Monday, November 20, 2006

Mengolah Ingatan Masa Lalu Lewat “Denias”



Film Denias entah mengapa mampu memberikan dorongan cukup kuat buatku untuk pergi ke bioskop. Maklum aku orang yang sangat jarang ke bioskop. Alasan pertama, aku tipikal orang yang lebih suka membaca daripada menonton. Kedua, aku bisa bangkrut kalo sering-sering nglencer ke bioskop.

Mengapa akhirnya dibela-belain nonton bioskop sendirian, demi Denias??? Pertama temanya yang mengangkat kisah nyata seorang anak Papua dari suku tertinggal yang bersemangat untuk sekolah menggugahku… Karena aku juga orang yang percaya pendidikanlah yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih baik.

Kedua, aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan pada perkembangan film nasional. Aku hanya ingin membuktikan komitmenku pada bangsa ini, dengan memberikan penghargaan pada kreasi anak bangsa.

Dan ternyata tidak salah, film ini membuatku menangis terharu, sekaligus membuatku tertawa terpingkal-pingkal dengan tingkah lugu mereka. Aku pun tersenyum-senyum simpul, karena beberapa kenangan masa lalu seperti tersibak kembali…

Yayaya, bumi Papua adalah tempat dimana aku dilahirkan. Logat bicara Denias, dan para tokoh lainnya dalam film ini, mengingatkanku pada masa-masa dulu... Semuanya sangat khas Papua. Sesuatu yang mungkin tidak pernah dikenal di luar Papua. Misalnya istilah suwanggi untuk setan, lalu penggunaan akhiran kah yang mungkin tidak lazim bagi orang-orang di luar Papua.

Lalu hukuman yang menggunakan cambuk dari rotan, membuatku mengingat masa-masa SD di Sorong. Memang benar, di Papua ketika seorang murid melakukan kesalahan maka ia akan dihukum dengan dipukul kakinya dengan sebilah rotan. Aku tak tahu apakah di semua daerah, dan di semua sekolah. Tapi paling tidak di sekolahku memang begitu...

Belum lagi, lagi-lagu asli Papua yang mengiringi film itu, membawaku pada kenangan di saat-saat terakhir sebelum aku meninggalkan tanah Papua. Ketika itu aku menjadi salah satu penari yospan (Yosim Pancar), tarian khas Papua. Tarian ini dipentaskan di sekolah, untuk sebuah acara yang aku lupa hehehe (maklum aku di sana hanya hingga kelas 4 SD, itu berarti lima belas tahun lalu). Dan lucunya dari kalo gak salah sepuluh orang penari, tak ada satupun yang asli Papua, semuanya keturunan pendatang (misal Jawa, Ambon, Ternate).

Film yang sangat tidak rugi untuk ditonton. Film yang bukan hanya memberikan inspirasi baru, tapi juga membangkitkan romansaku dengan masa lalu. Masa-masa yang indah, masa kanak-kanakku yang sebagian besar kuhabiskan di Papua... Karena di Papualah aku benar-benar belajar apa arti toleransi, dan hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama.


Yogyakarta, 191106

No comments: