Wednesday, September 07, 2005

Siapa Yang Lebih Jawa?

Pemikiran ini bermula dari pendapat beberapa teman di MM UGM, yang tidak menyangka kalo aku orang Jawa. Berumah di Karanganyar, beberapa kilometer dari kota Solo ke arah timur. “Kok gak kayak orang Jawa?” Hampir sebagian besar mengatakan seperti itu.

Mungkin karena logat jawaku memang tak sekental yang lain. Logatku lebih banyak gaya ala Jakarta atau Sunda, berhubung aku lebih dari empat tahun tinggal dan berkuliah di Bandung. Namun di sana pun aku dianggap masih berlogat kejawa-jawaan. Jadi, siapakah diriku yang tampaknya tak memiliki identitas ini?
Ya aku adalah anak Indonesia sejati. Terlahir di Sorong, Papua, dan menghabiskan masa kecil di sana. Lalu pindah ke karanganyar semenjak kelas empat SD, dan tetap di Karanganyar hingga SMU. Lalu hijrah ke Bandung untuk kuliah di HI UNPAD. Dan sekarang nyangkut di Yogya.

Perjalananku melanglang buana ke beberapa tempat memang meninggalkan jejak karakter yang terus aku bawa. Belum lagi aku juga membawa banyak karakter orang-orang Barat, karena banyaknya persentuhanku dengan pemikiran-pemikiran orang Eropa dan Amerika selama belajar di HI. Mengapa aku mengatakan itu, karena salah seorang temanku gaya berpikirku adalah Barat.

Inilah mungkin membuat kepribadianku sangat unik. Tak bisa dikotakkan dalam satu kategori tertentu. Namun sebagai acuan dasar aku tetaplah orang Jawa. Aku mengagumi tradisi Jawa lebih dari peradaban manapun. Walau aku juga pengkritik yang sangat lantang atas beberapa aturan yang mengekang, dan sangat dangkal.

Di balik semua kritikan pedas itu, mungkin tak banyak yang tahu. Aku dapat dibilang lebih mengerti tentang esensi kejawaan dibanding teman-teman segenerasi. Aku mungkin lebih mengerti tentang filosofi pewayangan, dibanding teman-temanku yang lebih mengenal komik Jepang atau film Hollywood.

Saat yang lain sibuk dengan figur komik Jepang, aku justru asyik bercekerama dengan sosok Semar, Arjuna, dan Yudistira. Saat yang lain belajar tentang nilai-nilai hitam putih ala Barat. Aku justru bergulat dengan abu-abunya nilai-nilai yang ditawarkan dalam dunia pewayangan.

Aku lebih fasih menembangkan tembang Macapat dibanding teman sebaya yang menggilai lagu pop Amerika. Walau mungkin teman yang lain, dari penampilan luar lebih Jawa. Gaya bahasanya sangat medok, tinggal dan besar di Jawa. Wah lumayan ironis kan sebenarnya?

Ini bukan tentang keluhan karena aku tak dianggap Jawa atau apapun. Itu tak penting sama sekali. Tapi tulisan ini untuk membuat kita belajar. Esensi lebih penting dari sekedar bentuk. Orang Jawa lebih menyukai bentuk yang sempurna, tapi esensinya tak ada. Kita sibuk dengan pencarian bentuk terbaik, tapi lupa bahwa bukan itu yang paling penting.

Yogyakarta, 060905

No comments: