Tuesday, September 27, 2005

Jamu Selebritisss, Apa Pula Ini???

Mungkin beberapa orang begitu penasarannya dengan “jamu selebritis”. Yang jelas ini singkatan dari janda muda selebritis. Kalo Anda penikmat gossip dan infotainment pasti tahu banget, kalo banyak artis-artis yang bercerai dalam durasi pernikahan yang baru beberapa tahun atau bulan.

Dari fenomena ini kita bisa belajar tentang fenomena sosial. Yang jelas kebanyakan dari perceraian itu disebabkan perbedaan penghasilan antara suami dan istri. Tiba-tiba saja para wanita mempunyai penghasilan yang lebih besar dari suaminya.

Fenomena ini bukan hanya melanda kaum selebritis tapi masyarakat kita secara keseluruhan. Cuman karena mereka selebritis maka mereka lebih terekspos. Dan efeknya adalah konflik dalam rumah tangga.

Pada satu sisi muncul tuntutan yang berbeda dari perempuan masa kini dibanding generasi sebelumnya, karena posisi tawar yang lebih tinggi. Di sisi lain, para lelaki dan masayrakat belum siap dengan fenomena ini.

Para perempuan merasa mereka tak perlu lagi mempertahankan perkawinan mereka yang dianggap tidak bahagia. Mereka tak mau kompromi lagi, karena saat ini mereka tak bergantung lagi secara finansial pada pria.

Di sisi lain pria juga memilih bercerai karena merasa jatuh gengsi ketika istrinya berpenghasilan lebih tinggi. Konflik menjadi lebih runcing karena hal semacam ini menjadi cibiran di masyarakat. Makanya cerai menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan segalanya.

Lalu apa dampaknya ke depan? Generasi baru yang frustasi, mengapa? Karena kebanyakan dibesarkan oleh single parent. Mereka kehilangan figur salah satu orang tua. Dan juga menyimpan trauma yang sangat mendalam atas perceraian orang tuanya. Yang mungkin akanmenimbulkan perilaku ekstrim di kemudian hari.
Kekerasan, mudah stres, emosional, frustasi adalah sebagian dampak yang akan terjadi.

Semoga saja itu tak akan pernah terjadi. Sangat menakutkan untuk dibayangkan.


Yogyakarta, 260905

Agama???

Menarik sekali ada seseorang yang menanyakan mengapa aku tak menulis soal agama? Honestly, aku adalah golongan yang sangat apriori dengan agama. Harus diakui memang agama mengajarkan tentang kebaikan, moralitas, dan ajaran-ajaran ideal lainnya. Tapi cobalah lihat di lapangan. Agama dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk pembenaran tindakannya. Kekerasan, perusakan semuanya atas nama agama. Dengan membawa simbol-simbol agama.Peperangan banyak terjadi juga karena membela agama.

Aku lalu berpikir seandainya dunia tanpa agama, mungkin dunia lebih damai. Semua orang tak akan merasa paling hebat dan apa yang diperjuangkan paling benar. Hingga tak perlu ada korban lagi atas nama pembelaan agama. Sejarah terlalu banyak mencatat momen tragis semacam ini.

Lalu apakah aku tak percaya dengan Tuhan? Surely aku percaya, manusia atau apapun pasti ada yang menciptkan. Tapi aku kok memilih untuk tidak berafiliasi terlalu mendalam dengan agama apapun.

Bagi beberapa orang ini mengejutkan. Tapi ya nggak papa, asalkan aku jangan didemo atau apapun untuk ini. Dengan cara ini aku merasa lebih nyaman untuk berhubungan dengan siapapun. Tak pernah merasa takut, atau curiga dengan orang lain.

Aku lebih menyukai kata-kata spritualisme,walau aku belum banyak membaca soal beginian. Yang jelas aku tak dibatasi dengan sekat-sekat tertentu. Yang tahu hubungan antara aku dan Tuhan kan aku sendiri. Apakah aku harus begitu narsisnya menunjukkannya pada orang lain.

Toh menurutku, agama hanyalah salah satu cara untuk menjalin hubungan manusia dengan Tuhannya. Ada banyak cara lain yang berbeda-beda, dan mungkin minoritas, tapi patut dihargai. Manusia kan hanya bisa meraba, berdasar atas akalnya. Jadi siapa yang berhak mengatakan dirinya lebih benar dibanding orang lain. Dengan begitu bukankah manusia tanpa sadar telah mengangkat dirinya sebagai Tuhan???

Dan beberapa tulisan tentang mengapa aku lebih suka tak menjalankan ritual agama akan dirangkai dalam beberapa tulisan berikutnya.

Yogyakarta, 260905

Tuesday, September 20, 2005

Burung-Burung Rantau

Judul ini aku pinjam dari salah satu karya YB Mangun Wijaya, yang hingga sekarang masih penasaran untuk membacanya, karena dulu hanya sempat baca sebagian di perpustakaan fakultas Sastra UNPAD.

Namun aku bukan ingin bercerita tentang novel. Aku ingin bercerita tentang teman-teman di HI, yang sangat tepat dikatakan sebagai burung rantau. Kenapa? Karena sebagian besar dari mereka telah menyebar ke berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia. Beberapa bersekolah ke luar negeri, baik di Australia, Jerman, Jepang, ada pula yang baru berangkat ke Rusia. Wow Rusia, cukup aneh bukan???

Mereka juga telah menggeluti berbagai macam pekerjaan mulai dari desainer, asyiknya dunia showbiz, kerennya jadi diplomat, perusahaan MNC, sampe bankir, atau yang menuntut idealisme seperti di INGO atau wartawan.

Wow that amazing, jadi kalo mendengar kabar dari mereka, senang rasanya. Ada banyak referensi tentang banyak hal, kita bisa saling tukar informasi lewat milis. Berbagi pengalaman dari berbagai perspektif.

Ya... sangat jelas sejak kita masuk bersama-sama di HI UNPAD, kita terdidik untuk berjiwa petualangan. Belajar terbang menggapai banyak impian. Belajar untuk menjadi petarung yang handal, tak takut dengan tantangan dan risiko. Kita justru belajar untuk menaklukkan banyak rintangan Karena kuliah di HI sendiri udah kebanyakan masalah he... he...

Beruntung sekali aku punya banyak teman hebat, dalam komunitas ini. Seandainya aku tak bertemu dengan mereka belum tentu aku menjadi seperti yang sekarang. Aku tak bisa mengatakan, apa yang didapat hasil sendiri. Ada faktor lingkungan yang memberikan stimulus dan respon, dari setiap hal yang kupunya. To all my friend, kepakkanlah selalu sayapmu, terbanglah kemana pun jua.

Lalu kita semua akan berbagi tentang perjalanan masing-masing, tentang indahnya negeri sebrang, tentang uniknya perspektif yang berbeda, tentang pengalaman mengasyikkan. Karena mimpi dan jalan hidup kita membawa ke arah yang berbeda, mungkin berlawanan?? Tapi kita tetaplah satu, beridentitas HI UNPAD.

Aku pengin banget someday kita bisa ketemuan bareng lagi, main kartu lagi. Ngocol bareng lagi, atau nonton bioskop se-RT, kayak pas pertama kuliah dulu. Atauuu melanjutkan kebiasaan ABG Bandung, foto-foto di Jonas ha... ha... Masa-masa indah yang selalu dikenang...


Yogyakarta, 200905

Monday, September 19, 2005

Dan Hollywood Berbohong...

Entah dari mana sumbernya, majalah, koran tabloid, buku teks atau tv lupa dah pokokna. Aku pernah membaca 67% orang AS mengalami obesitas alias kelebihan berat badan. What???? Ini kan berarti 2/3 dari mereka kegemukan, atau lebih jelasnya lagi 2 dari 3 orang yang akan kita temui di AS secara acak sambil merem sekalipun, kelebihan berat badan???

Lalu dihubungkannya dengan film-film Hollywood yang sering diputar di bioskop atau yang kutonton dari VCD or DVD bajakan. Kok kayaknya 100% orangnya langsing-langsing, dan seksi ya???

Maka teringatlah aku tentang “Simulacra”, yang dicetuskan oleh Boudrillard. Sapa tuh??? Boudrillard adalah seorang pemikir postmodernisme yang mengkritik habis-habisan tentang media massa. Asalnya dari Perancis, udah ketahun kali dari namanya...

Dia mengatakan apa yang kita lihat dari televisi atau media lainnya, adalah kebenaran dalam media. Bukan kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, sebenarnya kita hidup dalam simulacra atau simulasi. Kenyataan yang kita konsumsi dan persepsi dari media adalah kenyataan yang palsu. Kok berat amat ya berpikirnya??? Enggak juga kok.

Ibaratnya kita hidup dalam realitas panggung sandiwara, waduh ada hubungan apa ya Boudrillard dengan Nicky Astria???? Apakah Nicky pernah selingkuh ama dia??? He... he...

Gampangnya ya realitas tentang orang-orang AS yang ditampilkan Hollywood, ternyata jauh dari realitas kehidupan AS. Padahal kita terlanjur bermimpi dan tergiur pergi ke AS, menjala cewek-cewek seksi, seperti yang kita bayangkan dalam film Hollywood. Dan yang ditemukan adalah wanita-wanita yang kelebihan berat badan, dan penonton kecewa...

Jadi, begini lho, apa yang kita lihat melalui media itu bukan keadaan yang nyata. Jangan terlalu bergantung pada media. Karena media juga punya kepentingannya sendiri. Mereka bisa memainkan persepsi kita seenak udelnya. Tinggal pinter-pinternya Anda, apakah mo nelan mentah-mentah, atau mo mengkritisinya.
Lha monggo..., ini kan masalah selera...


Yogyakarta, 190905

Biaya Kesuksesan

Pemikiran ini berawal dari sebuah pernyataan seorang teman, yang cuku menyentak, “Kayaknya kalo aku jadi adikmu, aku bakalan stres deh.” Lalu aku mulai merenungi, mengapa stres, dan ada apa denganku?

Kesuksesan yang diraih, kalo memang dianggap sukses. Walau aku lebih suka menyebutnya, menggapai mimpi yang kudamba. Ternyata membawa dampak negatif bagi orang lain. Kadang aku tak berpikir bahwa dengan kesuksesan ini, ada banyak orang yang akhirnya tak bisa tidur nyenyak, terutama orang-orang sekitar. Aku merasa sangat bersalah, karena itu sama sekali tak kuharapkan.

Aku berharap kesuksesan ini, akan membangkitkan motivasi orang lain. Kalo Tuhu saja bisa, mereka pasti bisa. Karena sepanjang hidupku, aku tak merasa aku berlebih. Aku hanya berpikir, aku harus gigih memperjuangkan apa yang kumau.

Yang selalu aku pikir, aku ini hanyalah orang biasa-biasa, yang menjadi luar biasa karena pantang menyerah. Aku tak takut akan kegagalan, karena gagal adalah kawan karibku.

Dan aku tak pernah merasa bersaing dengan siapapun selain memacu diri sendiri untuk memberikan yang terbaik, pada setiap hal. Jadi aku sangat sedih bila semua ini justru memakan banyak korban.

Beberapa orang mengatakan mereka menjadi stres melihat segala tingkah polahku. Dengan banyaknya kegiatan, dan petualangan yang kulakukan. Ya... mungkin untuk semua teman dan siapapun yang merasa terganggu. Aku mohon maaf, tapi cobalah untuk melihatnya dari sisi lain.

Lihatlah ini sebagai suatu pemacu semangat. Karena aku ingin kita semua meraih kesuksesan bersama. Aku tak ingin merayakan kemenangan sendirian, dalam hampa. Aku ingin kita berpesta bersama. Berbagi tawa bersama. Sekali lagi, kalo Tuhu bisa, pasti yang lain bisa.


Yogyakarta, 190905

Thursday, September 15, 2005

Rapper: Dongeng, Kepedihan, dan Kehampaan

Menarik sekali mengikuti kehidupan para rapper Amerika. Banyak cerita yang bisa diangkat di sana. Kehidupan mereka yang bak dongeng. Lihat saja gimana dulunya kehidupan Eminem, Jay-Z, Kanye West, 50 Cent dan banyak rapper lainnya.

Mereka terlahir dari keluarga miskin, sebagian terlibat dalam tindakan kriminal.
Dan mendadak sontak bagai terbangun dari mimpi indah. Mereka menjadi terkenal, memiliki uang berlimpah. Sesuatu yang tak dimiliki sebelumnya.

Namun semuanya tak berhenti hanya sampai di sana. Mereka tetap saja merasakan sisa-sisa kepedihan itu. Yang muncul dalam lirik-lirik lagu yang penuh umpatan, dan kasar. Ya... memang kalo gak gitu yang bukan rap, kan awalnya juga dari jalanan, itu argumen dari pembelanya.

Ya meski begitu, ini menunjukkan bahwa ketenaran sama sekali tak menghapus luka yang masih tertimbun. Perasaan luka akibat pelecehan sebagai minoritas, sebagai orang yang sempat terbuang.

Ini pun direpresentasikan dengan blink-blink yang terkesan berlebihan. Sebenarnya ini bukan hanya menunjukkan identitas kostum rapper. Tapi ingin menunjukkan bahwa mereka pun sekarang bisa membeli barang-barang mahal. Sesuatu yang dulu bahkan tak mungkin mereka impikan.

Gaya OKB (Orang Kaya baru) ini mungkin terlihat norak atau bahkan funky??? Tergantung dari sudut mana memandang. Namun sayangnya ini semua ternyata tak cukup. Kekayaan dan ketenaran hanyalah berujung pada kehampaan.

Mereka gamang, tak jua menemukan apa yang dicari yaitu ketenangan dan kepuasan hati. Maka mulailah merek bertingkah, dengan saling mengejek dan saling membunuh. Ironis sekali.....


Yogyakarta, 140905

Kadang Aku Lelah...

Mencoba untuk mengerti keadaan, mengerti kalau aku berbeda, terkadang membuat aku sangat lelah. Semua orang hanya menuntut hal yang sempurna. Mereka menginginkan kehebatanmu, tapi mereka tak mau perduli bahwa itu juga mengandung banyak konsekuensi.

Begitu banyak kritik yang menghujani. Pada waktu tertentu itu tak berpengaruh. Tapi kadang menjadi sangat membosankan. Seluruh dunia minta untuk dimengerti, tapi gimana dengan aku?

Boleh saja mereka mengkritik aku kalo ngomong terlalu cepat. Ideku meloncat terlalu jauh, hingga dikritik habis-habisan. Namun pernahkah mereka bertanya tentang apa yang aku pikirkan? “Kok gitu aja gak ngerti, hey you are thingking like a turtle!!!”.

Sorry, tak biasanya memang aku menggunakan kata-kata sekasar itu. Tapi itu yang sejujurnya aku pikirkan. Dan mungkin pada saat-saat tertentu,hal itu tak dapat dikendalikan.

Namun sayangnya aku tak boleh membalas dengan kritikan semacam itu. Aku mesti memendam kesal dalam hati meski terkadang bosan. Kelas yang membahas banyak hal yang aku udah ngerti. Dan aku harus mendengarkan banyak pertanyaan bodoh. Adakah yang pernah tahu itu? Pernahkah orang lain perduli?

Pernahkah ada yang mengerti apa yang kurasakan? Bukan sekedar merengek untuk dimengerti? Kadang dunia serasa begitu menjijikkan. Seakan tak ada tempat untuk orang-orang seperti aku. Aku kadang ingin marah, tapi pada siapa? Toh mereka memang tak mengerti.

Namun bukan berarti menyerah. Aku tak akan mau menyerah barang sejengkal pun. Aku berusaha untuk terus mengerti walau terkadang berdarah-darah. Namun Tuhu tetaplah Tuhu, ada hal yang bisa dikompromikan, namun sayangnya banyak hal lyang tak akan pernah hilang. Karena bila semua berubah sesuai selera pasar, maka bukan lagi Tuhu, tapi produk pop (alias populer).


Yogyakarta, 140905

Why Personal Branding???

Ide tentang menciptakan personal branding telah lama terpikir di otak. Walau baru sekarang terwujud. Semenjak kuliah S1, tanpa mengerti tentang pemasaran. Aku mulai bereksperimen tentang citra seperti apa yang ingin aku tampilkan di depan orang lain.

Aku bertualang dengan banyak citra yang membuat orang mempunyai persepsi yang berbeda tentang sapa sih sebenarnya Tuhu? Idenya saat itu hanyalah, aku bisa melintas batas, berada dalam komunitas apapun. Dan nyambung kalo diajak ngobrol ama sapa ajah.

Lalu stelah aku masuk MM, semakin sadarlah kalo yang seharus punya image kuat, bukan hanya produk yang akan dijula. Tapi diri kita juga harus memiliki karisma dan citra yang kuat seperti halnya produk.

Karena suka atu tidak, kita akan menjual diri kita untuk memperoleh kerja, atau menjual ide-ide kita. Aku amati banyak artis di luar negeri, bahkan beberapa artis di dalam negeri mulai sadar akan hal ini.

Mereka mulai menyadari betapa perlunya membuat image yang berbeda dengan para pesaingnya agar terus diingat oleh orang. Oleh karena itu dengan pemikiran yang sangat panjang dan lama, akhirnya aku memutuskan menggunakan “Amazing and More”, sebagai personal branding.

Karena kata-kata itu menggambarkan keunikan Tuhu dalam berbagai dimensi, yang satu sisi, dan lainnya terkadang bertentangan. Eksperimentasi ini terbukti lumayan efektif. Hanya sehari sejak diluncurkan, dan diumumkan. Mendadak sontak, blog ini ramai dikunjungi.

Wow berarti gak sia-sia belajar pemasaran walau baru satu trimester ini. Ilmu itu kan harus bedimensi praktis, hingga tak mengawang di awan-awan. Semoga akan muncul banyak ide baru lagi yang bisa dieksperimentasi. So what next???? Tunggu aja ya.... yukkkkkkk

Yogyakarta, 140905

Monday, September 12, 2005

Seorang Tukang Ojek

Hari jumat lalu, aku pulang kemalaman dari Yogya. Sampe di Solo, gak ada lagi bis ke arumahku. Setelah cukup lama akhirnya kuputuskan naik ojek aja karena gak ada pilihan. Nah dari Tukang ojek inilah ada banyak pelajaran yang bisa dipetik yang ingin dibagi:

Pertama dari aspek pemasaran, aku menganalisa mengapa akhirnya aku memutuskan memilih Si Tukang Ojek ini, bukan yang lain. Selain karena motornya memang lebih oke, dibandingkan lainnya. Yang paling penting adalah tampangnya yang menurutku terpercaya. Wajahnya yang tersenyum, membuat aku merasa nyaman untuk diantarkan olehnya. Kesimpulannya dalam memasarkan, kesan pertama sangat menentukan seorang konsumen memutuskan membeli atau menggunakan jasa kita atau tidak.

Pelajaran kedua yang aku dapatkan sepanjang perjalanan kami yang lumayan panjang adalah kecintaannya pada profesi. Aku tak pernah menganggap rendah profesi tukang ojek. Asal seseorang mencintai apa yang dilakukannya, dan ia menikmatinya, maka ia telah menemukan kenikmatan hidup. Dan aku menemukannya pada sosok beliau. Ia begitus setia atas apa yang dilakukannya. Membuat aku merasa kagum atas dedikasinya pada arti pekerjaan. Ia menghayatinya sebagai bagian dari kehidupannya, bukan hanya karena ia butuh uang untuk hidup.

Di sisi lain, aku juga belajar tentang kejujuran. Untuk tak berniat jahat pada para penumpangnya. Perkara ini sempat menjadi bahan obrolan kami selama perjalanan. Aku sangat percaya pada kata-katanya itu. Karena kata-kata itu diucapkan dari kedalaman sanubari. Kesadaran untuk menjaga integritasnya, menjaga nama baik dihadapan para pelanggan. Sangat salut aku atas prinsip yang dipegangnya.

Pelajaran lainnya, aku merasa gembira mendengar cerita tentang keluarganya. Salah seorang anaknya ada yang bergelar Sarjana Hukum lulusan UNS Solo. Ini menunjukkan negeri ini masih memberikan kesempatan perubahan sosial vertikal, atau apapun istilahnya dalam sosiologi (maaf-maaf aja kalo salah). Seseorang, siapapun dia, apabila ia punya keinginan kuat untuk maju maka tak ada yang akan bisa menghalanginya menjadi yang terbaik sesuai harapannya.


Yogyakarta, 110905

Selangkah Maju

Beberapa waktu yang lalu aku menulis tentang betapa bodohnya aku di kelas Financial Management. Namun hari ini aku bisa sedikit bernapas lega. Karena akhirnya aku bisa ngikut dengan logika finance, walau tetep aja belum semuanya terkuasai.

Paling tidak sekarang gak keringat dingin lagi kalo disuruh ngitung-ngitung. Ongkos psikologis itu udah lewat. Saat dimana aku begitu keringat dingin bila disuruh mencoba latihan itungan.

Bukan karena nggak bisa, tapi bayangan ketakutan untuk mencobanya yang lebih banyak menggerogoti energi. Setelah belajar dengan sabar, dan sedikit ketelatenan, aku bisa mengejar ketertinggalanku yang sangat jauh dalam mata kuliah ini.

Aku merasa lebih enjoy dan nyaman dengan pelajaran ini. Akhirnya aku menjawab satu tantangan bagi diri sendiri. Suatu kemajuan yang sepatutnya dirayakan. Tentu bila dibandingkan dengan teman-teman yang mahir finance aku masih jauh dari oke.

Ya tidak mudah memang bagi seorang Tuhu yang telah lama tak menyentuh itungan, bahkan sempat sangat membenci dan mengharamkan hal yang berbau itungan. Tapi dosen financial management kali ini benar-benar menantangku untuk belajar lebih, dan lebih lagi.

Ehmmmm ternyata memang siapa yang mengajar benar-benar bisa menghasilkan hal yang berbeda. Semester lalu dengan pelajaran yang hampir sama, aku sama sekali gak tertarik, dan gak merasa dapet apa-apa. Tapi saat ini aku baru merasa dapat sesuatu.

So, pelajaran yang mungkin bisa ditangkap adalah perlakuan yang berbeda atas sesuatu hal akan mnghasilkan efek yang berbeda bagi yang menerimanya.


Yogyakarta, 090905

Wednesday, September 07, 2005

Siapa Yang Lebih Jawa?

Pemikiran ini bermula dari pendapat beberapa teman di MM UGM, yang tidak menyangka kalo aku orang Jawa. Berumah di Karanganyar, beberapa kilometer dari kota Solo ke arah timur. “Kok gak kayak orang Jawa?” Hampir sebagian besar mengatakan seperti itu.

Mungkin karena logat jawaku memang tak sekental yang lain. Logatku lebih banyak gaya ala Jakarta atau Sunda, berhubung aku lebih dari empat tahun tinggal dan berkuliah di Bandung. Namun di sana pun aku dianggap masih berlogat kejawa-jawaan. Jadi, siapakah diriku yang tampaknya tak memiliki identitas ini?
Ya aku adalah anak Indonesia sejati. Terlahir di Sorong, Papua, dan menghabiskan masa kecil di sana. Lalu pindah ke karanganyar semenjak kelas empat SD, dan tetap di Karanganyar hingga SMU. Lalu hijrah ke Bandung untuk kuliah di HI UNPAD. Dan sekarang nyangkut di Yogya.

Perjalananku melanglang buana ke beberapa tempat memang meninggalkan jejak karakter yang terus aku bawa. Belum lagi aku juga membawa banyak karakter orang-orang Barat, karena banyaknya persentuhanku dengan pemikiran-pemikiran orang Eropa dan Amerika selama belajar di HI. Mengapa aku mengatakan itu, karena salah seorang temanku gaya berpikirku adalah Barat.

Inilah mungkin membuat kepribadianku sangat unik. Tak bisa dikotakkan dalam satu kategori tertentu. Namun sebagai acuan dasar aku tetaplah orang Jawa. Aku mengagumi tradisi Jawa lebih dari peradaban manapun. Walau aku juga pengkritik yang sangat lantang atas beberapa aturan yang mengekang, dan sangat dangkal.

Di balik semua kritikan pedas itu, mungkin tak banyak yang tahu. Aku dapat dibilang lebih mengerti tentang esensi kejawaan dibanding teman-teman segenerasi. Aku mungkin lebih mengerti tentang filosofi pewayangan, dibanding teman-temanku yang lebih mengenal komik Jepang atau film Hollywood.

Saat yang lain sibuk dengan figur komik Jepang, aku justru asyik bercekerama dengan sosok Semar, Arjuna, dan Yudistira. Saat yang lain belajar tentang nilai-nilai hitam putih ala Barat. Aku justru bergulat dengan abu-abunya nilai-nilai yang ditawarkan dalam dunia pewayangan.

Aku lebih fasih menembangkan tembang Macapat dibanding teman sebaya yang menggilai lagu pop Amerika. Walau mungkin teman yang lain, dari penampilan luar lebih Jawa. Gaya bahasanya sangat medok, tinggal dan besar di Jawa. Wah lumayan ironis kan sebenarnya?

Ini bukan tentang keluhan karena aku tak dianggap Jawa atau apapun. Itu tak penting sama sekali. Tapi tulisan ini untuk membuat kita belajar. Esensi lebih penting dari sekedar bentuk. Orang Jawa lebih menyukai bentuk yang sempurna, tapi esensinya tak ada. Kita sibuk dengan pencarian bentuk terbaik, tapi lupa bahwa bukan itu yang paling penting.

Yogyakarta, 060905

Kegenitan Intelektual

Beberapa hari lalu, kata-kata itu terucap oleh seorang wartawan yang diundang News Letter dalam sebuah pelatihan jurnalistik. “Kegenitan intelektual”, langsung mengingatkanku pada seorang dosen MM UGM, yang salah satu tulisannya dalam sebuah buku kumpulan artikel pemasaran sangat tepat menggambarkan itu. Bahkan lebih menor, karena plus gincu dan bedak tebal.

Padahal harus diakui dari tulisannya bisa dideteksi betapa pintarnya dosen ini. Secara langsung, aku belum membuktikan karena aku belum pernah diajar oleh beliau. Tapi membaca artikelnya, sumpah mati disambar petir (agak berlebihan gak sih he... he...), aku sama sekali gak ngerti apa yang ditulis.

Kata-katanya begitu kering khas intelektual. Sulaman dan kutipan dari berbagai jurnal ini itu. Yang maunya kelihatan jadi sangat berbobot, tapi malah bikin pusing. Aku tak mempelajari apapun dari tulisan itu. Tapi mungkin hanya aku seorang yang tak mengerti, maklumlah otakku emang lumayan cupet.

Lalu aku bertanya-tanya sendiri, mengapa begini, mengapa begitu?

Pertama, karena memang sengaja dibuat seperti itu. Mungkin atas dorongan ingin menunjukkan kelasnya sebagai intelektual kampus, jadi harus menggunakan bahasa yang berbeda dengan awam. Kalo gak begitu apa dong bedanya intelek dengan tidak? Mungkin begitu logikanya.

Kedua, memang benar-benar tak sadar, dan tak tahu. Karena kebanyakan intelektual hidup dalam dunianya sendiri. Pada suatu menara gading, yang indah, menjulang, sekaligus tak tersentuh. Ia terus berpikir-berpikir, tanpa pernah bersentuhan dengan permasalahan di lapangan. Yang penting menelurkan pemikiran.

Kalo hanya begitu, apa dong funsinya sebagai intelektual? Bukankah hadirnya intelektual untuk membantu orang-orang lain yang tak mempunyai ilmu setinggi dirinya.

Bukankah intelektual yang hebat, seharusnya mampu mengurai kerumitan berpikir menjadi sesuatu yang sederhana, dan mudah dicerna bahkan oleh orang yang tak makan sekolahan sekalipun?

Yogyakarta, 060905