Tuesday, August 08, 2006

Mengingat Kembali “Pengakuan Pariyem”

Yayaya tentang “Pengakuan Pariyem”. Tiba-tiba aku merasa tertarik untuk mengulasnya, karena aku baru saja melihat buku ini kembali dicetak dan dipajang di rak-rak took buku. Ceritanya beberapa hari yang lalu aku melihatnya di toko buku langganan, dan aku berjanji untuk menulis tentang buku ini di blog.

Yayaya buku ini memang sangat mengesankan, karena aku berhutang banyak hal darinya. Awalan ”yayaya” yang sering kali aku gunakan untuk memulai alinea, terinspirasi dari prosa liris ini. Aku ingat sekali, setiap alinea baru atau bab baru (maaf aku lupa, karena aku membacanya beberapa tahun yang lalu), selalu di awali dengan kalimat ”Yayaya nama saya Maria Magdalena Pariyem”.

Kalimat yang mencerminkan keluguan ini sangat mengesankan buat aku. Prosa liris ini sangat direkomendasikan, bila Anda ingin mengetahui seluk beluk kehidupan orang Jawa.

Linus Suryadi, yang mengarang prosa liris ini. Mencoba mengkritik budaya Jawa, dengan cara Jawa, yang halus, tapi nylekit (bahasa Jawa untuk menyakitkan red). Dari pengakuan seorang Pariyem. Maka Anda akan diajak bertamasya melihat seperti apa sih masyarakat Jawa itu??? Yang terlihat halus, namun menyimpan banyak ironi... Seorang Pariyem yang sangat lugu, baik hati, dan berpikiran positif, sangat khas. Dan aku merasa tokoh ini benar-benar hidup...

Linus menceritakan tentang sistem kasta, pendefinisian manusia tentang dosa, kehidupan masyarakat pedesaan jaman dahulu. Karena aku gak yakin masyarakat di desa masih sempat menonton ketoprak di desa tetangga. Ini kan era televisi, siapa sih yang gak tersihir olehnya???

Pariyem juga mengakui dosanya telah berhubungan dengan anak majikannya, yang tidak dianggapnya sebagai sebuah aib. Tapi lebih kebanggaan karean berhasil merenggut keperjakaan anak Sang Majikan...

Bahasa yang lugu, khas orang desa. Membuat kita tersenyum sekaligus berpikir, betapa mirisnya kehidupan. Lewat sosok Pariyem pula, kita diperkenalkan dengan istilah “Lembu Peteng”. Istilah untuk anak haram yang tidak jelas bapaknya. Biasanya terjadi karena perselingkuhan seorang “priyayi” atau orang terpandang dengan wanita yang derajatnya tidak setara.

Sang wanita diminta untuk tutup mulut agar tidak mengatakan siapa ayah dari anak tersebut, karena ini merupakan aib, dan merusak nama baik Sang Priyayi. Ya kira-kira begitulah sebagian dari isi buku itu yang masih kuingat.

Sebuah buku yang bagus akan selalu meninggalkan sesuatu bagi pembacanya. Dan buku itu selalu menjadi inspirasiku. It’s so nice to know this book.

Yogyakarta, 060806

No comments: