Tuesday, July 01, 2008

Sex and the City: Drama Kapitalisme yang Kesepian

Beberapa waktu yang lalu, aku dan beberapa orang teman nonton film Sex and The City. Motivasi utama karena penasaran saja, bagaimana akhir cerita dari serial drama ini yang sempat booming beberapa tahun lalu. Teringat waktu jaman kuliah dulu, biasanya nonton bareng-bareng dikosan teman, untuk menghibur diri dengan drama para wanita New Yorker dengan gayanya yang berani dan agresif.

Lalu bagaimana dengan filmnya? Tidak menecewakan, masih tampil dengan gaya khas Sex and the City, hamburan Manolo Blahnik, Louis Vuitton,dan produk bermerek lainnya. Masih juga tentang Samantha yang selalu tak tahan dengan godaan pria-pria muda yang tampan nan seksi.

Namun dibalik kesuksesan film ini menghibur. Ada sebuah cerminan dari problematika masyarakat kapitalis Amerika. Bukankah sebuah produk budaya, adalah cerminan dari dinamika masyarakatnya???

Dibalik keglamoran kehidupan keempat wanita setengah baya Carrie, Samantha, Miranda, dan Charlotte. Tersimpan problema masyarakat kapitalis yang mengalami kekosongan jiwa, dan kerinduan akan cinta dan kasih sayang. Lihatlah kehidupan Charlotte yang serba sempurna, rumah mewah, suami yang baik. Namun hidupnya kurang lengkap, karena ia belum juga mempunyai anak sendiri. Seperti bisa ditebak, Charlotte akhirnya hamil dan melahirkan anak perempuan yang cantik.

Lain lagi dengan Miranda, yang sempat gonjang-ganjing pernikahannya akibat perselingkuhan. Suaminya Steve mengaku tidur dengan wanita lain, karena Miranda sejak lama ogah diajak bermain sex. Miranda terlalu stres dengan pekerjaan, dan mengurus keluarga, yang membuatnya hampir frigid. Pernikahan mereka akhirnya dapat diselamatkan, dengan sebuah cara rekonsiliasi yang sangat irasional. Suatu ide yang menjungkirbalikkan cara berpikir Miranda yang sangat rasional, dan penuh perhitungan.

Berkebalikan dengan Miranda, Samantha penggila sex, punya kekasih yang jauh lebih muda dan seksi. Kehidupan sexnya masih seminggu 3-4 kali. Namun ia tak mampu menahan godaan pria seksi tetangga sebelah, yang sangat menggoda. Di tambah lagi ia merasa kesal dengan kekasihnya yang makin lama makin sibuk. Sementara ia hanya di rumah, dan dipenuhi semua kebutuhannya. Ia merasa kehilangan independensinya, walaupun semua kebutuhannya dipenuhi.

Adegan paling kentara mengenai hal ini, terlihat saat Samantha yang sedang stres meredam godaan Sang Pria Seksi dengan berbelanja beberapa buah tas Louis Vuitton dan berbagai produk bermerek lainnya. Namun pada akhirnya, Samantha lebih memilih meninggalkan keglamoran LA, dan kekasihnya. Karena ia merindukan kebebasan, independensinya, serta kebersamaan dengan teman-temannya di New York.

Paling mencolok dari kejenuhan kapitalisme dipertontonkan oleh kehidupan Carrie. Seorang penulis sukses, yang pernikahannya akan disponsori oleh majalah Vogue, sebagai pernikahan impian Amerika. Pernikahan yang bertaburan produk kelas satu mulai dari Vivian Westwood, Carolina Herera, wedding organizer terbaik, dan deretan perancang terbaik lainnya. Namun ternyata pesta pernikahan akbar itu tidak berakhir sempurna bak dongeng. Mr Big, calon suaminya dilanda keraguan di saat-saat terakhir sebelum pernikahan.

Carrie akhirnya harus belajar menata hidupnya sendiri, bertemu dengan seorang Personal Assistant yang memakai tas Louis Vuitton (LV) sewaan. Adegan paling mengharukan adalah dalam sebuah dialog yang kira-kira seperti ini, "Ini adalah tas LV paling worthed yang perna kubeli". Tas Louis Vuitton ini dibeli oleh Carrie untuk Personal Assitant-nya. Cerminan tentang pemujaan pada LV ternyata bukan segalanya, tapi berbagi kebahagiaan merayakan LV bersama Personal Assistant-nya lah, yang membuat hidup lebih berarti.

Di akhir cerita, Carrie bisa ditebak menikah dengan Mr Big. Namun bukan dengan pernikahan meriah ala Cinderella, bukan di sebuah hall besar dengan gaun pengantin terbaik. Namun hanya pernikahan sangat sederhana, seperti halnya kebanyakan pasangan pas-pasan di catatan sipil, dimana hanya ada mereka berdua. Yayaya, hanya mereka berdua, dan tentunya para hakin, dan antrian pengantin berikutnya yang mirip pernikahan massal. Dan ditutup dengan manis, kejutan kehadiran tiga orang sahabatnya...

Sex and the City sebenarnya tidak lagi bicara tentang pemujaan pada kemewahan dan produk bermerek. Tapi lebih pada menunjukkan, keempat wanita New Yorker yang sukses ini, telah jenuh dengan kapitalisme. Kapitalisme dengan kemewahan individualnya membuat mereka terasing. Mereka ingin kembali pada kesederhanaan, kembali pada pelukan keluarga, dan teman-teman...

Jakarta, 010708
Untuk Sebuah Pagi...

1 comment:

Anonymous said...

I love SJP. keren banget si sarah jessica parker ini :D