Tuesday, October 11, 2005

Seniman Yang Lebih Genit

Beberapa bulan lalu, aku membaca sebuah artikel di koran Kompas. Yang jelas aku mendadak geregetan dan emosi baca artikel itu. Mau tahu sebabnya? Artikel itu mengkritik keras seni yang dianggap telah menjadi komoditas kapitalis.

Pada titik ini mungkin aku masih bisa menyetujui, walau tidak sepenuhnya. Dalam artian beberapa seniman berkarya lebih berorientasi agar karyanya laku di pasar, bukan demi mengembangkan sisi kreatif, dan pengembangan seni itu sendiri.

Namun yang aku tidak sepakat adalah, bila memang karyanya bukan “pesanan”, serta berkualitas namun laku di pasar. Apakah juga harus di cap murahan, dan pop? Ini kan hanya menunjukkan kesan, berteriak-teriak tanda tak mampu. Bukankah begitu?

Di sisi lain, dari artikel itu aku mendapat kesan, seniman itu haruslah dekil, hidupnya gak teratur, dan semau gue. Sementara orang yang juga sama-sama kreatifnya, namun orang kantoran, rapi jali, dan hidupnya teratu,r dianggap bukan seniman. Mereka-mereka ini hanya dianggap orang yang aji mumpung, dan dicurigai melacurkan seni.

Mungkin saja aku salah dalam menginterpretasikan artikel itu. Tapi aku jadi bener-bener kesal dibuatnya. Padahal kenapa juga harus kesal? Entahlah kadang aku bereaksi berlebihan dengan isu-isu macam ini. Aku merasa ini tidak adil, dan cara pandang yang beginian harus diubah.

Aku sangat kecewa, karena selama ini, kuanggap seniman pemikirannya lebih terbuka dan toleran, ternyata sama aja. Merasa dirinya lebih hebat, merasa dirinya tak bisa dibandingkan dengan yang lain. Merasa eksklusif, uhhhh kata-kata yang membuat aku merinding.

Maka aku pun menyimpulkan, ternyata bukan hanya kaum intelektual aja yang kegenitan. Ternyata eh ternyata, para seniman yang terhormat pun, buju bunehhhh genitnya gak ketulungan.


Yogyakarta, 111005

No comments: