Wednesday, October 19, 2005

Petualangan Yann Martel dalam “Life of Pi”

Beberapa waktu yang lalu aku baru merampungkan novel Yann Martel, berjudul “Life of Pi. Novel ini sangat terkenal bahkan menjadi best seller di mana-mana sekaligus memperoleh penghargaan Booker Prize (penghargaan bergengsi untuk penulis-penulis dari negara-negara persemakmuran Inggris).

Novel ini berhasil menggabungkan banyak hal dalam satu rangkuman apik, mirip ensiklopedia. Menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan yang maha luas dari pengarangnya. Ia berhasil merangkum aspek-aspek ilmu biologi, dengan keagamaan, ditambah lagi dunia antropologi, filsafat ilmu dalam satu cerita.

Namun aku ingin berbagi tentang novel ini dari sudut pandang yang berbeda. Aku justru tertarik dengan bagian akhir novel ini, yang entah mengapa lebih banyak membetot perhatiankul, sekaligus membuatku banyak merenung.

Adegan yang paling kusukai adalah dialog antara Pi Pattel dan dua orang Jepang yang ingin tahu tentang penyebab tenggelamnya kapal Tsimsum yang ditumpangi oleh Pi. Bagian ini mungkin hanya memperoleh jatah tak lebih dari empat puluh halaman, namun pesan yang ingin disampaikan cukup padat dan sangat mengena.

Apa yang menarik? Yann Martel menyindir habis-habisan gaya orang Jepang yang penuh dengan basa-basi. Orang Jepang yang tak pernah berkata jujur bila mereka tak menyukai sesuatu. Yang menarik adalah ia bisa menggambarkannya dengan sangat indah, dan nyata, menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang masyarakat Jepang.

Yang kedua, Yann Martel melalui kedua orang Jepang itu, menyindir betapa penyebab tenggelamnya kapal itu lebih penting daripada nasib seorang korban selamat dari tragedi mengerikan itu. Si korban dianggap cukup hanya dengan asuransi kecelakaan yang akan dibayarkan. Ironis sekali tampaknya? Namun bukankah itu kenyataan?

Bukankah kita lebih perduli akan kepentingan kita, dibandingkan berusaha memberikan simpati yang tulus atas kesusahan orang lain? Novel ini hanyalah memotret realita.

Ketiga, dengan apiknya ia berhasil menggambarkan ironi tentang persepsi manusia yang lebih menyukai cerita dramatis, sekaligus sadis. Ini terlihat dari orang-orang Jepang yang justru lebih percaya cerita, bahwa hanya tersisa empat orang selamat, lalu mereka saling membunuh untuk bertahan hidup, dan memakan daging orang yang telah dibunuhnya. Dibanding versi sebelumnya, kalau Pi satu-satunya yang selamat, bersama beberapa ekor hewan yang terdiri dari seekor Orang Utan, Zebra, dan Harimau.

Novel ini memang pantas untuk mendapatkan penghargaan sekelas Booker Prize, karena dengan bahasanya yang mudah dicerna, berhasil menohok hati nurani yang terdalam, sekaligus merenungi banyak hal.

Yogyakarta, 191005

No comments: