Monday, June 13, 2005

Reuni Kedua, Menalukkan Waktu

Saat itu aku sedang bersantai di rumah. Termangu mendengarkan musik yang sayup-sayup mengalun. Hingga aku mendengar pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Siapa pikirku. Aku merasa jarang sekali ada yang mengetahui tempat tinggalku. Karena memang rumahku kubangun jauh dari hiruk pikuk keramaian. Aku bosan dengan keramaian, aku ingin menikmati kesendirian. Karena aku memang tercipta untuk sendiri. Tanpa anak dan istri atau mungkin juga keluarga.
Meski hatiku lumayan ciut membayangkan seandainya yang bertandang adalah orang jahat. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Setelah itu aku kehilangan kendali. Mereka ternyata bertiga, terdiri dua orang pria dan seorang wanita. Tiba-tiba saja mulutku dibekap dan aku langsung dimasukkan ke dalam mobil. Di mobil tanganku diikat di belakang, dan mulutku disumpal menggunakan kain serta mataku ditutup.
Mobil pun melaju entah kemana. Aku hanya tahu kami menempuh perjalanan yang termata jauh. Mungkin lebih dari satu jam perjalanan. Menyusuri daerah-daerah perbukitan. Aku hanya merasakan saja, karena tubuhku sering terguling-guling, dan aku menyimpulkan berarti kami sedang melalui jalan berkelok. Hatiku berdebar-debar akan dibawa sebenarnya aku. Dan apa pula salahku. Aku ulang kembali ke masa lalu, dan berpikir apakah aku mempunyai musuh? Ataukah ada orang yang pernah aku kecewakan? Semuanya tak ada, aku berpikir lebih keras lagi. Tapi tetap saja aku tak menemukan jawabannya.
Hingga akhirnya tibalah kami entah di mana. Suatu tempat antah berantah yang tak kukenali. Mereka membopongku memasuki ruangan. Pintu itu berderit keras ketika dibuka. Pastinya ini ruangan yang tak pernmah dipakai untuk waktu yang cukup lama. Kemudian mereka menghempaskan tubuhku begitu saja ke lantai. Setelah itu mereka baru membuka penutup mataku.
Aku ngeri melihat keadaan di sekitarku. Ternyata tempat ini sebuah gudang tua yang tak lagi terpakai. Barang-barang berdebu dan berantakan. Atapnya yang tinggi dipenuhi sarang laba-laba. Hari yang gelap saat itu membuat suasana semakin mencekam. Suara-suara tikus berdecit menyambut kedatangan kami. Mungkin mereka protes karena kedatangan kami mengganggu kenyamanan mereka. Aku tak terbayangkan ketika tikus-tikus itu menggerayangi tubuhku. Aku bisa mati berdiri karenanya. Di dunia ini entah mengapa aku sangat takut dengan tikus.
Mereka tak puas melepaskanku begitu saja. Mereka mengikat tanganku pada salah satu tiang penyangga yang ada di gudang tersebut. Konstruksi gudang itu memang disangga oleh banyak tiang yang tak jelas berapa jumlahnya. Aku tak sempat menghitungnya, karena otakku bukan digunakan untuk menghitung jumlah tiang. Tapi mencari tahu apa yang mereka inginkan dariku.
Lalu aku bertanya pada mereka apa yang mereka mau dariku. Baru kali ini aku bisa menatap wajah mereka satu persatu dengan jelas. Tampang mereka tidak menunjukkan ciri-ciri penjahat. Wajah mereka adalah tipikal orang baik-baik, meski agak kusam dan sepertinya sedikit putus asa. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang perasaan aku kenal wajahnya. Wajah itu sering berseliweran di layar televisi. Belakangan aku tahu kalau ia ternyata adalah pejabat penting republik ini.
Maka mulailah mereka bercerita dari awal. Siang itu, matahari lumayan terik. Di pinggir air mancur yang terletak di tengah kota. Duduklah dua orang anak manusia yang sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Pada awalnya merekja tak saling tahu satu sama lain. Karena terlalu sibuk dengan masalah masing-masing. Hingga akhirnya mereka berdua menyadari kalau mereka salaing kenal. Mereka berdua adalah teman satu SMA dulu, lama sekali karena sekarang umur mereka telah menjamah pertengahan abad.
Lalu Sang Pria yang duluan bertanya pada Si Wanita. Ada apa gerangan hingga siang bolong begini ia berada di air mancur itu. Maka berceritalahg Si Wanita tentang masalahnya, biasalah wanita di manapun adalah pendongeng yang ulung. Bahkan ketika kau tak menyuruhnya bercerita pun maka ia akan tak henti-hentinya berbicara.
Ia mengaku mengalami kesulitan keuangan saat ini. Ia takut menghadapi esok, karena semua orang akan menagih janji esok. Ia terlilit utang pada banyak pihak. Cicilan rumahnya sudah menunggak enam bulan, kartu kreditnya juga belum terbayarkan selama tiga bulan. Belum lagi kalung berlian dan perhiasan lainnya yang ia beli dari ibu-ibu arisan juga belum terbayar. Dan ia menjanjikan semuanya untuk menagih esok hari. Tapi hingga siang itu, dia belum dapat sepeserpun uang untuk membayar semua utangnya.
Ia sangat bingung akan apa yang ia lakukan. Ia takut menghadapi esok, esok berarti kiamat baginya. Rumahnya akan disita, debt collector akan mengancam membunuhnya atau menjebloskan ke penjara bila ia tak bisa membayar tagihan kartu kredit berserta bunganya yang telah membumbung tinggi. Hutangnya telah berlipat tiga kali, dari apa yang dipinjamnya dulu. Akibat ia terus menunggak pembayaran. Belum lagi bagaimana kalau pemilik perhiasan itu menagihnya, dan mengambil kembali perhiasannya. Bisa gawat..., bukan hanya malu karena tak bisa bayar. Namanya pun akan dicoret dari daftar ibu-ibu arisan. Dan ia akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan oleh teman-temannya. Kalau itu terjadi maka ia lebih baik mati, daripada harus menanggung malu akibat jatuh gengsi. Eh... tapi jangan bilang siapa-siapa ya pesannya pada temannya.
Si pria pun terkaget-kaget, ia jadi teringat beberapa hari yang lalu. Kebetulan mereka bertemu saat reuni. Tampaknya temannya yang satu ini hidupnya makmur, perhiasannya saja melimpah samapi orang-orang bergosip kalau dia seperti toko berjalan. Ia juga memamerkan kalau tinggal di kawasan mewah dengan fasilitas yang lengkap. Tidak menyangka tenyata kenyataan tak seindah yang dibicarakan.
Wanita itu gantian bertanya, ngapain juga kamu di sini masih dengan berpakaian lengkap. Pria itu memang masih dengan pakaian rapi kantoran lengkap dengan dasi, dan tas kerja. Dan pria itu pun mulai bercerita dan berkeluh kesah tentang kerjanya. Ia stres berat karena beban kerjanya yang di luar batas kemampuannya. Ia tiap hari harus pulang hingga larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannnya. Semuanya membuatnya merasa jenuh. Dan ia sangat kawatir bila pekerjaannya kali ini tak akan rampung esok hari. Padahal esok semuanya sudah harus selesai. Sementara itu suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Seandainya waktu dapat diperpanjang desisnya....
Wanita itu pun terkaget-kaget. Bukannya saat reuni kamu bilang kamu sangat menikmati pekerjaan dan kariermu yang terus menanjak. Saat itu dengan sangat yakin kamu membanggakan perusahaan tempatmu bekerja. Bahkan banyak lho yang memuji kariermu yang menanjak dan menjadi manajer top dalam waktu yang singkat, sahut Si Wanita.
Pria itu hanya terdiam sejenak. Lalu bergumam, itu kan hanya yang ada dipermukaan. Tak mungkin lah mengatakan hal yang buruk kal reuni. Reuni itu kan ajang pameran kesuksesan. Bukan ajang curhat tentang kemalangan. Gengsi dong dengan teman-teman yang lain, tambahnya.
Mereka pun melanjutkan perbicangan mereka, hingga mereka melihat sosok yang mereka kenal. Lho itu kan teman kita, pejabat publik yang sangat tersohor di negeri ini. Pria itu mengenakan pakaian safari berwarna bitu, khas pejabat negeri ini. Ada apa ya, kok dia juga sepertinya berwajah kusut? Mereka berdua saling berbisik.
Pria dan wanita itu lalu memanggil teman mereka itu untuk ikut bergabung bersama. Lalu bertanyalah mereka berdua pada Sang Pejabat, ada apa gerangan hingga wajahnya kusut seperti siang dirundung mendung. Dan mulailah Si Pejabat yang terhormat itu bercerita tentang kesulitan yang sedang dihadapinya saat ini.
Ternyata ia terlibat kasus korupsi dalam jumlah yang sangat besar. Bukan hanya dalam angka “M”, tapi triliunan rupiah. Wah... kedua temannya pun sampai ternganga mendengar ceritanya. Pejabat itu pun melanjutkan ceritanya, kalau besok polisi akan menyelidiki kasusnya. Dan ia sangat takut kasusnya akan diketahui publik. Dan dirinya akan menjadi bulan-bulanan pers. Ia mengeluh andai saja hari esok bisa ditunda, maka ia bisa mengatur strategi untuk menyembunyikan barang bukti, untuk menghilangkan jejaknya bahwa ia terkait dalam kasus korupsi itu.
Kedua kawannya yang lain hanya semakin terpana. Dalam hati keduanya berkata, sungguh tak dinyana. Pejabat publik yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang bersih, dan dihormati oleh masyarakat. Ternyata tak ada bedanya dengan pejabat-pejabat lain di republik ini. Belum lekang pula dalam ingatan mereka, saat reuni nama sang pejabat dielu-elukan karena menjadi penyumbang terbesar bagi sekolah mereka dahulu. Jangan-jangan uang yang disumbangkan juga hasil korupsi?
Setelah cerita itu berakhir. Ketiganya terpekur dalam sunyi. Masing-masing asyik dengan pikiran mereka sendiri. Suasana benar-benar sepi, hari mulai menjelang sore, matahari mulai meredup di ufuk Barat. Entah siapa yang mencetuskan ide pertama kali. Tiba-tiba salah satu dari mereka mempunyai idebrilian untuk menculik waktu agar mau menunda esok dan memperpanjang hari. Dan waktu itu adalah aku.
Jadi begitu ceritanya. Aku baru mengerti mengapa wajah mereka kusut begitu. Tapi aku tak cukup mengerti apa yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka? Tanyaku pada mereka bertiga. Mereka justru membetakku, dan mengatai aku berlagak pilon. Tapi aku memang benar-benar tak mengerti apa yang bisa aku lakukan. Tapi jawaban itu hanya membuat mereka naik pitam. Sang Pejabat tanpa segan-segan menyarangkan bogem mentah ke perutku. Ouh... sakit sekali rasanya, perutku seperti diremas-remas dan napasku tersengal.
Aku coba jelaskan aku tak punya hak atas berjalannya waktu. Memang benar aku adalah Sang Waktu. Tapi aku hanya berjalan berdasarkan apa yang telah digariskan. Aku ini hanyalah budak manusia, bukankah begitu? Kalian sendiri manusia yang membagi waktu. Manusialah yang menetapkan sehari adalah duapuluh empat jam. Satu jam, enam puluh menit, dan satu menit enam puluh detik.
Tapi mereka menyanggah, bukankah itu adalah kesepakatan dan bisa saja diubah menjadi satu hari empatpuluh delapan jam kek, atau berapapun it. Yang penting hari esok tak boleh datang begitu cepat. Duapuluh empat jam itu tak cukup. Iya benar, itu semua memang kesepakatan. Tapi jangan lupa bahwa di atas segalanya adalah hukum alam yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum alam tak bisa ditentang oleh manusia, apapun dan bagaimanapun kuatnya manusia bila Tuhan berkehendak maka tak akan ada yang bisa melawan.
Mereka tak perduli dengan omonganku. Justru mereka menghadiahiku bogem mentah kembali, yang kali ini bersarang di wajahku. Wajahku memar-memar jadinya. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan. Dalam hati aku justru tertawa. Mereka pikir dengan menyekapku maka hari akan terhenti. Karena aku waktu, yang bertugas memutar roda perputaran telah terlumpuhkan. Manusia yang menganggap dirinya makhluk yang terhebat di muka bumi ternyata bisa terlihat bodoh juga. Terkadang memang keadaan mebuat siapapun bertindak bodoh, dan tidak rasional. Semuanya berada diluar kendali, emosi lebih banyak berkuasa meski tak akan menghasilkan pemecahan apapun. Justru menimbulkan masalah-masalah baru.
Mereka bereaksi atas kebisuanku dengan melontarkan ancaman-ancaman serta terus memukuliku sekujur tubuh. Aku hanya pasrah, karena memang tak ada yang bisa kulakukan. Kubiarkan saja mereka menjadikanku karung tempat bertinju. Mungkin itu bisa meredakan sedikit emosi dan stres yang menggelegak dalam jiwa. Tapi toh masalah tentunya tak akan berhenti di sana. Memukul hanya membuang waktu yang tersisa untuk mencoba menyelesaikan masalah.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam kelelahan untuk terus memukul diriku. Dan aku tetap saja cuek dengan keadaan ini. Mereka akhirnya memohon-mohon padaku sambil menyembah. Sepertinya gelombang putus asa semakin mencekam dalam diri. Tapi aku tetap saja membisu, toh aku sudah menjawab segalanya. Berbicara hanya akan menghabiskan energi.
Dan tiba-tiba saja, ayam jantan berkokok. Pertanda hari telah menjelang pagi. Ketiganya berteriak histeris dan menangis meraung-raung. Ibarat mereka melihat hantu sedang menggoda di hadapan. Tapi semuanya telah terjadi, hari telah berganti. Semua harus dihadapi, apapun jadinya. Tangisan dan raungan tak akan menyebabkan masalah akan selesai begitu saja.


Jatinangor, 241204

No comments: