Monday, December 05, 2005

Memoar Tentang Ibu

Ibu aku melihat bayangmu di balik semburat kaca
Kala itu hujan rintik kaca berembun
Napasmu membentuk embun
Hanyalah lembaran tangan saling berpatri
Ibu... aku ingin menembus waktu memelukmu
Mengatakan sesuatu yang belum terucap
Aku berteriak memohon...
Kudobrak sekuat tenaga
Namun tak mungkin kita terhubungkan
Kau hanya menatap dalam sendu
Rautmu kosong hanya menggeleng
Kau pun berlalu gontai menembus kelabu
Kecipak air menghantarmu
Tak perdulikah kau akan jeritku???
Dan lemas persendian lututku???
Ibu banyak budi yang belum terbalas
Mengapa kau tlah pergi???
Aku hanya ingin menitipkan semangkuk madu
Serta sepenggal roman
Sebagai bekal perjalanan panjangmu
Namun itu tak akan pernah mungkin lagi....
Kita tlah dipisahkan gelombang ruang dan waktu
Buraian air mata hanyalah simbolisasi
Yang tak akan pernah menggantikan
Kerinduanku akan Ibu....

Yogyakarta, 041205

Wednesday, November 23, 2005

Just Be A Good Listener

Ternyata sungguh susah hanya untuk menjadi pendengar yang baik. Aku tidak sedang membicarakan orang laim. Tapi berbicara pada diri sendiri. Aku kadang kecewa dengan diri sendiri, mengapa aku masih saja enggan menjadi pendengar yang baik.

Memang benar mendengarkan lebih sulit, dibanding berbicara. Mendengarkan lebih melelahkan dibanding berbicara. Namun kalo semua berbicara, siapa yang mendengar?

Kadang aku sadar, dan mulai mengontrol diri untuk bukan hanya didengarkan. Namun lebih banyak, saat dimana aku hanya ingin didengarkan tanpa aku sadari. Dan baru menyadarinya setelah semua berlalu.

Lalu aku mulai menyesal, dan membenci diri sendiri. Why I did it again??? Dan kemudian berjanji, di saat mendatang tak akan terulang lagi. Namun kadang aku terjatuh di lubang yang sama, lagi, lagi dan lagi.

Ternyata hanya sekedar untuk menjadi pendengar yang baik, membutuhkan pelatihan yang lama dan panjang. Dan masih butuh jalan panjang agar aku bisa mencapainya.

Hmmmm life is a never ending learning process, itu memang benar. Tetapi mengapa lebih sulit untuk belajar menjadi pendengar yang baik dibanding belajar konsep yang abstrak sekalipun???


Yogyakarta, 231105

Saat Kehilangan...

Kadang kita tak menyadari kehadiran seseorang begitu berarti dalam hidup, sampai saat berpisah. Ternyata seberapapun kecilnya, seseorang memberikan kontribusi dalam kehidupan kita.

Dan kadang terlalu terlambat untuk menyadari bahwa kita membutuhkan mereka. Kadang kita merasa begitu hebatnya tak membutuhkan siapapun. Tapi begitu ia pergi, barulah terasa betapa berartinya ia. Ternyata dunia tak lagi sama tanpanya. Ternyata begitu banyak kenangan indah yang bermunculan setelah dia tak ada.

Saat kehilangan menjadi momen yang paling menyedihkan dalam hidup. Saat seseorang pergi, dan ada sesuatu yang terasa kurang. Saat air mata berderai-derai menyesali karena saat lalu yang tak dihargai.

Tapi apakah harus selalu disesali??? Bukankah masih ada orang disekitar yang perlu dimaknai keberadaannya juga??? Yang mungkin akan merasa bosan karena merasa dirinya tak berarti bagi kita. Karena kita terlalu terlarut dalam penyesalan...

Ya... memang kehadiran seseorang tak bisa tergantikan. Karena setiap orang mempunyai peran dan kontribusi yang unik. Namun berusaha menghargai yang tersisa masih lebih baik ketimbang hanya terus berderai, hingga semuanya pergi. Dan tak satupun yang sempat kita hargai keberadaannya.

Penyesalan itu untuk dipelajari, bukan hanya panggung drama pertunjukan air mata. Setiap proses adalah pelajaran yang berharga, bila kita mau menyadarinya. Karena proseslah kita sampai di titik ini. Dan dengan proses pulalah, kita berharap mencapai titik yang lebih tinggi.


Yogyakarta, 231105

Tentang Kesepian

Apabila diamati dengan cermat, apa sih benang merah tema yang diangkat para penulis??? Setelah melalang buana ke berbagai blog, novel, cerpen, puisi dan banyak lagi.... Semuanya seringkali mengangkat tema kesepian. Ada apa dengan kesepian??? Ada apa dengan penulis???

Benarkah penulis terlahir menjadi penyendiri yang kesepian??? Apakah ia menulis untuk menghalau kesepian dalam dirinya??? Atau menjadi sepi karena ia harus menulis???

Benarkah hidup itu sunyi??? Ataukah hanya para penulis yang terlalu sensitif hingga melihatnya sebegitu kompleksnya??? Pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah memang untuk dijawab.

Namun harus diakui para penulis mempunyai kerumitan berpikir yang luar biasa. Itu yang membuat mereka bisa mengemas tema biasa menjadi indah. Memungkinkan mereka mampu menggambarkan sitausi dan karakter begitu hidup.

Lalu apakah ini berkah??? Saat kerumitan berpikir kadang menjadi petaka??? Banyak lagi pertanyaan yang bermunculan. Ternyata banyak hal tak pernah dimengerti banyak orang. Bahwa dibalik cerita indah, yang menguras air mata. Ada pula cerita yang lebih kompleks dari apa yang tertulis. Cerita tentang kehidupan pribadi Sang Penulis yang kabur, dan tak terungkap.

Lalu aku bertanya pada diri sendiri, bukakankah kau penulis??? Mestinya tahu jawabannya...


Yogyakarta, 231105

Tuesday, November 22, 2005

“I Need help”, Just sounds Good...

Beberapa hari yang lalu, aku nonton Oprah Winfrey Show. Lalu diakhir acara, Oprah berkata kira-kira begini, “Every body, just be honest that you need help”. Ehmmmm saat ia mengatakannya, entah mengapa aku merasa tertohok sangat mendalam.

Lalu aku terdiam sejenak, merefleksikan pada diri sendiri. Ya... harus jujur diakui, betapa tingginya gengsiku untuk mengatakan kalo “Aku butuh bantuan orang lain”.

Aku selalu berusaha melakukan semuanya sendiri. Aku berlindung pada sebuah pemikiran, aku hanya tak ingin merepotkan orang lain. Padahal hanya menutupi ego tentang keakuan yang tak ingin diganggu orang lain.

Aku belajar untuk membantu orang lain, memecahkan masalah mereka, tanpa pernah mengijinkan seseorang pun masuk terlalu jauh dalam pemikiranku. Ehmmmm sounds so egoistic right??? Bukankah membiarkan orang lain membantuku, it,s also a pleasure for them???

Tapi entah mengapa hingga saat ini, aku belum bisa mempercayai seseorang pun, dan berkata “I just need ur help”. Pekerjaan rumah yang sangat sulit, bahkan hanya untuk memulainya. But I promise I will try.


Yogyakarta, 211105

Friday, November 18, 2005

Mengapa Aku Menulis???

Menulis, kata ini bagi beberapa orang adalah momok. Apa yang harus ditulis? Bagaimana memulainya? Tapi entah mengapa aku sangat senang menulis. Menulis menjadi bagian panjang perjalanan kehidupanku.

Menulis mengantarkan aku menemukan siapa aku. Karena dalam tulisan-tulisanku, aku mengenali karakterku. Karena dalam setiap tulisan,akau merefleksikan apa yang kucerna dari sekitar.

Menulis telah membuatku berhasil melalui masa-masa tersulit. Karena menulis adalah bagian dari terapi untuk tetap menjadi kuat. Menulis adalah pelarian atas banyak kekecewaan yang mungkin sering aku rasakan. Dalam tulisan yang terkadang kiasan, aku lampiaskan kemarahan, dan rasa frustasi.

Sehingga aku tak merusak hubunganku dengan orang lain. Selembar kertas tak akan marah bila kita mencela sekalipun. Tapi seandainya itu kuluapkan dalam bentuk emosi entah apa jadinya?

Menulis juga memberikan pelajaran berharga untuk tidak egois, karena tulisan ini akan dibaca oleh banyak orang. Maka aku harus berpikir dari kacamata orang lain, apakah bisa mengkomunikasikan apa yang kumau? Apakah tidak terlalu berbelit-belit? Semuanya harus dilihat dari sisi pandang pembaca.

Menulis memberi pelajaran lain tentang sistematika berpikir. Sehingga dalam bahasa lisan pun, aku lebih mampu menyampaikan ide dengan urut dan terarah. Karena salah satu kelemahanku, adalah cara berpikir yang acak, dan sering melompat.

Lalu menulis juga memberiku kesempatan untuk merekam secara detil, keadaan emosi, cara berpikir, ide pokoknya semuanya pada suatu masa tertentu. Dan ini sangat bermanfaat, bila suatu saat aku ingi tahu kaleidoskop masa lalu.

Terkadang saat membaca tulisan masa lalu, aku tertawa dan merasa malu. Kok begitu bodohnya aku kala itu. Kok aku mikirnya kayak gitu. Tapi apa yang aku punya sekarang kan berkat masa lalu. Dari kebodohan aku belajar menjadi pintar, dari kesalahan aku belajar apa arti kebenaran.

Ya..., disamping itu semua. Aku hanya ingin menyalurkan bakat narsisme he... he... yang begitu menggelegak dalam diri. So..., mengapa tak memulai menulis saat ini juga???


Yogyakarta, 151105

Wednesday, November 16, 2005

“Norwegian Wood”, Novel Jepang Berselera Barat

Beberapa waktu lalu aku menyelesaikan sebuah novel, ahhhh akhirnya setelah begitu banyak bergelut dengan tugas kuliah. Lumayanlah sedikit buat refreshing. Dan ternyata novel ini memang luar biasa dan meninggalkan kesan yang mendalam.

Ada beberapa hal yang bisa dicatat dari novel ini. Pertama, ini adalah novel seorang penulis Jepang yang rasa-rasanya seperti bukan ditulis oleh orang Jepang. Karena tak satu pun menyinggung lokalitas Jepang kecuali setting tempat. Lagu-lagu yang disebut, karya sastra semuanya adalah karya pengarang Eropa.

Gaya penuturannya pun bukan gaya penulis Jepang pada umumnya, yang biasanya datar, sendu, dan tanpa emosi. Novel ini justru memberikan konflik batin yang mendalam pada setiap pembacanya. Gaya penulisanya mengingatkaku akan gaya Yukio Mihima, yang penuh gejolak emosi, dan terobsesi dengan seksualitas.

Haruki Murakami, Sang penulis novel ini, keluar dari tema favorit pengarang Jepang yang biasanya mengangkat tema pergolakan Jepang menemukan jatidirinya, pencarian identitas yang dibiarkan mengambang tentang Jepang tradisional yang memegang teguh adat ketimuran, dan Jepang modern yang kebarat-baratan.

Murakami justru lebih tertarik mengangkat tema kegilaan orang-orang yang berpandangan eksentrik dalam komunitasnya. Tentang kesepian, percintaan yang janggal, dan individu-individu yang bergulat melawan trauma atas masa lalu.

Dan akhirnya para individu itu mengatasi ketidakwarasan masing-masing dengan saling membantu. Perasaan dibutuhkan dan kesadaran akan ketidaksempurnaan sebagai manusia. Mendorong mereka untuk menolong sesamanya, yang sebenarnya menolong dirinya sendiri.

Murakami pun mempertanyakan makna percintaan dengan gaya yang tidak biasa. Tidak ada cerita romantis percintaan, yang ada adalah cinta segitiga yang aneh. Cinta yang membuat para tokohnya tenggelam dalam perdebatan mendalam pada dirinya. Aapa itu cinta, dan manakah cinta yang sebenarnya?


Yogyakarta, 151105

Friday, October 28, 2005

Desertasi Yang Menggugah

Seperti yang pernah kutulis, aku membaca desertasi yang sangat menarik. Desertasi doktoral dari Lori J. Flint di University of Georgia, Athens, mengapa sangat menarik? Aku menyelesaikannya hanya dalam kumulatif waktu 6 jam saja, selama 3 hari bereturut-turut. Penasaran dengan judulnya? “Self-Intervention of Gifted Underachievers: Stories of Success”.

Banyak hal menarik yang bisa dievaluasi. Pertama, desertasi ini sangat mudah dibaca, saat dapat di internet, aku pikir ini buku gratis. Tak terbayangkan ini desertasi, dan baru sadar setelah membaca sebagian. Desertasi ini ditulis dengan bahasa yang sangat mudah, dan gak ada istilah yang susah.

Padahal desertasi itu dalam bahasa Inggris, dan studinya tentang psikologi. Jadi bisa dibayangkan betapa jauhnya jarak aku, dan desertasi itu untuk bisa dimengerti. Tapi aku kok gak ngerasa susah ya, dan nyantai aja kayak membaca buku “Harry Potter” edisi Inggris.

Lalu aku membayangkan andai saja semua orang pintar, bisa menulis dengan bahasa segampang itu. Pastinya lebih banyak lagi orang yang pintar di dunia ini. Apakah begitu susah untuk menjelaskan konsep keilmuan dengan bahasa sederhana?
Atau karena gengsi, tak ingin disamakan dengan masyarakat kebanyakan???

Desertasi ini mengupas soal orang-orang berbakat, yang dulunya berprestasi dibawah kemampuannya, namun saat ini telah memanfaatkannya secara maksimal. Flint berusaha mencari tahu, apa titik tolaknya hingga mereka mampu bangkit dari persoalan itu. Respondennya terdiri atas empat orang, metode penelitian yang digunakan wawancara mendalam.

Temuannya antara lain, seluruh responden menyatakan pernah berkeinginan untuk bunuh diri. Ehmmm, ini mengkonfirmasi beberapa teman yang aku bisa merasakan aura keberbakatan mereka, dan mereka pun pernah berpikir untuk bunuh diri pada suatu masa dalam hidupnya.

Temuan lainnya, keempat responden itu pernah mengalami kesulitan dalam bergaul, terisolasi secara sosial, karena mereka berbeda dengan yang lain. Namun hanya tiga dari keempat orang itu yang menyadari kalo ia berbeda, sementara seorang lagi merasa ia tak berbeda.

Yang lebih mengagetkan lagi, adalah definisi tentang underachiever, ada seorang responden yang selalu menjadi bintang di kelas, dan mendapat nilai minimal B+ naumn tak pernah belajar. Ia masih merasa tak puas karena dia menganggap dirinya malas. Oh Tuhan, gak terbayang gak belajar aja udah segitu nilainya, gimana kalo belajar ya???

Lalu kesimpulan dari desertasi itu, mereka yang underachiever akhirnya berhasil memanfaatkan potensinya secara maksimal karena mereka menemukan seorang figur yang membuatnya merasa tertantang untuk berprestasi lebih baik lagi. Karena orang-orang yang selama ini bersamanya, kebanyakan orang tua hanya membiarkan saja dirinya berjalan tanpa memberikan standar yang menantang.

Padahal orang-orang berbakat membutuhkan tantangan agar tidak mengalami kebosanan. Karena ibarat lomba lari, mereka start lebih awal dan berlari lebih kencang. Jadi kebosanan adalah jawaban saat tak ada lagi yang menantang untuk dilakukan.

Temuan lainnya yang aku dapatkan, tapi aku lupa apakah juga ada di desertasi. Berdasar analisis jender, wanita lebih mampu berdamai dengan situasi kebosanan. Wanita akan menyikapinya dengan penuh ketelatenan untuk menghadapinya, sementara pria lebih memilih untuk meninggalkan begitu saja. Putus sekolah, dan memperoleh cap anak nakal dan bodoh.

Yah begitulah yang aku tangkap dari desertasi itu. Buat yang berminat untuk tahu lebih bantak soal orang berbakat atau temuan dari desertasi itu. Silahkan menghubungi saya lewat e-mail. Toh ilmu itu ada untuk dibagi bukan???

Yogyakarta, 281005

Thursday, October 27, 2005

Mikul Dhuwur Mendem Jero, Jero-Jero Malah Kependem

Buat yang tak mengerti bahasa Jawa, peribahasa itu artinya menjunjung tinggi nama baik, dan menyembunyikan aib sebisa mungkin. Lalu aku menambahkan pelesetan “Jero-jero malah kepndem”. Sebagai sindiran kalau semuanya dipendam tanpa dicari solusinya yang ada malah tenggelam.

Lalu kenapa aku sampe pada ide ini? Ceritanya beberapa hari yang lalu, aku urun rembug pada salah satu milis. Yah memang nadanya lumayan keras, mengkritik sesuatu. Isu utamanya adalah tentang kebanggaan, dan kecintaan atas titttt harus disensor kayaknya. Tapi aku lupa, kalau ranah yang sedang aku jamah ini adalah milis ala Yogya punya. Dan aku harusnya aku bisa lihat tempat, ehmm lumayan salah juga sih he... he...

Maka bereaksilah yang lain dengan keras. Kalo yang punya saja gak merasa bangga, gimana yang lain. Lalu muncul pertanyaan pada diri sendiri. Apa kalo kita bangga, lalu harus menutup mata atas kenyataan? Tetap merasa hebat kalo ternyata keropos??? Bukankah autokritik itu justru membangkitkan semangat untuk merangsek lebih maju?

Lalu sempat aku renungkan dan teringatlah aku dengan peribahasa di atas. Ternyata memang budaya Jawa yang satu ini, benar-benar mendarah daging. Dan itulah mengapa kita gak maju-maju. Gak papa kan kalo aku ngomong lebih keras daripada di milis hi... hi... Ini kan ranahku sendiri, jadi bebas mengemukakan pendapat.

Orang Jawa terbentuk untuk terlalu gengsi mengkritik dirinya. Padahal hidup terus berputar, harus diakui kalo kita memang juga berbuat kesalahan. Kenapa begitu takutnya salah? Seharusnya kesalahan itu dievaluasi untuk diperbaiki.

Kadang-kadang aku ampe gedek-gedek dibuatnya, oalah piye tha bangsaku ini. Ada sesuatu yang salah kok maunya ditutupi aja. Kalo maksud aku kan, dibuka di kalangan internal, lalu bersama-sama dicari solusinya. Bukannya bangga-bangga membabi buta.

Kalu menurut aku sih, itu lebih baik. Daripada itu dipendam terus-menerus, yang tidak menyelesaikan masalah. Pada akhirnya meledak atau tenggelam beneran, kayak anekdot yang menjadi judul tulisan ini. Orang lebih suka terlambat menyadari, lalu kebingungan mencari solusi saat terdesak, dan tak banyak pilihan.

Semoga saja tafsiranku ini tak benar adanya, ya tapi kalo ternyata benar. Ya marilah kita bersama-sama mengubah cara pandang menyikapi sesuatu. Toh ini juga untuk kepentingan diri sendiri.

Memelihara budaya bangsa tentunya sangat diwajibkan, tapi mbok ya pilih-pilih yang bagus yang diambil. Ini kok kebijakan lama yang indah ditinggalkan, tapi justru yang gak mutu-mutu malah dipertahankan.

Haruskah aku menangis lagi, melihat cara pikir yang jelas-jelas gak penting ini. Ah mbuhhh ra ngerti. Terlalu banyak hal janggal di jagad Indonesi tercinta ini.


Yogyakarta, 271005

Wednesday, October 26, 2005

Demi Mencari Jawaban

Beberapa tahun lalu, saat itu masih kelas satu SMU. Diadakanlah tes psikologi dan hasilnya mengatakan kalo aku termasuk siswa berbakat bersama beberapa teman yang lain. Ehmmm, saat itu gak ngerti apa artinya, lalu apa pula implikasinya?

Saat kuliah, aku ingat sekali, ada artikel di koran yang membahas topik itu. Maka semakin penasaranlah aku untuk mencari tahu apa arti berbakat, atau dalam bahasa inggris disebut “gifted”. Selama beberapa tahu terakhir ini, aku telah mengumpulkan puluhan artikel tentang tema ini.

Aku begitu penasarannya, untuk hanya sekedar tahu, benarkah aku berbakat? Jujur terkadang aku sangsi dengan diri sendiri. Soalnya berbakat banyak yang mengartikan punya IQ di atas normal, padahal hasil tes IQ-ku, yang aku tahu norma-normal aja he... he...

Maka selama beberapa tahun ini pulalah, aku terus bergelut mencari informasi di internet. Hingga saking gilanya, beberapa hari yang lalu aku baru saja menamatkan sebuah desertasi dari AS setebal 320 halaman.

Namun tetap saja, pergulatan “Am I gifted?” masih terus mengiang-ngiang di benakku. Aku tak yakin kelebihan orang berbakat ada pada diriku. Tapi yang jelas beberapa dampak negatifnya sangat bisa dirasakan. Kadang aku terjerumus depresi, karena gak bisa mencapai yang aku mau. Kata orang aku menetapkan standar yang sangat tinggi. Benarkah, padahal kalo menurut aku sih itu wajar???

Kadang pula, aku merasa terasing, karena orang tak juga mengerti cara pandangku. Terus merasa waktu 24 jam rasanya tak pula cukup, karena begitu banyak yang ingin dilakukan. Ya... dulu saat aku tak mengerti banyak soal berbakat aku merasa sangat kewalahan.

Saat ini, semenjak aku tahu tentang konsep gifted, walau aku tak percaya seratus persen aku berbakat. Paling tidak aku lebih bisa mengendalikan diri, tidak mudah terlarut dalam stres, berusaha sedikit menurunkan standar. Dan menyadari di balik semua ini, pasti ada hikmahnya.

Karena sungguh menjadi berbeda sangat tidak mengenakkan. Begitu banyak tuntutan dari lingkungan, begitu banyak tekanan. Banyak sekali harapan dari orang lain, sementara tuntutan atas diri sendiri pun udah begitu tingginya. Beberapa teman yang menurutku berbakat, kulihat menjadi sering resah, stres berat, dan frustasi. Karena mereka tak menyadari kalo mereka memang berbeda. Dan belum menyadari perbedaan itu menciptakan jarak, yang kadang perlu jembatan untuk menghubungkannya.

Finally, walau aku tak yakin dengan keberbakatanku. Paling tidak aku berusaha berdamai dengan diri sendiri. Dengan keyakinan semu itu, aku memanfaatkannya untuk memacu diri lebih keras lagi. Soalnya, menurut literatur orang berbakat adalah orang yang pintar, hebat, dengan berbagai variasinya mulai dari seni hingga akademik, yang terkenal termasuk di dalamnya Einstein, Edison, Davinci, dan masih banyak lagi lah. Ehmmm kayaknya gak gue banget gitu lohhhh.

Yogyakarta, 251005

Saturday, October 22, 2005

Terkunci Di Kandang Ayam???

Gak percaya??? Yakin banget pasti banyak yang gak bakalan percaya. Tapi ini benar-benar nyata, dan bukan cerita fiksi. Kejadiannya adalah puluhan tahun lalu, kira-kira aku paling baru berumur 3-4 tahun. Dan yang lebih memalukan lagi itu kandang ayam tetangga.

Ceritany adi Sorong, memang kandang ayam biasanya digembok. Karena banyak sekali maling ayam. Nah saat kecil entah kenapa, aku tertarik banget dengan namanya ayam. Kalo ayam mulai masuk kandang, maka ikutlah pula aku masuk ke kandang hanya sekedar ingin tahu, dan memegang ayam-ayam itu.

Dan itu menjadi ritual hampir tiap sore, nah kebetulan hari itu kecelakaan. Hari sudah lumayan gelap, dan si pemilik ayam tak tahulah kalo aku masih tertinggal di kandang. Kejadian itu sungguh membuat malu, tapi tetap saja aku tak menyerah untuk menginspeksi kandang ayam tetangga.

Namun perlu digaris bawahi, aku sama sekali gak pengin nyolong. Maaf aja ya, aku tak punya bakat kriminal he.. he..., aku cuma ingin mengamati perilakunya, apa yang mereka lakukan hanya itu. Lucu sekali ya, kayaknya gak umum buat anak kecil seumuran.

Entah mengapa memang sejak kecil aku begitu ingin tahu banyak hal, sampe sekarang juga masih sehhh (Gitu komentar teman-temanku). Nah waktu kecil, saking tertariknya dengan ayam. Bila ditanya apa cita-citanya, “Mau jadi dokter ayamaru”. Ayamaru sebenarnya adalah suku bangsa yang ada di Irian. Yang aku maksud sebenarnya adalah dokter hewan, karena aku kan senang sekali dengan ayam-ayam saat itu. Maka aku mengasosiasikan “dokter ayamaru” dengan dokter hewan, maklumlah namnya juga anak kecil yang sekolah TK pun belum.

Pikirannya sangat sederhana, enak kali ya... jadi “dokter ayamaru” tiap hari kan bergumul dengan ayam-ayam. Kalo bisa malah tidur pun sekandang sama ayam-ayam he... he...

Kadang bila teringat masa kecil itu, rasanya sangat menggelikan. Kok bisa begitu bodohnya aku ini. Tapi aku gak pernah menyesalinya. Dulu sempat sih merasa itu aib, tapi lama-kelamaan ini justru menunjukkan kalo memang aku sejak kecil mempunyai hasrat keingintahuan yang luar bisa yang harus terpuaskan. Kalo tidak bisa kebawa terus bahkan sampe mimpi segala.

Ehmmm petualangan yang aneh bukan, tapi bukankah hidup sendiri adalah pentualangan? Tergantung apakah kita bisa menarik pelajaran darinya atau tidak. Dan hanya orang bodohlah yang tak mengambil pelajaran atas pengalaman masa lalunya.


Yogyakarta, 221005

Friends Forever....

Tiba-tiba saja aku ingin menulis tentang seorang teman, karena dalam e-mail terakhirnya ia mengatakan, sapa tahu dia bisa menjadi inspirasi untuk menulis blog. Aku pikir, kenapa enggak??? Soalnya kita adalah teman sejak lama, bahkan lama banget, hampir basi he... he...

Bayangkan saja kami berteman sejak SD, dan sejak itulah hingga SMU kita satu sekolahan. Hingga kini dia udah kerj,a sementara aku masih saja bersemangat untuk kuliah. kita masihlah teman baik yang sering berbagi, dan bertukar pikiran.

Heran juga kenapa bisa kita berteman begitu lama??? Pertama mungkin karena kita sevisi, punya banyak kesenangan yang sama. Impian-impian dan ambisi yang hampir sama, yang akhirnya membuat apapun omongannya, selalu aja nyambung.

Kedua, dia adalah role model, yang menjadi inspirasiku sejak aku kecil. Gimana tidak??? Dulu aku membayangkan senang kali ya, jadi orang yang pinter, populer dan disenangi banyak orang, kayak dia.

Lalu dikit demi dikit, belajarlah aku secara diam-diam dari dia. Mungkin dia sendiri gak pernah ngerasa. Yah, waktu dulu sapa sih Tuhu, hanya si gendut yang tak akan ada yang memperhitungkan sama sekali. Cengeng gak penting, di pelajaran juga lemot aja gituh.

Tapi, semenjak bertemu dengan dia. Aku rasanya kok jadi tertantang juga, pengin jadi orang hebat. Maka mulailah sedikit demi sedikit memperbaiki diri, belajar lagi dan lagi.

Dan beruntung pula kami selalu satu sekolah hingga SMU, walau mungkin setelah SMP dan SMU role model telah bertambah seiring dengan makin banyaknya teman. Tapi tetap saja dia menjadi salah satu trend setter.

Yah begitulah, dari sanalah aku terus belajar tanpa kenal lelah. Dan tak tahulah apakah saat ini aku lebih baik dari Sang Guru??? Ah ndak juga, dia masih punya banyak kehebatan yang tak mungkin ditandingi, karena beberapa bakat yang gak mungkin ditiru dengan mudah.

Misalnya, aku tetap saja, tak bisa menulis tangan dengan rapi dan bagus. Jadi sampe sekarang aku masih saja menghindar sebisanya menggunakan tulisan tangan. Yang kedua, aku tetap saja kalah dalam hal gambar-menggambar. Karena yang ada dalam benak hanyalah gambar dua gunung dan jalan di tengahnya ha... ha... Mending gak kreatif banget ya....

Dan yang terakhir, aku tak mungkin mengalahkan dia sebagai pelanggan rangking I, karena sampai tamat riwayat persekolahanku. Aku tak pernah menjadi yang terbaik di kelas.

Any way thank you man... You just give me inspiration, in the way you never realize...


Yogyakarta, 221005

Yann Martel Membantai Popper

Anda jangan membayangkan ini pertarungan gladiator yang saling membunuh. Menu kita kali ini tentang pertarungan ide. Dalam “Life of Pi” bagi anda yang peka, tentu tahu Yann mengkritik positivisme.

Upss... sebelum melangkah lebih jauh. Mungkin perlu disamakan persepsi, sapa itu Popper? Lalu binatang apakah positivisme? Karl Popper adalah ahli filsafat ilmu yang sangat dipuja penganut positivisme. Teorinya yang terkenal adalah falsifikasi dan verifikasi. Teorinya dijadikan dasar pembeda bagi kaum positivisme untuk membedakan antara ilmu dan, yang bukan ilmu. Ilmu harus memenuhi satu di antara dua syarat itu agar dapat diterima akal, dan bersifat ilmiah. Karena ilmu katanya, harus bisa digeneralisasi. Bahasa gampangnya satu obat, untuk semua penyakit dengan gejala yang sama.

Apa dong artinya falsifikasi dan verfikasi???? Mulai pusing nehhh, tenang aja liat aja penjelasannya lewat contoh, pasti lebih ngerti. Contoh yang sering digunakan adalah angsa. Untuk menguji hipotesis, semua angsa itu putih. Maka dapat dilakukan dengan verifikasi, dengan meneliti satu-persatu semua angsa, dan membuktikannya semua putih. Atau menggunakan falsifikasi, dengan cara pembuktian terbalik, apakah ada angsa berwarna selain putih? Bila tidak ditemukan maka dianggap hipotesis itu benar. Begitu ceritanya, teori yang disumbangkan Popper.

Lalu apa itu positivisme? Positivisme menuntut semua hal yang dikategorikan sebagai ilmu, harus bersifat empiris atau nyata dan dapat dilakukan generalisasi sesuai dengan metode pembuktian ilmiah yang berkiblat pada metode Popper di atas.

Ckkkk, ckkk kayaknya bahasan ini lumayan berat ya? Ah gak juga tuhhh, sebenarnya gampang ajah kok Cuma kadang ilmuwan bahasanya terlalu neko-neko, jadi tambah bikin pusinggg.

Lalu gimana Yann menghabisi Popper? Dalam novelnya “Life of Pi”, terjadi perdebatan sengit antara Pi dan dua orag Jepang. Keduanya tak percaya bila ada spesies ganggang beracun yang hidup di tengah lautan pasifik, dan dihuni oleh meerkat. Spesies ganggang itu tak pernah diketahui, sementara meerkat selama ini hanya dikenal hidup di padang pasir.

Dalam novelnya, Yann Martel menolak asumsi rasionalitas yang hanya mempercayai apa yang masuk di akal, dan apa yang telah mempunyai bukti empiris. Ia mengkritik kepongahan ilmuwan, dan ilmu pengetahuan.

Lalu apa asumsi yang mendassari argumen para penentang Popperian, termasuk di dalamnya Yann Martel??? Asumsinya cukup sederhana, kemampuan manusia sangat terbatas, daya jelajahnya pun belum mengelilingi seisi dunia. Apakah benar-benar yakin, di tengah hutan Amazon yang terpencil tak akan ada angsa selain putih?

Aku yakin banget, Yann Martel pernah membaca referensi soal Karl Popper, mengapa? Karena contoh yang digunakan tentang angsa dan hutan amazon yang ada dalam novelnya adalah contoh yang digunakan dalam perdebatan antara Popper dan para penentangnya.

Yang membedakannya adalah, bila perdebatan tentang filsafat ilmu itu dibungkus dengan sebuah cerita, maka semuanya serasa lebih mudah dicerna. Itulah kelebihan karya sastra, ia begitu lincah untuk masuk ke berbagai arena pengetahuan, dan menyampaikan dengan bahasa yang bersahaja.

Andai saja, membaca buku teks semudah memahami sastra. Mungkin orang tak malas membaca buku teks. Selain itu, gaya penulisann buku teks kering, tanpa sentuhan emosional. Karena memang ilmuwan bukanlah sastrawan kan??? Mungkinkah suatu saat nanti lahir seorang ilmuwan sekaligus sastrawan? Semoga saja.....

Yogyakarta, 221005

Wednesday, October 19, 2005

Petualangan Yann Martel dalam “Life of Pi”

Beberapa waktu yang lalu aku baru merampungkan novel Yann Martel, berjudul “Life of Pi. Novel ini sangat terkenal bahkan menjadi best seller di mana-mana sekaligus memperoleh penghargaan Booker Prize (penghargaan bergengsi untuk penulis-penulis dari negara-negara persemakmuran Inggris).

Novel ini berhasil menggabungkan banyak hal dalam satu rangkuman apik, mirip ensiklopedia. Menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan yang maha luas dari pengarangnya. Ia berhasil merangkum aspek-aspek ilmu biologi, dengan keagamaan, ditambah lagi dunia antropologi, filsafat ilmu dalam satu cerita.

Namun aku ingin berbagi tentang novel ini dari sudut pandang yang berbeda. Aku justru tertarik dengan bagian akhir novel ini, yang entah mengapa lebih banyak membetot perhatiankul, sekaligus membuatku banyak merenung.

Adegan yang paling kusukai adalah dialog antara Pi Pattel dan dua orang Jepang yang ingin tahu tentang penyebab tenggelamnya kapal Tsimsum yang ditumpangi oleh Pi. Bagian ini mungkin hanya memperoleh jatah tak lebih dari empat puluh halaman, namun pesan yang ingin disampaikan cukup padat dan sangat mengena.

Apa yang menarik? Yann Martel menyindir habis-habisan gaya orang Jepang yang penuh dengan basa-basi. Orang Jepang yang tak pernah berkata jujur bila mereka tak menyukai sesuatu. Yang menarik adalah ia bisa menggambarkannya dengan sangat indah, dan nyata, menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang masyarakat Jepang.

Yang kedua, Yann Martel melalui kedua orang Jepang itu, menyindir betapa penyebab tenggelamnya kapal itu lebih penting daripada nasib seorang korban selamat dari tragedi mengerikan itu. Si korban dianggap cukup hanya dengan asuransi kecelakaan yang akan dibayarkan. Ironis sekali tampaknya? Namun bukankah itu kenyataan?

Bukankah kita lebih perduli akan kepentingan kita, dibandingkan berusaha memberikan simpati yang tulus atas kesusahan orang lain? Novel ini hanyalah memotret realita.

Ketiga, dengan apiknya ia berhasil menggambarkan ironi tentang persepsi manusia yang lebih menyukai cerita dramatis, sekaligus sadis. Ini terlihat dari orang-orang Jepang yang justru lebih percaya cerita, bahwa hanya tersisa empat orang selamat, lalu mereka saling membunuh untuk bertahan hidup, dan memakan daging orang yang telah dibunuhnya. Dibanding versi sebelumnya, kalau Pi satu-satunya yang selamat, bersama beberapa ekor hewan yang terdiri dari seekor Orang Utan, Zebra, dan Harimau.

Novel ini memang pantas untuk mendapatkan penghargaan sekelas Booker Prize, karena dengan bahasanya yang mudah dicerna, berhasil menohok hati nurani yang terdalam, sekaligus merenungi banyak hal.

Yogyakarta, 191005

Tuesday, October 11, 2005

Seniman Yang Lebih Genit

Beberapa bulan lalu, aku membaca sebuah artikel di koran Kompas. Yang jelas aku mendadak geregetan dan emosi baca artikel itu. Mau tahu sebabnya? Artikel itu mengkritik keras seni yang dianggap telah menjadi komoditas kapitalis.

Pada titik ini mungkin aku masih bisa menyetujui, walau tidak sepenuhnya. Dalam artian beberapa seniman berkarya lebih berorientasi agar karyanya laku di pasar, bukan demi mengembangkan sisi kreatif, dan pengembangan seni itu sendiri.

Namun yang aku tidak sepakat adalah, bila memang karyanya bukan “pesanan”, serta berkualitas namun laku di pasar. Apakah juga harus di cap murahan, dan pop? Ini kan hanya menunjukkan kesan, berteriak-teriak tanda tak mampu. Bukankah begitu?

Di sisi lain, dari artikel itu aku mendapat kesan, seniman itu haruslah dekil, hidupnya gak teratur, dan semau gue. Sementara orang yang juga sama-sama kreatifnya, namun orang kantoran, rapi jali, dan hidupnya teratu,r dianggap bukan seniman. Mereka-mereka ini hanya dianggap orang yang aji mumpung, dan dicurigai melacurkan seni.

Mungkin saja aku salah dalam menginterpretasikan artikel itu. Tapi aku jadi bener-bener kesal dibuatnya. Padahal kenapa juga harus kesal? Entahlah kadang aku bereaksi berlebihan dengan isu-isu macam ini. Aku merasa ini tidak adil, dan cara pandang yang beginian harus diubah.

Aku sangat kecewa, karena selama ini, kuanggap seniman pemikirannya lebih terbuka dan toleran, ternyata sama aja. Merasa dirinya lebih hebat, merasa dirinya tak bisa dibandingkan dengan yang lain. Merasa eksklusif, uhhhh kata-kata yang membuat aku merinding.

Maka aku pun menyimpulkan, ternyata bukan hanya kaum intelektual aja yang kegenitan. Ternyata eh ternyata, para seniman yang terhormat pun, buju bunehhhh genitnya gak ketulungan.


Yogyakarta, 111005

Selamat Tinggal Internet Explorer

Dulu aku hanya mengenal Explorer sebagai web browser (perangkat lunak untuk berselancar di internet). Namun saat ini ada beberapa pilihan lain, antara lain Fire Fox dan Opera. Maka bermigrasilah aku dari Internet Explorer menuju Opera.

Mengapa Opera? Ada banyak pertimbangan mengapa memilih Opera untuk web browser. Pertama, Opera lebih praktis dibandingkan Internet Explorer atau Fire Fox sekalipun. Opera menyediakan menu-menu yang tidak disediakan Explorer yang akan membuat kegiatan berinternet lebih efisien dan nyaman.

Yang kedua, kehadiran Opera memberikan nuansa baru. Memuaskan dahagaku akan sesuatu yang baru, sesuatu yang dinamis. Membuat aku punya mainan baru untuk dipelajari. Serta memuaskan hasrat akan petualangan.

Yang ketiga, kata beberapa teman, Opera sekarang lagi naik daun, karena lebih aman dari serangan virus dan trojan, dibandingkan Internet Explorer. Yang urusan teknis ginian aku gak terlalu ngerti, tapi aku yakin benar. Karena teman-temanku itu lulusan informatika yang lebih melek soal teknologi.

Namun hal lain yang membuat aku lebih tertarik dengan Opera adalah, entah mengapa secara emosional aku mengaitkannya pada Operah Winfrey. Operah adalah salah satu orang yang membuat aku terinspirasi dengan caranya mewawancarai dan meyakinkan orang lain, serta semangat hidupnya yang luar biasa.

Alasan terakhir, Opera menawarkan soul yang “gue banget”. Soul yang dimaksud adalah anti kemapanan, anti sesuatu yang dominan, dan stabil. Dengan menggunakan Opera aku merasa telah mengalahkan Microsoft yang selama ini telah dianggap memonopoli dunia piranti lunak.

Aku ingin sesuatu yang berbeda. Karena jiwaku adalah jiwa pemberontak yang tak ingin didikte sesuatu yang standar. Kalo ada yang lain, dan bisa berwarna-warni, mengapa harus seragam? Bukankah berbeda itu indah?

Sesuatu yang aneh memang, banyak alasan bersifat emosional. Tapi itulah kenyataan di pasar, konsumen lebih banyak berperilaku berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Bukan hanya berdasarkan alasan-alasan rasional yang bisa diprediksi.

Oleh karena itu, pelajaran yang harus diingat oleh seorang pemasar, jadilah pendengar yang baik. Berpikirlah dari kaca mata konsumen yang sangat beragam, bukan dari kaca mata Anda sendiri.


Yogyakarta, 111005

Friday, October 07, 2005

Popularitas Friendster Hanyalah Sejarah

Bagi Anda-anda yang punya account di friendster pasti tahu friendster selalu berubah dalam jangka waktu yang sangat singkat. Apa yang terjadi? Friendster sedang kebakaran jenggot karena sebagai pionir, ia telah kalah populer dengan Myplace yang datang belakangan. Walau di Indonesia, Myplace mungkin nyaris tak terdengar.

Mengapa Myplace dengan cepat merebut pasar? Karena Myplace memberikan fitur yang lebih bagus dibanding Friendster, Myplace ibarat situs pribadi dimana penggunanya bisa mengirimkan lagu, dan banyak fitur lainnya. Memungkinkan para musisi muda, memajang karya-karya mereka, untuk didengarkan oleh orang lain dari seluruh dunia. Maka dengan cepat terciptalah berbagai komunitas di sana. Dan tampaknya Friendster pun belakangan ini mulai bereaksi dengan menambahkan fitur tersebut.

Lalu pelajaran apa yang dapat dipetik ? Pertama, pionir suatu kategori harus selalu waspada untuk melakukan inovasi. Dia harus cepat mengantisipasi keinginan pasar, kalau tidak perusahaan lain tak segan mengambil alih posisi pemimpin di pasar. Apalagi jika perusahaan itu bergerak di bidang portal dan teknologi informasi. Perkembangan begitu cepat dan tak terduga. Hari ini mungkin Anda pionir, tapi besok siapa tahu?

Pelajaran kedua, Friendster bukan lagi menjadi perusahaan yang inovatif. Dia telah kehilangan rohnya. Ia hanya menjadi pengikut dari pendatang baru. Semuanya akibat lengahnya mereka untuk mendengar apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Mereka lupa walaupun telah memperoleh popularitas, mereka harus terus memikirkan hal baru apalagi yang akan ditawarkan agar konsumen tetap loyal mengujungi portalnya.

Pelajaran lainnya, ternyata perubahan dan kebaruan belum tentu disenangi oleh konsumen. Mengapa? Mungkin Anda juga merasakan, seperti halnya penulis dan pengguna lainnya, yang merasa kesulitan dengan fitur baru Friendster. Mereka mengubah posisi menu terlalu sering sehingga membuat konsumen menjadi bingung mengoperasikannya. Inginnya membuat konsumen semakin puas, ternyata justru mendapat keluhan.

Kebaruan itu terlalu sering dilakukan, sehingga saat konsumen belum benar-benar mengerti dengan apa yang ditawarkan sudah dihujani dengan perubahan lainnya. Seharusnya perusahaan memikirkan segala sesuatunya dari sudut pandang, serta kebutuhan konsumen. Ini adalah era kekuasaan konsumen, bila mereka merasa ada yang lebih baik. Mereka hanya perlu melakukan satu kali klik. Dan menangislah Anda karena ditinggalkan pelanggan.

Pelajaran terakhir, sikap reaktif hanya membuat wajahnya semakin coreng-moreng. Sikap reaktif di mana-mana tidak akan banyak menolong. Sebelum diguncang pesaing, Friendster harus mampu mendekonstruksi dirinya sendiri, dan menciptakan inovasi baru.

Yogyakarta, 040905

Tuesday, October 04, 2005

Lucky, I Hate That Word

Sering sekali orang berkomentar “Wah kamu beruntung banget ya”. Apa??? Aku langsung gatel aja pengin marah kalo dengar kata-kata itu he.. he... Kayaknya semuanya yang aku dapet turun dari langit begitu saja. Mereka pikir, aku hanya tidur nyenyak di rumah lalu aku menjadi seperti sekarang ini.

Itulah mengapa aku begitu membenci kata-kata “Luck”, “Beruntung”, dan tetek bengek semacamnya. Bahkan udah sampe alergi akut he... he... Aku lebih suka orang menghargainya sebagai hasil dari kerja keras. Aku pengin mereka tahu kalo aku tak begitu saja memperolehnya.

Takutnya orang akan salah persepsi. Mereka hanya ingin tahu gimana jadinya. Namun tak mau melalui prosesnya. Mereka tak pernah tahu saat-saat aku jatuh bangun, saat aku mesti belajar di kala yang lain bermain. Walau aku juga sering bersenang-senang juga sehhh he... he...

Orang banyak yang beranggapan, semua hanya bergantung pada nasib dan kehendak Tuhan. Aku bukan tak percaya, kalo Tuhan juga berperan atas kehidupan. Namun bukan berarti kita hanya menanti di rumah sambil berdoa, mengharap akan diberkahi nasib baik.

Aku hanya berpikir untuk melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan. Kalo seandainya memang gagal juga, itu baru namanya suratan nasib. Jangan belum apa-apa udah bilang nasib.

Sudah gitu kalo gagal, disalahkanlah orang lain. Tak mau introspeksi diri. Karena itu memang paling mudah dilakukan. Di sisi lain, aku tak pernah mengasihani diri sendiri, atau mengkambinghitamkan orang lain. Semua adalah tanggung jawab diri sendiri. Kalo memang gagal terimalah keadaan, belajarlah apa yang salah, bagian manakah yang harus diperbaiki.

Dengan cerita ini, masihkah orang akan berkata “Betapa beruntungnya Tuhu”???


Yogyakarta, 290905

Ketabahan Wanita Jawa

Sekitar hampir dua minggu lalu, saat mengantri ambil obat di apotek sebuah rumah sakit. Dari pada bosan, aku mencuri dengar perbincangan seru para pengantri lainnya, biasalah untuk membunuh kejenuhan.

Beberapa orang Ibu begitu asyik bercerita, meski belum saling kenal sebelumnya. Yang beginian kayaknya hanya bakal ditemukan di Indonesia he... he.... Yang menarik adalah cerita seorang Ibu setengah baya.

Ia sedang mengantri obat untuk suaminya. Dari hasil nguping, tahulah aku suaminya selama belasan tahun telah penyakitan dan tak bisa bekerja. Dan tahukah apa penyakitnya??? Dia terkena penyakit kelamin, yang menyebabkannya tak bisa melakukan apapun selain bengong di rumah. Jadi bisa dibayangkan apa yang dilakukan Sang Suami???

Penderitaan itu ternyata tak berhenti sampai di sana. Saat sehat, suaminya yang tukang ojek, sama sekali tak pernah membawa pulang duit sepeser pun. Namun saat ini dikala ia sakit, maka istrinya yang membiayai kebutuhannya.

Sayang Sang Suami ternyata tak sadar diri. Ia justru mengekang istrinya gak boleh pergi kemanapun. Bawaannya selalu curiga. Pergi agak lama langsung dicemburui. Hanya itu penderitaannya??? Masih ada lagi Sang Wanita tinggal dengan ibu mertua yang bersikap sinis, dan saudara ipar yang siap menendangnya dari rumah itu kapan saja.

Lalu sambil termangu, aku pikir betapa sabar atau bodohnya wanita itu??? Kalo dia ceraikan suaminya maka selesai semua masalah kan??? Toh dia mempunyai peghasilan yang bisa menghidupi diri dan anak-anaknya. Walau begitu reaksi dari para perempuan lain yang diajak ngobrol pun sama. “Yah yang sabar, kan Tuhan sudah memberikan karma buat suamimu. Dan kamu diberikan mencari rezeki”.

Satu hal yang bisa ditarik dari cerita ini adalah, orang Jawa memang sangat tabah dan tidak cengeng menghadapi kesulitan apapun. Dalam keadaan tersulit sekalipun maka tetap bertahan. Naluri ini memang luar biasa, dan aku angkat topi untuk itu.

Namun perlu diingat, ini juga pertanda buruk. Kenapa??? Karena menunjukkan orang Jawa hanyalah reaktif, dan nalurinya bertahan. Mereka selalu terima dengan keadaan, tak ingin pusing-pusing mencari jalan lainnya.

Padahal mungkin saja ada jalan lain yang lebih baik. Tapi itu terlupakan, karena tak ada naluri progresif dalam aliran darahnya. Lalu aku sedikit termenung apakah kita akan selalu reaktif, dan bereaksi kalo sudah terlanjur???

Aku jelas tidak!!!! Gimana dengan Anda???


Yogyakarta, 290905

Renyahnya Pasar “Jamu”

Masih merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang banyaknya fenomena jamu alias janda muda. Pemasar seharusnya lebih waspada dengan fenomena ini. Apa pasal? Pertama karena perempuan mempunyai lebih banyak uang untuk dibelanjakan. Kedua perempuan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam keputusan pembelian suatu barang. Dan ketiga perempuan memang hobi berbelanja, kala sedih belanja, saat senang belanja, dapat bonus gatel juga pengin belanja. Bukankah ini angin surga bagi pemasar???

Di sisi lain, pemasar juga lebih harus berhati-hati dalam menggunakan objek wanita (sengaja digunakan kata wanita di sini, untuk mengacu pada persepsi tentang perempuan sebagai manusia kelas dua) dalam iklan. Kenapa?

Karena pada dasarnya perempuan sangat emosional, apabila iklan dianggap melecehkan harkat mereka. Bisa-bisa produknya akan dibenci oleh perempuan. Dan ini malapetaka besar. Mereka tak bisa lagi dijadikan obyek seksual yang sekedar pemanis dalam iklan.

Maklum perempuan sekarang lebih sensi soal begituan. Mereka punya kemampuan untuk menghukum mereka yang menyinggung perasaannya. Lalu giamana dong? Apa yang harus dilakukan pemasar?Tak perlu ragu dan bingung, buatlah iklan yang menyentuh hati. Menembak sisi emosional, karena ini akan lebih efektif, apalagi produk-produk yang menyasar kaum hawa.

Oleh karena itu aku ucapkan selamat datang di dunia yang sentimentil . Dimana perempuan lebih sadar akan hak-haknya, dan punya kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dan para pria mulai sedikit gerah karena tak lagi bisa berperan sebagai hero for her lady.


Yogyakarta, 290905

Tuesday, September 27, 2005

Jamu Selebritisss, Apa Pula Ini???

Mungkin beberapa orang begitu penasarannya dengan “jamu selebritis”. Yang jelas ini singkatan dari janda muda selebritis. Kalo Anda penikmat gossip dan infotainment pasti tahu banget, kalo banyak artis-artis yang bercerai dalam durasi pernikahan yang baru beberapa tahun atau bulan.

Dari fenomena ini kita bisa belajar tentang fenomena sosial. Yang jelas kebanyakan dari perceraian itu disebabkan perbedaan penghasilan antara suami dan istri. Tiba-tiba saja para wanita mempunyai penghasilan yang lebih besar dari suaminya.

Fenomena ini bukan hanya melanda kaum selebritis tapi masyarakat kita secara keseluruhan. Cuman karena mereka selebritis maka mereka lebih terekspos. Dan efeknya adalah konflik dalam rumah tangga.

Pada satu sisi muncul tuntutan yang berbeda dari perempuan masa kini dibanding generasi sebelumnya, karena posisi tawar yang lebih tinggi. Di sisi lain, para lelaki dan masayrakat belum siap dengan fenomena ini.

Para perempuan merasa mereka tak perlu lagi mempertahankan perkawinan mereka yang dianggap tidak bahagia. Mereka tak mau kompromi lagi, karena saat ini mereka tak bergantung lagi secara finansial pada pria.

Di sisi lain pria juga memilih bercerai karena merasa jatuh gengsi ketika istrinya berpenghasilan lebih tinggi. Konflik menjadi lebih runcing karena hal semacam ini menjadi cibiran di masyarakat. Makanya cerai menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan segalanya.

Lalu apa dampaknya ke depan? Generasi baru yang frustasi, mengapa? Karena kebanyakan dibesarkan oleh single parent. Mereka kehilangan figur salah satu orang tua. Dan juga menyimpan trauma yang sangat mendalam atas perceraian orang tuanya. Yang mungkin akanmenimbulkan perilaku ekstrim di kemudian hari.
Kekerasan, mudah stres, emosional, frustasi adalah sebagian dampak yang akan terjadi.

Semoga saja itu tak akan pernah terjadi. Sangat menakutkan untuk dibayangkan.


Yogyakarta, 260905

Agama???

Menarik sekali ada seseorang yang menanyakan mengapa aku tak menulis soal agama? Honestly, aku adalah golongan yang sangat apriori dengan agama. Harus diakui memang agama mengajarkan tentang kebaikan, moralitas, dan ajaran-ajaran ideal lainnya. Tapi cobalah lihat di lapangan. Agama dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk pembenaran tindakannya. Kekerasan, perusakan semuanya atas nama agama. Dengan membawa simbol-simbol agama.Peperangan banyak terjadi juga karena membela agama.

Aku lalu berpikir seandainya dunia tanpa agama, mungkin dunia lebih damai. Semua orang tak akan merasa paling hebat dan apa yang diperjuangkan paling benar. Hingga tak perlu ada korban lagi atas nama pembelaan agama. Sejarah terlalu banyak mencatat momen tragis semacam ini.

Lalu apakah aku tak percaya dengan Tuhan? Surely aku percaya, manusia atau apapun pasti ada yang menciptkan. Tapi aku kok memilih untuk tidak berafiliasi terlalu mendalam dengan agama apapun.

Bagi beberapa orang ini mengejutkan. Tapi ya nggak papa, asalkan aku jangan didemo atau apapun untuk ini. Dengan cara ini aku merasa lebih nyaman untuk berhubungan dengan siapapun. Tak pernah merasa takut, atau curiga dengan orang lain.

Aku lebih menyukai kata-kata spritualisme,walau aku belum banyak membaca soal beginian. Yang jelas aku tak dibatasi dengan sekat-sekat tertentu. Yang tahu hubungan antara aku dan Tuhan kan aku sendiri. Apakah aku harus begitu narsisnya menunjukkannya pada orang lain.

Toh menurutku, agama hanyalah salah satu cara untuk menjalin hubungan manusia dengan Tuhannya. Ada banyak cara lain yang berbeda-beda, dan mungkin minoritas, tapi patut dihargai. Manusia kan hanya bisa meraba, berdasar atas akalnya. Jadi siapa yang berhak mengatakan dirinya lebih benar dibanding orang lain. Dengan begitu bukankah manusia tanpa sadar telah mengangkat dirinya sebagai Tuhan???

Dan beberapa tulisan tentang mengapa aku lebih suka tak menjalankan ritual agama akan dirangkai dalam beberapa tulisan berikutnya.

Yogyakarta, 260905

Tuesday, September 20, 2005

Burung-Burung Rantau

Judul ini aku pinjam dari salah satu karya YB Mangun Wijaya, yang hingga sekarang masih penasaran untuk membacanya, karena dulu hanya sempat baca sebagian di perpustakaan fakultas Sastra UNPAD.

Namun aku bukan ingin bercerita tentang novel. Aku ingin bercerita tentang teman-teman di HI, yang sangat tepat dikatakan sebagai burung rantau. Kenapa? Karena sebagian besar dari mereka telah menyebar ke berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia. Beberapa bersekolah ke luar negeri, baik di Australia, Jerman, Jepang, ada pula yang baru berangkat ke Rusia. Wow Rusia, cukup aneh bukan???

Mereka juga telah menggeluti berbagai macam pekerjaan mulai dari desainer, asyiknya dunia showbiz, kerennya jadi diplomat, perusahaan MNC, sampe bankir, atau yang menuntut idealisme seperti di INGO atau wartawan.

Wow that amazing, jadi kalo mendengar kabar dari mereka, senang rasanya. Ada banyak referensi tentang banyak hal, kita bisa saling tukar informasi lewat milis. Berbagi pengalaman dari berbagai perspektif.

Ya... sangat jelas sejak kita masuk bersama-sama di HI UNPAD, kita terdidik untuk berjiwa petualangan. Belajar terbang menggapai banyak impian. Belajar untuk menjadi petarung yang handal, tak takut dengan tantangan dan risiko. Kita justru belajar untuk menaklukkan banyak rintangan Karena kuliah di HI sendiri udah kebanyakan masalah he... he...

Beruntung sekali aku punya banyak teman hebat, dalam komunitas ini. Seandainya aku tak bertemu dengan mereka belum tentu aku menjadi seperti yang sekarang. Aku tak bisa mengatakan, apa yang didapat hasil sendiri. Ada faktor lingkungan yang memberikan stimulus dan respon, dari setiap hal yang kupunya. To all my friend, kepakkanlah selalu sayapmu, terbanglah kemana pun jua.

Lalu kita semua akan berbagi tentang perjalanan masing-masing, tentang indahnya negeri sebrang, tentang uniknya perspektif yang berbeda, tentang pengalaman mengasyikkan. Karena mimpi dan jalan hidup kita membawa ke arah yang berbeda, mungkin berlawanan?? Tapi kita tetaplah satu, beridentitas HI UNPAD.

Aku pengin banget someday kita bisa ketemuan bareng lagi, main kartu lagi. Ngocol bareng lagi, atau nonton bioskop se-RT, kayak pas pertama kuliah dulu. Atauuu melanjutkan kebiasaan ABG Bandung, foto-foto di Jonas ha... ha... Masa-masa indah yang selalu dikenang...


Yogyakarta, 200905

Monday, September 19, 2005

Dan Hollywood Berbohong...

Entah dari mana sumbernya, majalah, koran tabloid, buku teks atau tv lupa dah pokokna. Aku pernah membaca 67% orang AS mengalami obesitas alias kelebihan berat badan. What???? Ini kan berarti 2/3 dari mereka kegemukan, atau lebih jelasnya lagi 2 dari 3 orang yang akan kita temui di AS secara acak sambil merem sekalipun, kelebihan berat badan???

Lalu dihubungkannya dengan film-film Hollywood yang sering diputar di bioskop atau yang kutonton dari VCD or DVD bajakan. Kok kayaknya 100% orangnya langsing-langsing, dan seksi ya???

Maka teringatlah aku tentang “Simulacra”, yang dicetuskan oleh Boudrillard. Sapa tuh??? Boudrillard adalah seorang pemikir postmodernisme yang mengkritik habis-habisan tentang media massa. Asalnya dari Perancis, udah ketahun kali dari namanya...

Dia mengatakan apa yang kita lihat dari televisi atau media lainnya, adalah kebenaran dalam media. Bukan kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, sebenarnya kita hidup dalam simulacra atau simulasi. Kenyataan yang kita konsumsi dan persepsi dari media adalah kenyataan yang palsu. Kok berat amat ya berpikirnya??? Enggak juga kok.

Ibaratnya kita hidup dalam realitas panggung sandiwara, waduh ada hubungan apa ya Boudrillard dengan Nicky Astria???? Apakah Nicky pernah selingkuh ama dia??? He... he...

Gampangnya ya realitas tentang orang-orang AS yang ditampilkan Hollywood, ternyata jauh dari realitas kehidupan AS. Padahal kita terlanjur bermimpi dan tergiur pergi ke AS, menjala cewek-cewek seksi, seperti yang kita bayangkan dalam film Hollywood. Dan yang ditemukan adalah wanita-wanita yang kelebihan berat badan, dan penonton kecewa...

Jadi, begini lho, apa yang kita lihat melalui media itu bukan keadaan yang nyata. Jangan terlalu bergantung pada media. Karena media juga punya kepentingannya sendiri. Mereka bisa memainkan persepsi kita seenak udelnya. Tinggal pinter-pinternya Anda, apakah mo nelan mentah-mentah, atau mo mengkritisinya.
Lha monggo..., ini kan masalah selera...


Yogyakarta, 190905

Biaya Kesuksesan

Pemikiran ini berawal dari sebuah pernyataan seorang teman, yang cuku menyentak, “Kayaknya kalo aku jadi adikmu, aku bakalan stres deh.” Lalu aku mulai merenungi, mengapa stres, dan ada apa denganku?

Kesuksesan yang diraih, kalo memang dianggap sukses. Walau aku lebih suka menyebutnya, menggapai mimpi yang kudamba. Ternyata membawa dampak negatif bagi orang lain. Kadang aku tak berpikir bahwa dengan kesuksesan ini, ada banyak orang yang akhirnya tak bisa tidur nyenyak, terutama orang-orang sekitar. Aku merasa sangat bersalah, karena itu sama sekali tak kuharapkan.

Aku berharap kesuksesan ini, akan membangkitkan motivasi orang lain. Kalo Tuhu saja bisa, mereka pasti bisa. Karena sepanjang hidupku, aku tak merasa aku berlebih. Aku hanya berpikir, aku harus gigih memperjuangkan apa yang kumau.

Yang selalu aku pikir, aku ini hanyalah orang biasa-biasa, yang menjadi luar biasa karena pantang menyerah. Aku tak takut akan kegagalan, karena gagal adalah kawan karibku.

Dan aku tak pernah merasa bersaing dengan siapapun selain memacu diri sendiri untuk memberikan yang terbaik, pada setiap hal. Jadi aku sangat sedih bila semua ini justru memakan banyak korban.

Beberapa orang mengatakan mereka menjadi stres melihat segala tingkah polahku. Dengan banyaknya kegiatan, dan petualangan yang kulakukan. Ya... mungkin untuk semua teman dan siapapun yang merasa terganggu. Aku mohon maaf, tapi cobalah untuk melihatnya dari sisi lain.

Lihatlah ini sebagai suatu pemacu semangat. Karena aku ingin kita semua meraih kesuksesan bersama. Aku tak ingin merayakan kemenangan sendirian, dalam hampa. Aku ingin kita berpesta bersama. Berbagi tawa bersama. Sekali lagi, kalo Tuhu bisa, pasti yang lain bisa.


Yogyakarta, 190905

Thursday, September 15, 2005

Rapper: Dongeng, Kepedihan, dan Kehampaan

Menarik sekali mengikuti kehidupan para rapper Amerika. Banyak cerita yang bisa diangkat di sana. Kehidupan mereka yang bak dongeng. Lihat saja gimana dulunya kehidupan Eminem, Jay-Z, Kanye West, 50 Cent dan banyak rapper lainnya.

Mereka terlahir dari keluarga miskin, sebagian terlibat dalam tindakan kriminal.
Dan mendadak sontak bagai terbangun dari mimpi indah. Mereka menjadi terkenal, memiliki uang berlimpah. Sesuatu yang tak dimiliki sebelumnya.

Namun semuanya tak berhenti hanya sampai di sana. Mereka tetap saja merasakan sisa-sisa kepedihan itu. Yang muncul dalam lirik-lirik lagu yang penuh umpatan, dan kasar. Ya... memang kalo gak gitu yang bukan rap, kan awalnya juga dari jalanan, itu argumen dari pembelanya.

Ya meski begitu, ini menunjukkan bahwa ketenaran sama sekali tak menghapus luka yang masih tertimbun. Perasaan luka akibat pelecehan sebagai minoritas, sebagai orang yang sempat terbuang.

Ini pun direpresentasikan dengan blink-blink yang terkesan berlebihan. Sebenarnya ini bukan hanya menunjukkan identitas kostum rapper. Tapi ingin menunjukkan bahwa mereka pun sekarang bisa membeli barang-barang mahal. Sesuatu yang dulu bahkan tak mungkin mereka impikan.

Gaya OKB (Orang Kaya baru) ini mungkin terlihat norak atau bahkan funky??? Tergantung dari sudut mana memandang. Namun sayangnya ini semua ternyata tak cukup. Kekayaan dan ketenaran hanyalah berujung pada kehampaan.

Mereka gamang, tak jua menemukan apa yang dicari yaitu ketenangan dan kepuasan hati. Maka mulailah merek bertingkah, dengan saling mengejek dan saling membunuh. Ironis sekali.....


Yogyakarta, 140905

Kadang Aku Lelah...

Mencoba untuk mengerti keadaan, mengerti kalau aku berbeda, terkadang membuat aku sangat lelah. Semua orang hanya menuntut hal yang sempurna. Mereka menginginkan kehebatanmu, tapi mereka tak mau perduli bahwa itu juga mengandung banyak konsekuensi.

Begitu banyak kritik yang menghujani. Pada waktu tertentu itu tak berpengaruh. Tapi kadang menjadi sangat membosankan. Seluruh dunia minta untuk dimengerti, tapi gimana dengan aku?

Boleh saja mereka mengkritik aku kalo ngomong terlalu cepat. Ideku meloncat terlalu jauh, hingga dikritik habis-habisan. Namun pernahkah mereka bertanya tentang apa yang aku pikirkan? “Kok gitu aja gak ngerti, hey you are thingking like a turtle!!!”.

Sorry, tak biasanya memang aku menggunakan kata-kata sekasar itu. Tapi itu yang sejujurnya aku pikirkan. Dan mungkin pada saat-saat tertentu,hal itu tak dapat dikendalikan.

Namun sayangnya aku tak boleh membalas dengan kritikan semacam itu. Aku mesti memendam kesal dalam hati meski terkadang bosan. Kelas yang membahas banyak hal yang aku udah ngerti. Dan aku harus mendengarkan banyak pertanyaan bodoh. Adakah yang pernah tahu itu? Pernahkah orang lain perduli?

Pernahkah ada yang mengerti apa yang kurasakan? Bukan sekedar merengek untuk dimengerti? Kadang dunia serasa begitu menjijikkan. Seakan tak ada tempat untuk orang-orang seperti aku. Aku kadang ingin marah, tapi pada siapa? Toh mereka memang tak mengerti.

Namun bukan berarti menyerah. Aku tak akan mau menyerah barang sejengkal pun. Aku berusaha untuk terus mengerti walau terkadang berdarah-darah. Namun Tuhu tetaplah Tuhu, ada hal yang bisa dikompromikan, namun sayangnya banyak hal lyang tak akan pernah hilang. Karena bila semua berubah sesuai selera pasar, maka bukan lagi Tuhu, tapi produk pop (alias populer).


Yogyakarta, 140905

Why Personal Branding???

Ide tentang menciptakan personal branding telah lama terpikir di otak. Walau baru sekarang terwujud. Semenjak kuliah S1, tanpa mengerti tentang pemasaran. Aku mulai bereksperimen tentang citra seperti apa yang ingin aku tampilkan di depan orang lain.

Aku bertualang dengan banyak citra yang membuat orang mempunyai persepsi yang berbeda tentang sapa sih sebenarnya Tuhu? Idenya saat itu hanyalah, aku bisa melintas batas, berada dalam komunitas apapun. Dan nyambung kalo diajak ngobrol ama sapa ajah.

Lalu stelah aku masuk MM, semakin sadarlah kalo yang seharus punya image kuat, bukan hanya produk yang akan dijula. Tapi diri kita juga harus memiliki karisma dan citra yang kuat seperti halnya produk.

Karena suka atu tidak, kita akan menjual diri kita untuk memperoleh kerja, atau menjual ide-ide kita. Aku amati banyak artis di luar negeri, bahkan beberapa artis di dalam negeri mulai sadar akan hal ini.

Mereka mulai menyadari betapa perlunya membuat image yang berbeda dengan para pesaingnya agar terus diingat oleh orang. Oleh karena itu dengan pemikiran yang sangat panjang dan lama, akhirnya aku memutuskan menggunakan “Amazing and More”, sebagai personal branding.

Karena kata-kata itu menggambarkan keunikan Tuhu dalam berbagai dimensi, yang satu sisi, dan lainnya terkadang bertentangan. Eksperimentasi ini terbukti lumayan efektif. Hanya sehari sejak diluncurkan, dan diumumkan. Mendadak sontak, blog ini ramai dikunjungi.

Wow berarti gak sia-sia belajar pemasaran walau baru satu trimester ini. Ilmu itu kan harus bedimensi praktis, hingga tak mengawang di awan-awan. Semoga akan muncul banyak ide baru lagi yang bisa dieksperimentasi. So what next???? Tunggu aja ya.... yukkkkkkk

Yogyakarta, 140905

Monday, September 12, 2005

Seorang Tukang Ojek

Hari jumat lalu, aku pulang kemalaman dari Yogya. Sampe di Solo, gak ada lagi bis ke arumahku. Setelah cukup lama akhirnya kuputuskan naik ojek aja karena gak ada pilihan. Nah dari Tukang ojek inilah ada banyak pelajaran yang bisa dipetik yang ingin dibagi:

Pertama dari aspek pemasaran, aku menganalisa mengapa akhirnya aku memutuskan memilih Si Tukang Ojek ini, bukan yang lain. Selain karena motornya memang lebih oke, dibandingkan lainnya. Yang paling penting adalah tampangnya yang menurutku terpercaya. Wajahnya yang tersenyum, membuat aku merasa nyaman untuk diantarkan olehnya. Kesimpulannya dalam memasarkan, kesan pertama sangat menentukan seorang konsumen memutuskan membeli atau menggunakan jasa kita atau tidak.

Pelajaran kedua yang aku dapatkan sepanjang perjalanan kami yang lumayan panjang adalah kecintaannya pada profesi. Aku tak pernah menganggap rendah profesi tukang ojek. Asal seseorang mencintai apa yang dilakukannya, dan ia menikmatinya, maka ia telah menemukan kenikmatan hidup. Dan aku menemukannya pada sosok beliau. Ia begitus setia atas apa yang dilakukannya. Membuat aku merasa kagum atas dedikasinya pada arti pekerjaan. Ia menghayatinya sebagai bagian dari kehidupannya, bukan hanya karena ia butuh uang untuk hidup.

Di sisi lain, aku juga belajar tentang kejujuran. Untuk tak berniat jahat pada para penumpangnya. Perkara ini sempat menjadi bahan obrolan kami selama perjalanan. Aku sangat percaya pada kata-katanya itu. Karena kata-kata itu diucapkan dari kedalaman sanubari. Kesadaran untuk menjaga integritasnya, menjaga nama baik dihadapan para pelanggan. Sangat salut aku atas prinsip yang dipegangnya.

Pelajaran lainnya, aku merasa gembira mendengar cerita tentang keluarganya. Salah seorang anaknya ada yang bergelar Sarjana Hukum lulusan UNS Solo. Ini menunjukkan negeri ini masih memberikan kesempatan perubahan sosial vertikal, atau apapun istilahnya dalam sosiologi (maaf-maaf aja kalo salah). Seseorang, siapapun dia, apabila ia punya keinginan kuat untuk maju maka tak ada yang akan bisa menghalanginya menjadi yang terbaik sesuai harapannya.


Yogyakarta, 110905

Selangkah Maju

Beberapa waktu yang lalu aku menulis tentang betapa bodohnya aku di kelas Financial Management. Namun hari ini aku bisa sedikit bernapas lega. Karena akhirnya aku bisa ngikut dengan logika finance, walau tetep aja belum semuanya terkuasai.

Paling tidak sekarang gak keringat dingin lagi kalo disuruh ngitung-ngitung. Ongkos psikologis itu udah lewat. Saat dimana aku begitu keringat dingin bila disuruh mencoba latihan itungan.

Bukan karena nggak bisa, tapi bayangan ketakutan untuk mencobanya yang lebih banyak menggerogoti energi. Setelah belajar dengan sabar, dan sedikit ketelatenan, aku bisa mengejar ketertinggalanku yang sangat jauh dalam mata kuliah ini.

Aku merasa lebih enjoy dan nyaman dengan pelajaran ini. Akhirnya aku menjawab satu tantangan bagi diri sendiri. Suatu kemajuan yang sepatutnya dirayakan. Tentu bila dibandingkan dengan teman-teman yang mahir finance aku masih jauh dari oke.

Ya tidak mudah memang bagi seorang Tuhu yang telah lama tak menyentuh itungan, bahkan sempat sangat membenci dan mengharamkan hal yang berbau itungan. Tapi dosen financial management kali ini benar-benar menantangku untuk belajar lebih, dan lebih lagi.

Ehmmmm ternyata memang siapa yang mengajar benar-benar bisa menghasilkan hal yang berbeda. Semester lalu dengan pelajaran yang hampir sama, aku sama sekali gak tertarik, dan gak merasa dapet apa-apa. Tapi saat ini aku baru merasa dapat sesuatu.

So, pelajaran yang mungkin bisa ditangkap adalah perlakuan yang berbeda atas sesuatu hal akan mnghasilkan efek yang berbeda bagi yang menerimanya.


Yogyakarta, 090905

Wednesday, September 07, 2005

Siapa Yang Lebih Jawa?

Pemikiran ini bermula dari pendapat beberapa teman di MM UGM, yang tidak menyangka kalo aku orang Jawa. Berumah di Karanganyar, beberapa kilometer dari kota Solo ke arah timur. “Kok gak kayak orang Jawa?” Hampir sebagian besar mengatakan seperti itu.

Mungkin karena logat jawaku memang tak sekental yang lain. Logatku lebih banyak gaya ala Jakarta atau Sunda, berhubung aku lebih dari empat tahun tinggal dan berkuliah di Bandung. Namun di sana pun aku dianggap masih berlogat kejawa-jawaan. Jadi, siapakah diriku yang tampaknya tak memiliki identitas ini?
Ya aku adalah anak Indonesia sejati. Terlahir di Sorong, Papua, dan menghabiskan masa kecil di sana. Lalu pindah ke karanganyar semenjak kelas empat SD, dan tetap di Karanganyar hingga SMU. Lalu hijrah ke Bandung untuk kuliah di HI UNPAD. Dan sekarang nyangkut di Yogya.

Perjalananku melanglang buana ke beberapa tempat memang meninggalkan jejak karakter yang terus aku bawa. Belum lagi aku juga membawa banyak karakter orang-orang Barat, karena banyaknya persentuhanku dengan pemikiran-pemikiran orang Eropa dan Amerika selama belajar di HI. Mengapa aku mengatakan itu, karena salah seorang temanku gaya berpikirku adalah Barat.

Inilah mungkin membuat kepribadianku sangat unik. Tak bisa dikotakkan dalam satu kategori tertentu. Namun sebagai acuan dasar aku tetaplah orang Jawa. Aku mengagumi tradisi Jawa lebih dari peradaban manapun. Walau aku juga pengkritik yang sangat lantang atas beberapa aturan yang mengekang, dan sangat dangkal.

Di balik semua kritikan pedas itu, mungkin tak banyak yang tahu. Aku dapat dibilang lebih mengerti tentang esensi kejawaan dibanding teman-teman segenerasi. Aku mungkin lebih mengerti tentang filosofi pewayangan, dibanding teman-temanku yang lebih mengenal komik Jepang atau film Hollywood.

Saat yang lain sibuk dengan figur komik Jepang, aku justru asyik bercekerama dengan sosok Semar, Arjuna, dan Yudistira. Saat yang lain belajar tentang nilai-nilai hitam putih ala Barat. Aku justru bergulat dengan abu-abunya nilai-nilai yang ditawarkan dalam dunia pewayangan.

Aku lebih fasih menembangkan tembang Macapat dibanding teman sebaya yang menggilai lagu pop Amerika. Walau mungkin teman yang lain, dari penampilan luar lebih Jawa. Gaya bahasanya sangat medok, tinggal dan besar di Jawa. Wah lumayan ironis kan sebenarnya?

Ini bukan tentang keluhan karena aku tak dianggap Jawa atau apapun. Itu tak penting sama sekali. Tapi tulisan ini untuk membuat kita belajar. Esensi lebih penting dari sekedar bentuk. Orang Jawa lebih menyukai bentuk yang sempurna, tapi esensinya tak ada. Kita sibuk dengan pencarian bentuk terbaik, tapi lupa bahwa bukan itu yang paling penting.

Yogyakarta, 060905

Kegenitan Intelektual

Beberapa hari lalu, kata-kata itu terucap oleh seorang wartawan yang diundang News Letter dalam sebuah pelatihan jurnalistik. “Kegenitan intelektual”, langsung mengingatkanku pada seorang dosen MM UGM, yang salah satu tulisannya dalam sebuah buku kumpulan artikel pemasaran sangat tepat menggambarkan itu. Bahkan lebih menor, karena plus gincu dan bedak tebal.

Padahal harus diakui dari tulisannya bisa dideteksi betapa pintarnya dosen ini. Secara langsung, aku belum membuktikan karena aku belum pernah diajar oleh beliau. Tapi membaca artikelnya, sumpah mati disambar petir (agak berlebihan gak sih he... he...), aku sama sekali gak ngerti apa yang ditulis.

Kata-katanya begitu kering khas intelektual. Sulaman dan kutipan dari berbagai jurnal ini itu. Yang maunya kelihatan jadi sangat berbobot, tapi malah bikin pusing. Aku tak mempelajari apapun dari tulisan itu. Tapi mungkin hanya aku seorang yang tak mengerti, maklumlah otakku emang lumayan cupet.

Lalu aku bertanya-tanya sendiri, mengapa begini, mengapa begitu?

Pertama, karena memang sengaja dibuat seperti itu. Mungkin atas dorongan ingin menunjukkan kelasnya sebagai intelektual kampus, jadi harus menggunakan bahasa yang berbeda dengan awam. Kalo gak begitu apa dong bedanya intelek dengan tidak? Mungkin begitu logikanya.

Kedua, memang benar-benar tak sadar, dan tak tahu. Karena kebanyakan intelektual hidup dalam dunianya sendiri. Pada suatu menara gading, yang indah, menjulang, sekaligus tak tersentuh. Ia terus berpikir-berpikir, tanpa pernah bersentuhan dengan permasalahan di lapangan. Yang penting menelurkan pemikiran.

Kalo hanya begitu, apa dong funsinya sebagai intelektual? Bukankah hadirnya intelektual untuk membantu orang-orang lain yang tak mempunyai ilmu setinggi dirinya.

Bukankah intelektual yang hebat, seharusnya mampu mengurai kerumitan berpikir menjadi sesuatu yang sederhana, dan mudah dicerna bahkan oleh orang yang tak makan sekolahan sekalipun?

Yogyakarta, 060905

Tuesday, August 30, 2005

Dokter Lagi???

Teringat dengan cerita sebelumnya, tentang seseorang yang anak dokter. Tertekan lagi??? Kagak ada cerita yang lain apa ya??? Lalu yang terpikir, ahhhh urusan dengan Dokter lagi!!!! Entah mengapa aku merasa sangat muak dengan kata Dokter!!! Tapi ini sangat subyektif pandangan aku semata. Soalnya udah berapa kali aku mendengar cerita tentang anak seorang dokter yang berada dalam tekanan luar biasa, karena profesi orang tuanya. Mulai dari yang maksa untuk masuk kedokteran walau otak agak kurang. Yang mampu, tapi sedikit terpaksa demi melanjutkan tradisi keluarga..

Terus kenapa aku tak suka dengan kata Dokter. Karena dulu orang tuaku sangat agak berharap aku masuk kedokteran. Ehm... kayaknya sangat menjanjikan dan sangat terpandang, tapi itu bukan gue bangettt, jadi terpaksalah aku mengecewakan mereka. Maafkan Bapak dan Ibu, anakmu ini memang bengal dan rada-rada nyeleneh.

Yang lain lagi, kata Dokter, mengingatkan cerita temanku yang lain, dulu kala saat masih kuliah di UNPAD. Ceritanya temannya sekosan ada yang anak kedokteran, dan ia memandang rendah temanku itu yang berkuliah di jurusan HI, Si calon Dokter ini merasa kuliah jurusan sosial itu kelas dua. Ia erasa kalo jadi dokter itu adalah derajat tertinggi. Sungguh sedih menyayat hati, kalo sebuah profesi merasa lebih hebat dari yang lain. Padahal semua kan penting, tak ada yang lebih hebat dari yang lainnya.

Kata Dokter juga mengingatkan dengan kuliah di kedokteran yang semakin mahal aja, bahkan di universitas negeri sekalipun. Masuk kedokteran sperti hendak berdagang saja, sapa berani bayar tinggi dia yang boleh masuk. So, hanya orang berduit yang boleh jadi dokter? Dan urusan otak menjadi nomor dua aja gitu...

Kata dokter juga membuat sebal, karena begitu banyaknya kassus malpraktek di Indonesia hingga menyebabkan pasien meninggal. Yang lebih sedih lagi tak ada undang-undang yang mengatur kerja dokter. Bila meraka salah pun tak ada yang berhak menghukum. Dengan enaknya dikatakan itu memang sudah takdir harus mati.

Belum lagi pengalaman buruk dengan dokter yang merawat ibuku, Dokter itu merasa bisaa sewenang-wenang dan dengan ketusnya menjawab pertanyaan salah seorang saudaraku saat ingin berkonsultasi. Kalo aku yang dibegitukan jelas aku memnuntut. Karena kita telah membayar dengan sangat mahal. Jadi berhak mendapat pelayanan yang terbaik.

Seharusnya profesi dokter tak perlu dianggap sangat istimewa, ia juga manusia biasa saja yang kebetulan memilih menjadi dokter. Hidup ini kan serba pilihan, jadi hormati seseorang dengan pilihannya.

Miris juga kalo anak-anak Indonesia ditanya cita-citanya hendak jadi apa? Semua seragam mau jadi dokter. Sapa yang salah? Tak mungkin anak sekecil itu membentuk konsep tanpa campur tangan orang tuanya.

Yogyakarta, 300805

Bagaimana Belajar?

Pertanyaan ini sering kali ditanyakan oleh teman-teman. Aku sendiri gak tahu kenapa mereka menanyakan pertanyaan itu ke aku. Apakah karena aku dianggap pandai? Padahal gak juga karena banyak yang lain yang lebih pandai. Atau mungkin karena aku sangat aktif di kelas? Atau karena pengetahuanku yang beragam dan melintas batas keilmuan dari yang penting, setengah penting, ampe yang gak penting sama sekali?

Terserahlah gimana persepsi orang. Namun yang jelas aku hanya ingin berbagi tentang makna belajar. Aku justru tak mengerti bila seseorang menganggap belajar itu kewajiban, belajar itu terpaksa. Karena dalam pandangan aku belajar itu indah, menyenangkan, menarik, kebutuhan. Kebanyakan orang memaknai belajar hanya terbatas pada apa yang dibawa dari kampus atau sekolah atau sesuatu yang sifatnya formal dan berijazah.

Sementara dalam benakku, belajar itu tak harus membaca buku teks yang berat, baca novel, baca koran, membaca situasi, menonton tv, mendengar radio, sambil bergosippp, bahkan hanya dengan mengamati raut wajah seseorang aku sedang belajar.

Aku tak tahu aku yang aneh, atau yang lain yang aneh. Tapi yang jelas belajar bagiku adalah kebutuhan, untuk mengetahui sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat aku tertarik.

Karena hanya dengan belajar maka aku tak akan terlindas zaman. Hanya dengan terus belajar, maka aku akan menggapai apa yang aku impikan di depan. Aku merasa banyak keterbatasan yang aku miliki saat ini, dan hanya satu yang membuat aku terus bersemangat untuk belajar karena aku ingin jadi seseorang. Aku ingin meraup semua impian-impianku.

Lalu mengapa orang begitu takut dengan kata belajar? Dulu aku pun juga sangat sebal dengan kata itu. Kata itu selalu bermakna nilai, atau ujian. Ya... itulah yang membuat belajar suatu keterpaksaan. Belajar tidak lagi bisa dinikmati karena dibarengi dengan bayang-bayang tujuan jangka pendek. Belajar akhirnya dipersempit dengan pemaknaan yang penting dapet nilai bagus, sementara ilmu apa yang diperoleh kosong sama sekali gak ada yang nyangkut.

Namun dengan berjalannya waktu, kita akan berkutat pada hal yang sama? Manusia kan semakin dewasa, maka ia juga harus memaknai suatu hal dengan lebih bijak. Maka belajarlah demi kesenangan diri sendiri, karena motivasi dari dalam bukan paksaan....


Yogyakarta, 290805

Mengulik Desperate Housewives

Jumat minggu kemarin aku nonton serial drama “Desperate Housewives”, yah memang itu bagian rutinitas yang wajib ditonton. Karena serial ini bukan hanya menghibur, tapi mengandung banyak makna yang patut untuk direnungkan.

Namun edisi Jumat kemarin menurut aku menawarkan adegan yang sangat mengesankan. Ketika Lynette salah satu tokoh utama dalam serial itu menangis tersedu-sedu di sebuah lapangan. Lalu dua orang sahabatnya datang menghampirinya, dan menanyakan ada apa gerangan?

Berceritalah ia, bahwa ia merasa kesal karena ia merasa gagal sebagai ibu rumah tangga yang baik, padahal sebelumnya ia adalah seorang wanita karir yang sangat sukses. Ia merasa tak sehebat teman-temannya dalam mendidik anak-anak.

Lalu terbukalah kedua sahabatnya, bahwa mereka berdua pun sempat dibuat frustasi, dan menangis saat anak-anaknya masih kecil. Lalu Lynette pun merasa terhibur karena ternyata ia tak sendiri. Lalu bertanyalah ia, “mengapa kalian tak pernah bercerita?”. “Apakah itu perlu?”, jawab kedua sobatnya.

Apa yang bisa dipelajari adalah kadang manusia tak sesempurna apa yang terlihat. Ada banyak kekurangan dari orang lain yang mungkin kita tak tahu. Dan terkadang kita pun malu untuk mengakui kekurangan diri sendiri.

Pikiran yang bergelayut hanyalah, hanya hal yang baik yang boleh ditampilkan. Kenapa? Toh dengan segala kegagalan, dan kekurangan kita, orang tak akan pernah memandang rendah pada kita.

Sehingga orang lain pun belajar bahwa sebuah pencapaian itu tidak datang begitu saja dan tiba-tiba. Itu membutuhkan proses yang sangat panjang. Ada pengorbanan di sana, ada usaha dan keringat di sana. Dan itu yang perlu ditularkan pada orang lain, jadi bukan hasilnya yang penting tapi bagaimana proses untuk menjadi.

Kalau seseorang hanya silau pada suatu pencapaian. Maka ia hanya akan terus ternina bobok. Ia pikir semua akan mudah. Semua ada jalan pintasnya. Akhirnya hanya ada dua pilihan, melakukan kecurangan atau menyalahkan keadaan.


Yogyakarta, 290805

Thursday, August 25, 2005

Membangun Tim

Ternyata aku baru menyadari mengorganisasi orang tak semudah yang dibayangkan. Kemana aja loe selama ini???? Yah begitulah. Ada begitu banyak tantangan saat bekerja dalam suatu tim.

Saat ini aku masih bekerja dalam tim kecil, seandainya nanti aku bekerja dalam tim yang besar, apalah jadinya? Wah kayaknya ada begitu banyak peer yang harus aku pelajari dari sekarang.

Tantangan tersendiri untuk menemukan sebuah metode membangun suatu tim yang solid, kompak dan sukses. Ternyata hanya membaca berbagai buku tentang kepemimpinant idaklah cukup.

Kemamampuan itu harus terus kuasah, detik demi detik, hari demi hari. Hingga akhirnya tiba saatnya dimana aku mampu mengatur sebuah tim dengan baik. Yah tambah lagi deh satu peer yang jadi tanggunganku ke depan. Tapi tak apalah bukankah hidup ini adalah proses untuk menjadi lebih baik tiap saat?


Yogyakarta, 230805

Memahat Kata

Menulis ternyata memang bukan produk massal. Saat aku memaksakan menulis puisi di kala sempat, ide itu tak juga muncul. Kalau pun ada kata-kata yang mengalir, sangat tidak memuaskan untuk disebut sebagai puisi.

Namun kata-kata itu kadang muncul begitu saja di saat yang tak diduga, di mana aku sangat malas untuk menuliskannya pada secarik kertas. Aku berharap kata itu akan muncul lagi bila aku memiliki waktu luang. Wah... ternyata itu tak bisa dilakukan. Karena kata-kata itu adalah wujud spontanitas yang tidak diarahkan, dan tidak dibina.

Anda sedang membuat karya seni bung!!! Iya dari dulu aku tahu, tapi tetap saja aku tak bisa telaten untuk segera menuliskan apa saja ide yang ada pada saat itu juga. Yang ada akhirnya adalah penyesalan karena kata-kata indah itu hilang sudah, dan tak ada kesempatan kedua untuk merekamnya pada sehelai kertas.....


Yogyakarta, 230805

Memahami Dan Mengerti Orang Lain

Beberapa minggu belakangan ini, aku banyak mendengar keluhan teman-teman tentang seseorang yang membuat hampir semua orang merasa kesal dengannya. Mungkin orang itu memang menyebalkan, aku tak bisa menghakimi karena aku memang tak tahu pasti. Aku belum pernah berhubungan langsung dengannya.

Tapi yang jelas aku pun pernah mengalami hal yang sama. Merasa tak nyaman dengan seseorang, bahkan hanya berdekatan pun bawaannya jadi emosi. Tapi seiring berjalannya waktu, aku belajar untuk mengerti orang lain, bahkan orang yang menurutku sangat menyebalkan sekalipun.

Memahami adalah kata kunci untuk meredam amarah dalam hati. Karena amarah itu bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri. Aku coba untuk mendekati semua orang dengan berbagai latar belakang mereka. Dan pada akhirnya, hingga saat ini banyak orang yang dulunya sangat aku benci. Namun menjadi teman baik. Dia jadi banyak bercerita padaku, tentang masalahnya, dan banyak hal lainnya.

Aku merasa ini adalah prestasi tersendiri. Karena aku telah memenangkan dua hal, menaklukkan diri sendiri, dan ini adalah hal yang paling sulit. Kedua, menambah jalinan pertemanan dengan banyak orang.

Walau memang, untuk bisa memahami orang lain perlu proses. Perlu kelapangan dalam berpikir, tapi aku selalu merasakan ini sebagai tantangan. Melihat segalanya dari sudut pandang berbeda membuat duniaku lebih cerah.

Yogyakarta, 230805

Crushbone, Indonesia Asli Lho!!!!

Suatu hari aku membaca koran, dan dari sebuah berita aku tahu ternyata Crushbone, sejenis olahraga basket dalam kerangkeng itu asli, dan orisinil kreasi anak negeri. Betapa bangganya aku sebagai anak Indonesia. Ternyata bangsa ini bukan hanya bisa membajak.

Tapi kita juga bisa membuktikan bahwa kita bisa berkreasi, menciptakan sesuatu yang berbeda. Crushbone sendiri katanya telah dimainkan pula di Malaysia dan Singapura. Tambah senanglah aku, karena kreasi anak negeri, juga bisa mendunia.

Aku pikir bangsa ini butuh ide-ide kreatif seperti itu. Kita butuh ide-ide orisinal, agar tak diolok-olok sebagai bangsa penjiplak. Atau bangsa yang hanya bisa mengkonsumsi, dan memakai tapi tak bisa membuat.

Untuk yang terakhir ini, bangsa-bangsa lain tak akan berteriak. Karena justru itu yang mereka inginkan. Indonesia tetaplah menjadi konsumen, bila kita pintar dan mampu membuat sendiri, siapa yang akan membeli produk mereka.

Tapi apa iya kita ingin terus seperti itu? Aku yakin semua komponen bangsa ini tak rela dengan predikat ini. Makanya semua elemen bangsa bangkitlah, ciptakan kreasi yang orisinil pada bidang masing-masing. Kreasi sekecil apapun memberikan sumbangan yang berarti, dan menimbulkan efek berantai.


Yogyakarta, 230805