Wednesday, April 05, 2006

Ayah, Dikagumi Sekaligus Dibenci...

Sebuah sinopsis buku, mengantarku mengenang kembali serpihan-serpihan ingatan tentang hubungan seorang Ayah dan anak lelakinya. Banyak kesamaan dari berbagai cerita baik fiksi maupun kisah nyata yang pernah aku baca. Hubungan ayah dan anak lelakinya selalu dilingkupi hubungan yang rumit dan berkelindan atas perasaan benci, rindu, dan kekaguman.

Pernah aku membaca sebuah curhatan di salah satu milis. Bercerita dengan detil yang mengharukan tentang betapa rumitnya hubungannya dengan Sang Ayah. Hingga suatu saat dengan perasaan putus asa, ia mengirim sms yang isinya kira-kira “Yah apakah kau bangga mempunyai anak sepertiku???” Miris sekali bukan???

Kesan yang hampir serupa tersirat dalam buku memoar Edward Said (tokoh kenamaan dibidang Orietalism). Dalam memoarnya yang panjang lebar, bukan hanya persoalan krisis identitas saja yang muncul di sana. Namun juga menonjol soal hubungannya dengan Sang Ayah, di mana ia selalu merasa berada di bawah bayang-bayangnya hingga di masa tuanya sekalipun.

Hal senada aku tangkap dalam biografi J.W. Marriott yang ditayangkan MetroTV. Sang pemilik kerajaan bisnis Hotel Marriott. Anak J.W. Marriott menganggumi ayahnya sebagai pekerja keras yang luar biasa, sekaligus bersedih karena apa yang dilakukannya tak pernah benar dihadapan J.W. Marriott

Lalu dari ketiga cerita ini, aku menarik kesimpulan, walaupun sangat tergesa-gesa untuk mengambil generalisasi. Ada apa sebenarnya hubungan antara Ayah dan anak lelaki??? Apakah semua orang pernah mengalami masa sulit dengan Ayahnya??? Pertama aku pikir ini menyangkut budaya tertentu, namun ternyata hal itu terpatahkan dengan fenomena yang terjadi di berbagai tempat dengan latar belakang budaya yang beragam. Ini berarti permasalahan yang lintas budaya.

Ada beberapa asumsi yang sempat mampir dibenak. Pertama mengacu pada pendapat dari Sigmund Freud. Secara naluriah anak lelaki akan membenci ayahnya ketika menginjak masa kana-kanak, karena Sang Ayah telah merebut Ibunya, sebagai orang yang ia cintai. Lalu mengapa anak laki-laki tak menikahi ibunya??? Menurut Freud karena semakin dewasa ia belajar bahwa hal itu tidak diijinkan oleh norma sosial. Maka tak heran bila seorang lelaki mencari wanita yang setipe dengan ibunya.

Asumsi kedua adalah budaya patriarki, di mana seorang anak lelaki menjadi tumpuan masa depan keluarga. Seorang Ayah selalu mengharapkan lebih banyak pada anak lelakinya. Ia dibebani dengan harapan yang membumbung tinggi. Sehingga seorang ayah menjadi lebih tegas dan terkadang menetapkan harapan yang terlampau tinggi bagi anaknya. Hal ini menyebabkan anak menjadi stres karena apa pun yang dilakukannya menjadi tak pernah baik dan benar.

Yang ketiga, entah ini bawaan karakter alamiah atau bentukan sosial. Pria memang kurang ekspresif secara verbal dibanding wanita. Seorang Ayah jarang sekali memuji anaknya secara langsung. Ayah lebih banyak mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Sementara Si Anak terkadang begitu terobsesi untuk mendapatkan pengakuan dari Ayahnya. Dan keduanya sama-sama tidak pandai untuk mengungkapkan perasaan masing-masing maka terjadilah kekakuan hubungan di antara keduanya.

Yogyakarta, 050406

No comments: