Tuesday, October 14, 2008

Laskar Pelangi: Sebuah Semangat Tentang Keindonesiaan...

Tepat pas malam takbiran Lebaran kemarin. Aku bersama para sepupu beramai-ramai nonton film Laskar Pelangi di Solo. Setelah dengan penuh perjuangan mengantri karena penonton yang membludak akhirnya dapet juga tiketnya.

Laskar Pelangi sangat menggegerkan, karena diangkat dari buku dengan judul yang sama karya Andrea Hirata yang juga sangat fenomenal, tercatat sebagai buku sastra terlaris di Indonesia, paling tidak begitu klaim dari pihak penerbit.

Filmnya sendiri memang agak sedikit melenceng dari cerita yang ada dalam bukunya. Beberapa orang mengatakan film ini lebih bagus dari bukunya. Bagi aku itu berlebihan karena bagaimanapun bukunya lebih ok dibandingkan filmnya. Namun dibandingkan dengan beberapa film lainnya yang juga diangkat dari cerita novel, film ini layak diacungi jempol.

Bagian awal dari film ini juga terlalu panjang dan bertele-tele, sehingga aku sempat ngantuk dibuatnya. Terlalu banyak nasihat sepertinya yang ingin dijejalkan. Dan terlalu banyak tokoh yang ingin diungkap.

Namun di sisi lain, film ini mampu menampilkan sosok-sosok yang bermain sangat natural. Aku sangat kagum dengan para pemain cilik dari Belitung. Mereka sepatutnya mendapatkan penghargaan karena akting mereka yang sangat cantik dan alamiah. Cut Mini yang berperan sebagai Ibu Guru juga sangat bagus. Terutama dengan dialek Belitong-nya.

Dari segi gambar juga sangat mengagumkan. Riri Riza sangat pas membawa kita pada penggambaran Belitong di pertengahan 70-an. Detil-detilnya begitu pas, aku seperti kembali ke masa lalu, melihat minyak rambut berwarna hijau. Lalu kapur tulis, dan juga yang membuat seisi bioskop histeris adalah poster Rhoma Irama saat muda yang digunakan untuk menambal dinding rumah lengkap dengan lagu-lagu Bang Rhoma yang sangat 70-an.

Beberapa momen membuat aku ingin menangis termehek-mehek, terutama saat Lintang mengirim surat kalau tidak bisa melanjutkan sekolah, karena harus menggantikan peran ayahnya yang hilang di laut, sebagai tulang punggung keluarga.

Padahal Lintang-lah yang paling bersemangat untuk bersekolah dan mengejar cita-cita. Hmmm rasanya ingin marah saat itu, mengapa dunia begitu tak adil? Ada begitu banyak orang yang mempunyai kesempatan yang luas tapi menyia-nyiakan. Tapi di sisi lain, ada orang-orang yang berjuang sekuat tenaga, tapi tak berdaya akibat keadaan.

Jakarta, 141008
Akhirnya Menulis Juga...

No comments: