Friday, May 12, 2006

Tuhan Ampuni Aku...

Kemarin saat sedih akan kegagalan, aku bercerita pada seorang teman. Dan tanggapannya sungguh menyentil, untuk merenung kembali. “Mungkin kamu hanya ingin membuktikan pada dirimu sendiri”, yayaya kira-kira begitulah yang dia tuliskan.

Lalu aku merenung, bagaimanakah selama ini orang mempersepsikan aku??? Tampaknya aku lupa melihat dari kaca mata orang lain, bahwa terlalu banyak kucuran kesuksesan yang telah Tuhan berikan buatku. Bagi orang lain, apa yang aku dapatkan telah berderet-deret.

Tapi aku sendiri merasa aku hanyalah makluk kerdil, yang merasa tak pernah nyaman. Aku merasa masih banyak hal yang seharusnya bisa aku raih. Aku merasa seandainya waktu bisa berputar 50 jam sehari, mungkin aku akan mengkoleksi deretan prestasi lainnya.

Aku pikir aku tak pernah ada apa-apanya dibanding orang lain. Mataku ternyata rabun, hanya melihat orang-orang yang ada diatasku dengan deretan prestasi gemilang. Lalu aku memacu dan memacu lagi diriku hingga taraf yang bagi beberapa orang suatu kegilaan.

Ini bukan berarti aku akan mengerem laju langkahku. Karena jelas itu tak akan mungkin. Energi ini akan menyesak dalam tubuh, seandainya aku tak bergerak. Tuhan memberikan banyak energi, mengapa tak dipergunakan???

Tapi aku belajar untuk sesekali berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan menengok ke belakang. Ternyata ini juga bagian dari keindahan hidup. Dengan berhenti sejenak, aku bisa menikmati apa yang kuhasilkan. Berharap mampu bersyukur, dan merayakan apa yang telah kucapai.

Tuhan..., maafkan aku yang hanya terus berlari dan berlari, lupa menarik napas sejenak. Maafkan aku yang terlalu banyak mengeluh akan kegagalan. Padahal Kau ingin memberiku banyak pelajaran dalam kegagalan.

Aku sangat mengenal diriku sendiri, aku adalah Si Pongah yang nista. Bila hanya ada kesuksesan dalam diriku, gejolak kepongahan tak akan bisa dihindarkan. Dan saat gagal inilah, aku kembali disentil, “you are still human, so just down to earth”.

Sekali lagi maaf , maaf, maaf (baca: maaf tiga kali) Tuhan.


Yogyakarta, 120506

Wednesday, May 10, 2006

Two Thumbs Up for Prof. Yohannes Surya...

Beberapa hari yang lalu aku membaca majalah “Intisari”, edisi terbaru. Di sana ada artikel tentang seorang peraih medali perunggu Olimpiade Fisika Internasional tahun 1999 asal Indonesia, yang kala umurnya baru menginjak 23 tahun telah mengantongi gelar doktor... Dan saat ini dikontrak selama 4 tahun oleh Southhampton University sebagai peneliti. Dan di universitas itu pulalah dia mendapat beasiswa doktoralnya.

Artikel itu, membawaku melayang pada sebuah artikel di majalah Tempo, seingatku itu tahun 2002. Dalam artikel tersebut Yohannes Surya menggebu-gebu memaparkan cita-citanya dalam 10 atau 20 tahun lagi akan lahir peraih Nobel Sains dari Indonesia. Dan cara yang ditempuh adalah mempersiapkan generasi muda Indonesia untuk bisa menang dalam ajang lomba Olimpiade Fisika.

Diharapkan para pemenang medali olimpiade fisika bisa mendapatkan beasiswa kuliah di universitas terbaik di dunia, dan dibimbing profesor peraih Nobel. Menurutnya ini adalah salah satu cara menyiasati keterbatasan dana pemerintah Indonesia, untuk menyekolahkan putra terbaiknya ke luar negeri. Ia merasa prihatin karena kita tertinggal dengan Malaysia yang getol mengirimkan mahasiswanya ke luar negeri dibiayai negara.

Yohannes Surya dan TOFI (lembaga yang menyeleksi dan menyiapkan siswa-siswa yang dikirimkan ke olimpiade fisika) adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Karena lembaga ini adalah bentukannya. Dan ia tanpa lelah telah mencetak putra-putra bangsa ini, meraih mendali di berbagai ajang lomba Olimpiade Fisika baik di tingkat Asia atau Internasional.

Membaca artikel Intisari tadi, membuatku merasa sangat bangga dengan Yohannes Surya, karena cita-cita itu tampaknya tinggal selangkah lagi. Itu baru satu orang, dan saat itu hanya menerima mendali perunggu. Bagaimana dengan generasi berikutnya yang selalu menggondol medali emas???

Tunggulah beberapa tahun lagi, maka Indonesia akan menjadi macan dalam ilmu pengetahuan. Walau sayang putra terbaik itu menyebar di berbagai negara. Aku hanya berharap mereka masih ingat pada bangsanya. Meski mencari kehidupan yang layak di negeri seberang, masih mau kembali ke Indonesia untuk beberapa saat, membagi ilmunya bagi bangsa ini. Untuk keteladanan seperti ini belajarlah dari orang-orang India dan Cina.

Lalu apa lagi yang bisa dipelajari??? Ternyata menjadi apapun kita, ada sesuatu yang bisa kita sumbangkan bagi bangsa ini... Maka berhentilah mengeluh, dan terjun ke jalan hanya untuk meminta. Lakukanlah sesuatu untuk bangsa ini, mungkin itu akan berguna bagi banyak orang....


Yogyakarta, 090506

Sekelibat Serpihan Seorang Tuhu...

Tanggal 5 Mei lalu, tak terasa telah seperempat abad, Tuhan mengijinkan aku berbetualang di sebuah ruang bernama dunia. Satu tahun yang banyak membawa arahan baru dalam rentang kehidupan. Karena wanita itu...., yang telah mengijinkanku mengitip dunia, kini telah tiada...

Kepergiannya memang telah kurelakan. Tapi kepergian itu sekaligus membawa banyak tanggung jawab baru bagi kami semua yang ditinggalkan. Banyak hal yang perlu diadaptasi. Ada banyak kompromi... Dan barulah menyadari betapa seseorang itu sangat berharga....

Yah... (dalam helaan napas panjang) aku hanya mengambil sisi positif, kepergian Ibu merupakan awal dari pembelajaran menjadi seorang pemimpin. Karena kepergian itu membuatku tak bisa berpikir lagi hanya tentang aku..., tapi juga bapak dan adikku.

Bukankah hakikat menjadi pemimpin adalah bagaimana melayani anggotanya??? Dan sepertinya Tuhan ingin menyiapkan mentalku menjadi seorang pemimpin yang baik. Walau itu pedihhh luarrrr biasa...

Ulang tahun kali ini..., tetaplah biasa saja. Tak ada pesta, tak ada kemeriahan. Tapi sungguh aku terharu hingga meneteskan air mata... Saat aku pulang ke Karanganyar di tengah siang terik, aku melihat ada beberapa nampan agar-agar, dan juga ikan kakap merah...

Jangan lihat itu dari harganya, lihatlah itu dari perhatian bapak dan adikku. Ternyata mereka begitu detil mengerti apa yang kusuka... Itu saja merupakan hadiah yang tak ternilai... Yayaya kami memang hanyalah keluarga yang sederhana, tapi so what gitu???

Aku menuliskan ini bukan ingin dikasihani, maaf aku bukanlah “pengemis”. Aku menuliskannya agar suatu saat nanti, jika hidup mengijinkanku menjadi orang berada, aku tak pernah lupa dari mana aku berasal. Aku tak ingin terlarut dalam kepongahan. Dan belajar untuk selalu bersyukur..., karena terkadang di atas membuat kita jadi silau... aku ingin menjadi apapun aku..., aku tetaplah menjadi aku yang menghargai setiap momen dan anugerah dengan hati yang lapang, dan kesenangan polos seperti halnya kanak-kanak...

Every body... yang membaca tulisan ini..., kuharapkan juga mengingatkanku jika ternyata ke depan aku menjadi manusia yang pongah, dan lupa dari mana aku berasal. Terkadang mudah memang untuk mengatakan sesuatu, tapi untuk konsisten itu adalah perkara lain. Maka diperlukan orang lain sebagai cermin yang mengendalikan...

Oh ya... makasih juga dengan semua teman-temanku yang telah mengirimkan ucapan selamat ultah. Yang membuatku takjub bahkan beberapa di antaranya adalah teman-teman yang aku tak pernah lagi bertemu secara fisik, dan komunikasi lainnya dalam waktu yang melampaui angka tahunan. Tapi mereka masih menyisakan memorinya untuk mengingat ulang tahunku, dan merelakan uangnya untuk ber-sms. Thank you guys..., kadang aku merasa itu terlalu berlebihan untuk seorang Tuhu. Aku merasa tak sebaik itu..., untuk dikenang oleh begitu banyak orang....

Thx once again..., mengingat begitu banyak orang yang perduli membuat hidupku lebih berarti, dan membuatku bersemangat untuk berbuat sesuatu...


Yogyakarta, 090506

Thursday, May 04, 2006

Cross Cultural Communication That Matter

Beberapa hari yang lalu, terjadi lagi entah telah yang ke berapa kalinya. Aku tersandung persoalan yang sama. Masalahnya hanya pada kesalahpahaman yang diakibatkan cara berkomunikasi yang berbeda.

Dalam mata kuliah Global Marketing, aku belajar tentang dua macam budaya high context dan low context. Nah inilah yang menjadi permasalahan. Apa itu high dan low context??? High context itu lebih mengutamakan komunikasi verbal, ngomong tanpa tedeng aling-aling. Sementara low context itu kebalikannya, lebih banyak basa-basi, dan komunikasi lebih banyak diwakili oleh bahasa tubuh.

Permasalahannya adalah gaya komunikasiku lebih high context, sementara aku berada pada masyarakat yang sangat low context. Sebenarnya aku sudah sangat berusaha untuk berhati-hati dalam berkomunikasi, tapi ternyata kadang masih kejeglong juga.

Dari sini aku belajar ternyata memang komunikasi antarbudaya itu memang sangat sulit. Bayangkan ini saja baru sesama orang Indonesia. Bahkan sama-sama orang Jawa, cuman kata orang aku sudah tak lagi bergaya orang Jawa. Ya... harus diakui ada banyak karakterku yang dipengaruhi berbagai macam kebudayaan dan pemikiran dalam diriku.

Bayangkan bagaimana jika harus berkomunikasi dengan orang yang berlatar belakang berbeda sama sekali??? Apa yang akan terjadi, bila kita tidak memahami kalo perbedaan latar belakang ini akan membawa pada persepsi yang salah???

Aku pun yang telah mengerti dan paham, bahwa ada konteks yang berbeda pun terkadang masih saja terjerumus. Ehmmm bagaimana bila dua orang yang belum mengerti lalu bertemu???

Yahhh itulah pentingnya untuk belajar, dan belajar lagi... ketulusan untuk memahami orang lain, dan bergaul dengan orang yang berbeda latar belakang menjadi sangat penting. Agar kita menjadi orang yang lebih terbuka.

Orang yang terbuka akan lebih rendah hati, untuk belajar dari orang lain. Dan inilah yang akan menghantarkannya menuju kesuksesan. Dan semoga ini juga sekaligus mengingatkan diriku sendiri, common belajarlah untuk lebih mengerti konteks di mana sedang berada. It’s hard, but also challenging.


Yogyakarta, 040506

Mahasiswa yang Kanak-Kanak

Beberapa waktu yang lalu, aku sangat sedih dengan aksi para mahasiswa yanbertindak sangat picik. Mahasiswa melakukan sweeping kepada orang asing. Dan ini ternyata terjadi di berbagai daerah. Sebut saja di Yogya beberapa oknum mahasiswa merazia warga Australia, karenakan kasus suaka warga Papua. Mahasiswa di Makassar tampaknya juga tidak mau kalah,mereka melakukan razia terhadap orang asal Italia. Karena media Italia memuat kartun Nabi Muhammad.

Apa yang terjadi dengan bangsa ini??? Tidakkah lelah tiap hari dengan kekerasan yang sudah terjadi??? Apalagi ini dilakukan oleh mahasiswa, yang katanya kaum intelektual. Kaum intelektual bukankah dicirikan dengan pemikirannya yang lebih matang, dan berpikir panjang??? Mengapa harus mahasiswa???

Apakah di negeri ini semua orang telah begitu emosional, sehingga tak ada lagi yang bisa berpikiran jernih??? Apakah pernah mereka bayangkan apa jadinya dengan teman-teman mereka yang sedang belajar di Australia bila diperlakukan serupa. Sementara jumlah mahasiswa itu tidaklah sedikit.

Atau jangan-jangan ini juga cerminan dari kegagalan sistem pendidikan kita??? Pembelajaran di kampus tidak mampu membangun karakter penghuninya untuk berpikir dengan lebih rasional.

Sistem pendidikan yang hanya bermotif mencari gelar, gengsi naik, dan dapat pekerjaan yang bagus. Hanya sepragmatis itukah??? Sehingga walaupun mereka nantinya bergelar sarjana pun, tak akan ada bedanya dengan masyarakat kebanyakan.

Tak ada jejak kemampuan menganalisis suatu masalah. Tidak ada cara berpikir yang sistematis. Apalagi menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih elegan, sepertinya itu memang hanya mimpi.

Ohhh betapa aku merasa sangat sedih, mengapa bangsa inibegitu bengis??? Apakah semua harus diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan tak akan pernah berhenti bila tidak ada yang berani memutusnya. Maka mulailah dari diri kita masing-masing, menjadi rantai pemutus kekerasan. Ini memang langkah kecil, dan sangat tidak heroik dibanding mereka yang berteriak gagah berani akan merazia manusia tak berdosa... tapi ini lebih bermanfaat untuk membawa bangsa kita selangkah lebih maju.


Yogyakarta, 040506