Tuesday, June 07, 2005

Pada Sebuah Negeri di Musim Gugur

Aku berjalan sendirian, di pagi hari ini yang sangat dingi. Terpaksa aku menggunakan mantel yang tebal, karena saat ini sedang musim gugur. Mantel setebal itu pun masih saja menyisakan perasaan kedinginan di tubuhku. Aku terus saja berjalan sambil memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Mereka berjalan sangat cepat, sepertinya hendak diburu oleh sesuatu. Atau aku yang berjalan terlalu lambat bagi mereka, ah siapa peduli dengan hal remeh temeh semacam itu.
Aku hanya ingin berjalan santai untuk menikmati daun-daun yang jatuh berguguran. Pohon-pohon mulai menggundul, ranting-ranting kesepian tanpa hijau dedaunan. Seakan merintih kesakitan atas setiap daun yang harus kembali berguguran. Awalnya aku ingin pergi ke supermarket, aku hanya ingin membeli ika asin dan aneka tetek-bengek untuk membuat sambel. Ehm..., alangkah lezat pikirku... Tapi sayang aku harus menelan kekecewaan karena apa yang kubutuhkan tak tersedia. Maka aku harus menelan air liurku untuk menikmati santapan itu.
Aku tak pernah berpikir kalau hanya untuk memasak hal sepele semacam itu terasa sangat mewah. Ya.... mungkin anda berpikir apa susahnya, karena anda berada di Indonesia. Sementara aku berada ribuan kilometer dari tanah air. Aku saat ini menitipkan raga ini, di sebuah kota bernama London, nun jauh di Eropa sana. Aku hanya sekedar ingin mengobati kerinduanku atas Indonesia melalui penganan itu, tapi itu pun ternyata tak semudah angan.
Aku percepat laju jalanku, karena hari terasa semakin dingin. Badanku mulai sedikit menggigil. Kutangkupkan kedua belajh tanganku di atas daad, demi sedikit menghela rasa dingin yang menusuk. Sudah cukup lama juga sebenarnya aku tinggal di sini, tapi tetap saja tubuhku ini tetap tidak mau berkompromi dengan cuaca yang sangat dingin. Aku tiba-tiba terhenti sejenak, karena melihat sebuah papan restoran yang ternyata menyajikan masakan Indonesia. Aku merasa sanga kaget sekaligus senang. Soalnya baru kali ini aku melihatnya dan tahu kalau ada restoran masakan Indonesia di London.
Memang biasanya aku tak pernah melewati jalan ini. Kebetulan saja tadi aku lagi iseng ingin mencoba sesuatu yang baru agar tidak monoton. Maka kutempuhlah jalur yang berbeda dengan yang biasanya aku lewati saat hendak ke supermarket. Tanpa ragu aku segera masuk ke restoran itu, di pintu masuk aku telah disapa oleh seseorang “Untuk berapa orang ya, kalau boleh tahu”. Sapaan ramah khas Indonesia, aku lumayan kaget karena sudah lama aku tak bertemu dengan orang berbahasa Indonesia. Rupanya ia tahu kalau aku dari Indonesia, mungkin terlihat dari wajah yang sangat Indonesia.
“Untuk empat orang Mas”. Aku tertegun sendiri dengan jawabanku, untuk empat orang bukankah aku seorang diri? Lalu pelayan itu mempersilahkan aku duduk di pojok restoran. Restoran ini bernuansa sangat Indonesia, semua furnitur dan pernik mengingatkanku pada Indonesia. Mungkin pemilik restoran ini sengaja mendesain demikian, untuk mengobati rasa rindu para perantau yang rindu akan kampung halamannya.
Aku memesan sepiring gado-gado dan segelas teh hangat. Sementara pelayan itu pergi menyiapkan hidangan yang kupesan. Anganku melayang jauh ke masa lalu. Aku teringat saat aku masih kecil orang tuaku sering sekali mengajak kami sekeluarga untuk makan di restoran. Pokoknya dalam sebulan minimal satu kali. Kami adalah keluarga kecil, hanya terdiri atas empat orang. Aku hanya mempunyai seorang kakak yang juga perempuan.
Makanya tadi aku memesan buat empat orang. Karena aku tak ingin diusik oleh siapapun ketiga bangku sisanya. Aku membayangkan mereka bertiga duduk di bangku yang ada. Kakakku di sebelahku dan kedua orang tuaku menghadap kami berdua. Itu adalah formasi tetap saat kami pergi ke restoran. Biasanya suasana akan sangat riuh, karena kami mengobrol tentang macam-macam, sambil menunggu pesanan tiba. Tapi sayang kali ini aku mesti sendirian.
Tapi lumayanlah aku bisa membayangkan masa lalu itu, meski itu hanya dalam angan. Wajahku tersenyum simpul sendiri, sambil membayangkan candaan-candaan di masa kecil. Untungnya saat itu restoran ini masih sepi belum banyak pengunjung berlalu lalang. Soalnya hari masih pagi, baru menunjukkan pukul sebelas. Coba kalau waktunya makan siang, pasti penuh juga restoran ini.
Kehangatan keluarga itu, yang dulu bagiku biasa-biasa saja. Ternyata menjadi luar biasa dan mahal kala aku jauh. Betapa aku baru mengerti begitu berartinya mereka setelah aku jauh, sangat jauh. Mengapa segala sesuatu harus terlambat disadari? Mengapa kita menghargai sesuatu ketika itu telah pergi? Yah... semua telah terjadi tapi ini adalah pelajaran berharga.
Lamunanku terganggu oleh suara pelayan yang mengantarkan pesananku. Gado-gado dan segelas teh hangat. Wow... sepertinya menggairahkan, saat kumelihat sepiring gado-gado yang tersaji dihadapanku. Tapi setelah kucoba sesendok, aku merasa agak sedikit kecewa. Ternyata rasanya tak seenak yang di Indonesia. Aku tak tahu memang karena rasanya berbeda yang disebabkan bahan-bahannya mungkin tak asli diimpor dari Indonesia, hingga cita rasanya jadi berbeda. Atau ini hanya soal perasaan, perasaan yang menggiring otak untuk berkata bahwa makanan apapun tak akan seenak, seperti halnya bila makanan itu disajikan di tempat asalnya. Maklumlah manusia itu lebih banyak berpikir menggunakan perasaan daripada rasio.
Entahlah apa yang terjadi, tapi aku jadi teringat dengan Ibu. Karena Ibu jago dalam membuat gado-gado. Kebetulan Ibu memang hobi memasak, terutama buat keluarganya. Tapi masakan Ibu yang pailng favorit bagiku ya gado-gado.
Air mataku mulai berlinangan kalau aku mengingat Ibu. Soalnya aku telah mengecewakannya. Meski perasaan itu tak diungkapkannya. Ia memang begitu penuh pengorbanan, ia begitu perduli pada orang lain yang mengalami kesusahan. Tapi ia selalu menutupi semua kesedihan dan kekecewaannya. Bibirnya tetap saja tersenyum, meski pada saat yang sama hatinya merintih.
Aku merasa sedih karena kepergianku ini telah meninggalkan banyak luka bagi Ibu. Ibu sebenarnya tak setuju kala aku menikah dengan suamiku. Bukan karena suamiku orang jahat, atau tak bertanggung jawab, atau apa. Tapi ia adalah orang Inggris, orang bule kata orang Jawa.
Ibu ingin aku menikah dengan orang Indonesia saja. Jadi aku tak perlu terbang jauh, meninggalkan dirinya dan keluarga. Aku masih ingat dengan pertanyaannya saat itu.
“Nduk apakah kamu benar-benar sudah yakin akan menikah dengan bule itu?”
“Iya Bu, aku sudah yakin seratus persen, kaalu tidak dengan dia aku lebih baik tidak akan menikah”, jawabku dengan merajuk dan bernada ancaman.
“Ya sudah..., kalau mau kamu begitu ya terserah. Tapi Ibu hanya titip pesan Nduk, menikah dengan bule yang berbeda budaya itu tidak semudah yang dibayangkan lho. Tapi kalo kamu sudah yakin, ya Ibu ndak bisa apa-apa selain merestui.”
Itulah sepenggal dialog antara aku dan Ibu saat itu. Ingatan itu tiba-tiba saja hadir di tengah kerinduanku akan tanah air. Kata-kata itu sangat jelas dalam ingatanku. Serpihan-serpihan masa lalu itu tersimpan rapi dalam memori otakku. Memanggil-manggilku untuk mengenang kembali masa-masa itu.
Setelah serangkaian dialog itu. Aku melihat redupnya raut wajah Ibu, sinar matanya yang biasanya berbinar pun turut gulita. Demi mengelabui kesedihannya dihadapanku, ibuku segera beranjak menuju kamar. Entah apa yang dilakukannya di sana mungkin menangis. Ia tak ingin kesedihannya akan mengubah pendirianku. Ia lebih memilih mengorbankan perasaannya dibandingkan aku.
Bila mengingat kembali pesan Ibu itu, aku merasa menyesal. Karena ternyata apa yang Ibu bilang ternyata ada benarnya juga. Cinta saja ternyata tak cukup ketika menikah. Aku dulu begitu menggebu dengan cinta, apalagi pacarku pria bule. Pria bule lebih romantis dibanding pria Indonesia. Apalagi bisa menggaet cowok bule adalah kebanggaan dan prestasi tersendiri.
Kehidupan pernikahan yang baru beberapa waktu kujalani, terbukti tak seromantis kala aku berpacaran dulu. Saat ini suamiku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia sering pulang larut malam, sementara aku hanya sendirian berteman sepi. Suasana kota ini pun terasa sangat asing bagiku, karena aku tak banyak mengenal orang lain di sini.
Apalagi di sini tak banyak orang yang gemar mengobrol santai. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada cerita layaknya di Indonesia, Ibu-Ibu yang berkunjung ke tetangga sebelah hanya sekedar saling meminjam bumbu dapur. Aku mulai merasa bosan dan kesepian.
Suamiku masih saja romantis seperti dulu, ia pun masih memperlakukanku dengan baik. Tapi waktunya telah banyak terampas untuk pekerjaan. Sangat berbeda dengan dulu saat kami pertama kali bertemu dan berpacaran. Tentu saja, kala itu kan dia sedang berlibur. Jadi waktunya bisa kami habiskan berdua, dan dunia serasa milik berdua.
Setelah masa liburannya habis, ia balik ke London. Tapi kami masih saling berhubungan. Baru tahun berikutnya ia kembali ke Indonesia dengan rencana untuk menikahiku, sekaligus memboyongku ke negerinya. Saat itu semuanya hanyalah keindahan, pesta meriah yang dihadiri banyak tamu dan sanak keluarga. Hingga akhirnya aku terbang menjemput masa depanku di negeri yang jauh.
Sayangnya saat itu Ibu tak mau mengantarkan aku ke bandara. Alasannya saat itu, ia tidak enak badan. Bodohnya, kala itu aku percaya saja. Baru sekarang aku sadari, ia tak rela hendak melepas anaknya menuju suatu negeri asing. Ia tak ingin jiwanya tersayat detik demi detik melihat burung besi itu perlahan-lahan melaju dan terbang memisahkan kami.
Akhirnya hanya kakakku yang mengantar aku hingga Bandara Soekarno-Hatta. Sementara bapakku pun tak ikut mengantar, menemani ibu di rumah. Tapi ibu tetaplah ibu, ia tetap saja tersenyum melepas kepergianku. Dan itu membuatku tenang pergi menginggalkan semuanya, karena aku pikir tak ada masalah.
Ibu..., seandainya waktu bisa diputar kembali. Andai aku mampu melompat ke masa lalu. Maka aku akan tunduk pada nasihatmu, Ibu. Maafkan aku yang telah membuat dirimu dan diriku sendiri menderita. Maafkan untuk semua ketidakpekaanku atas perasaanmu. Maaf pula untuk diri ini yang hanya membuatmu kecewa, tanpa sekalipun membuatmu bahagia.
Tapi semuanya telah terjadi, pilihan telah ditetapkan. Kenyataan harus dihadapi, meski itu menguras air mata. Pernikahan bukanlah mainan, bila bosan maka dengan mudah diakhiri. Aku tak ingin menyayat hati ibu kembali dengan berita perceraian. Air mataku makin deras saja menghujani wajahku. Diriku luruh layaknya dedaunan di atas dahan kala musim gugur.
Aku segera memanggil pelayan untuk membayar semua pesananku. Gado-gado yang menurutku tak enak itu pun habis juga tanpa terasa. Karena aku menyendok dan mengunyah tanpa menikmatinya, justru menikmati nostalgia. Aku serahkan sejumlah uang pada pelayan. Lalu meninggalkan sisanya sebagai tip baginya.
Aku pun bergegas meninggalkan restoran itu, dengan berbagai bayang-bayang dan adonan perasaan yang campur aduk. Tiba-tiba muncul ide dalam benakku untuk menelepon Ibu dan keluarga di Indonesia. Pasti Ibu akan senang bila aku meneleponnya. Kehadiranku meski hanya terwakili oleh suaraku, kuharap bisa sedikit menebus dosaku, dan menambal luka dalam hati ibuku.
Ibu maafkan aku..................................

No comments: