Thursday, August 03, 2006

Solo, the Spirit of Java

Beberapa waktu yang lalu saat pulang ke Karanganyar. Selintas aku membaca papan iklan di pintu masuk kota Solo, isinya seperti yang tertulis di judul. Fenomena ini menjadi menarik karena beberapa hal.

Pertama, akhirnya Solo sebagai kota yang berbasis jasa menyadari perlunya sebuah merek bagi kotanya. Solo sepertinya ingin bangkit dari citra angker dan menakutkan pasca kerusuhan Mei 1998. Solo ingin membangun citra baru, sebagai kota yang selalu dikenang sebagai pusat perkebangan kebudayaan Jawa.

Hal ini membuat aku sangat senang. Karena memang sudah seharusnya, sebuah kota yang menyandarkan perekonomiannya pada perdagangan dan wisata, mempunyai merek spesifik agar mudah diingat oleh konsumen.

Faktor kedua yang membuat ini menjadi menarik karena, Solo mengambil tema Jawa, sesuatu yang memang melekat dalam persepsi orang tentang Solo. Karena secara teori pun, brand destination harus mencerminkan dinamika masyarakat, dan persepsi orang tentang daerah tersebut.

Branding ini lebih baik dibanding yang pernah dilakukan Yogyakarta dengan ”Never Ending Asia”. Jujur saja aku tidak suka dengan merek ini, karena mengingatkan pada branding Malaysia ”Truly Asia”. Karena Yogya memang tidak mungkin mengklaim dirinya Asia, karena masyarakatnya kan homogen etnis Jawa.

Faktor ketiga yang membuat menarik adalah saat ini citra Yogyakarta sedang jatuh karena berbagai bencana yang terjadi, mulai dari gempa dahsyat hingga letusan gunung Merapi.

Solo dan Yogyakarta, ibaratnya kakak beradik dengan karakter budaya, dan potensi yang dijual hampir sama. Oleh karena itu saat Yogyakarta mengalami penurunan jumlah wisatawan. Tampaknya pemerintah kota Solo berusaha menarik para pengunjung yang urung ke Yogyakarta, untuk berkunjung ke Solo dan sekitarnya.

Ini era otonomi Bung!!! Setiap daerah harus berkompetisi agar tetap bertahan…


Yogyakarta, 030806

No comments: