Wednesday, June 28, 2006

Watch Out with Gen-X of Indonesia

Penamaan Gen-X (Generation X) mungkin sangat asing bagi kosakata Indonesia. Tapi percayalah, Indonesia beberapa tahun ke depan akan dibanjiri oleh generasi ini. Oleh karena itu bagi para pemasar, sudah saatnya mengantisipasi dan menyambut kehadiran mereka sebagai konsumen potensial pada 5-10 tahun mendatang.

Apa itu Gen-X? Generation X, adalah segmentasi konsumen AS secara demografis, yang termasuk di dalamnya adalah mereka yang terlahir dari tahun 1965-1976. Mereka adalah generasi yang tumbuh di bawah bayang-bayang meroketnya tingkat perceraian, menurunnya peran orang tua, dan ekonomi Amerika yang tersendat-sendat (dikutip dari Gobbe 2001).

Tapi tunggu dulu, ada beberapa hal lain yang juga mempengaruhi. Namun jarang diungkapkan dalam literatur AS, karena Amerika tak seobyektif itu dalam memandang sejarah. Gen-X juga mengalami masa memalukan kekalahan AS di Vietnam. Generasi ini, dianggap generasi yang tidak mempunyai motivasi, dan memandang hidup dengan pesimis, akibat berbagai masalah yang mereka hadapi.

Lalu mengapa ”X”, bukan ”A” atau ”B”? Ingatkah dengan pelajaran Perilaku Organisasi? Ada dua asumsi tentang sifat dasar manusia. X dan Y. X mengacu pada anggapan manusia itu pada dasarnya malas, dan tidak mempunyai motivasi yang kuat, oleh karena itu perlu pengawasan yang ketat. Sebaliknya Y, mengacu pada anggapan manusia pada dasarnya rajin, dan mempunyai motivasi yang tinggi dalam dirinya. Oleh karena itu dalam bekerja mereka perlu mendapatkan kepercayaan dan otonomi agar dapat bekerja dengan baik. Dan aku aku sangat yakin konsep segmentasi ini meminjam konsep Perilaku Organisasi itu.

Dan bagaimana dengan Indonesia? Sadarkah bahwa generasi muda Indonesia yang terlahir semenjak 1997 hingga saat ini menghadapi situasi yang berbeda dari generasi sebelumnya? Mereka mengalami permasalahan sosial yang hampir mirip dengan Gen-X di AS pada masanya.

Mereka terlahir dengan situasi yang tak menentu akibat krisis ekonomi berkepanjangan, kerusuhan dan konflik antaretnik, bencana alam, struktur dan peran wanita dalam keluarga yang telah berubah. Mereka juga generasi yang banyak menderita akibat banyaknya orang tua yang bercerai.

Aku sangat yakin mereka akan tumbuh menjadi generasi yang pesimis menghadapi masa depan, tidak memiliki motivasi karena kekacauan sosial dalam level keluarga, maupun masyarakat.

Oleh karena itu para pemasar, sebaiknya segera menyadarinya. Misalanya generasi ini tak akan bisa dibujuk dengan gaya yang sama dengan generasi sebelumnya. Iklan yang membuat mereka ketakutan kulitnya akan hitam bila tak memakai pemutih tak akan digubris. Mereka sudah terlalu banyak menghadapi ketakutan. Mungkin akan lebih efektif, iklan yang mengkomunikasikan produk yang mendongkrak rasa percaya dirinya.

Mereka membutuhkan sedikit berita gembira yang akan membuat mereka sedikit tersenyum. Mereka butuh lebih banyak orang yang bisa memberikan motivasi dibanding generasi sebelumnya, karena mereka adalah generasi yang apatis.

Ya..., harus diakui pemikiran ini masih sangat mentah. Tapi aku sangat yakin generasi Indonesia pasca krisis ekonomi akan mempunyai sikap yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Generasi ini, tak pernah mendengar dongeng indah tentang ekonomi Indonesia yang mengagumkan. Mereka bukan generasi yang tumbuh saat Indonesia sedang dalam puncak pertumbuhan ekonomi. Mereka lahir di saat yang salah, saat Indonesia sedang carut-marut…

Yogyakarta, 270606

The Conflicting Interest of US Super Hero

Saat ini aku sedang demam nonton serial Smallville (ini adalah episode awal interpretasi tentang Clark Kent sebelum menjadi Superman). Lalu muncul pertanyaan dalam benakku, kok ada persamaan konflik secara garis besar dengan Spiderman (kayaknya sih..., aku juga belum nonton film Spiderman cuman baca resensinya).

Persamaannya adalah muncul kebingungan pada diri kedua super hero itu untuk memilih kepentingan pribadi, dan kepentingan publik. Dalam hal ini dilambangkan dengan persoalan cinta, dan menyelamatkan umat manusia. Sementara konflik seperti ini, setahuku kok gak muncul dalam tokoh super hero yang diciptakan oleh kreator Asia.

Lalu mengapa??? Hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa dalam sistem nilai yang dianut oleh bangsa Asia, harmonisasi dengan lingkungan adalah hal yang dijunjung tinggi. Sehingga tidak akan berbenturan kepentingan pribadi, dan kepentingan publik. Karena semua tindakan individu dilakukan untuk masyarakatnya.

Sementara sistem nilai Barat lebih menekankan pada kepentingan individu, maka sosok super hero yang harus memikirkan dan melindungi masyarakat akan berkonflik dengan sistem sosial yang merak anut. Oleh karena itu persoalan ini sering muncul dalam setiap cerita super hero Barat.

Tentu saja ini hanya pandangan pribadi dengan pengetahuan yang sangat terbatas. Tapi paling tidak aku belajar untuk lebih memahami setiap hal dari berbagai aspeknya. Sistem sosial itu memang kompleks, dan akan terefleksi dalam setiap sendi kehidupan.

Aku sering menuliskan dikotomi Timur dan Barat, ini bukan untuk melihat mana yang lebih baik. Namun lebih untuk bisa memahami mengapa seseorang melakukan sesuatu. Bila kita mau belajar memahami, maka kita telah belajar untuk menciptakan dunia yang lebih baik...

Yogyakarta, 270606

Indosat Supershow, Indonesia Sebenar-benarnya.

Kiprah Trans TV beberapa tahun belakangan ini patut di acungi jempol. Setelah Extravaganza yang sangat sukses, Indosat Supershow juga punya potensi yang luar biasa untuk mengikuti jejaknya.

Mengapa??? Tayangan ini Indonesia bangettt, dalam artian bisa menggali dan mengemas tradisi Indonesia dengan gaya yang lebih modern, dan layak diangkat ke layer kaca.

Ciri keindonesiaan itu dapat dilihat, pertama acara ini merupakan percampuran dari berbagai show mulai dari peragaan busana, kontes menyanyi, permainan, dan banyak ragam lainnya. Yang membawa kita pada kenangan tentang pasar malam yang sramai dengan berbagai pilihan beragam.

Kedua, berbagai lomba semisal balap karung dan tarik tambang. Ini jelas mengingatkan kita, dengan hebohnya acara serupa di saat perayaan tujuh belas agustusan. Aku gak tahu belakangan acara lomba tujuh belas agustusan di kampung-kampung sepertinya mulai memudar disebabkan berbagai faktor mulai dari sempitnya lahan, hingga masyarakat yang semakin individualis.

Tapi Trans TV mampu membangkitkan kembali kemeriahan itu, bukan harus menunggu setahun sekali tapi setiap minggu. Kemeriahan ini semakin pas, karena peserta dipilih dari para penonton di studio yang riuh rendah. Bukankah itu juga Indonesia bangettt??? Sangat senang dengan yang namanya keramaian, riuh rendah, dan sorak sorai???

Ketiga, segmen Super Talk Show, yang menghadirkan seorang bintang tamu yang sedang heboh dibicarakan untuk “dihakimi” oleh tiga orang penanya. Ini juga sangat Indonesia, bukankah kita tipikal orang yang selalu ingin masuk wilayah privasi orang lain??? Bukan hanya privasi artis yang ingin kita intip. Privasi tetangga, sanak saudara, atau siapapun yang kita kenal ingin diketahui. Lalu merasa perlu untuk memberikan penilaian pada permasalahan mereka. Hmmm so Indonesia...

Kesimpulannya acara ini emang asyik berattt. Maka jangan heran bila disukai oleh banyak orang. Seharusnya ide segar seperti ini lebih banyak digali. Kita ini kan bangsa yang unik, begitu banyak ragam yang bisa digali.

Walaupun banyak dari kita yang gengsi untuk mengakuinya. Kita tetaplah orang Indonesia, dengan segala budaya yang melekat padanya. Tinggal bagaimana mengemasnya dengan kreatif agar tidak “kampungan”, dan menjatuhkan citra para penontonnya yang notabene pengin diakui sebagai orang “modern”, tetapi teteup dengan selera yang Indonesia punya.


Yogyakarta, 270606

Thursday, June 22, 2006

Just Leave Your Comfort Zone

Ini adalah jawaban dari banyak sekali pertanyaan tentang mengapa aku milih kuliah S1 di HI UNPAD? Karena banyak sekali yang bertanya mengapa gak ngambil HI UGM? Karena UGM relatif lebih dekat dengan rumahku dibandingkan UNPAD.

Mungkin banyak yang berpikir kuliah di UGM akan lebih bergengsi dibanding UNPAD, atau mungkin berpikir aku gak keterima di UGM maka kuliah di UNPAD. Tapi aku punya pemikiranku sendiri untuk pilihan ini....

Jelasa saat aku lulus SMU aku bahkan tak bermimpi kuliah di UGM (walaupun kini S2-ku di UGM hehehehe). Pertanyaanya lalu, mengapa? Aku ingin suasana yang baru. Aku ingin belajar mengelola hidupku sendiri. Aku pikir itu saatnya keluar dari stereotip anak rumahan. Satu lagi, aku ingin belajar dari banyak teman baru, dan sistem nilai yang berbeda.

Seandainya saat itu aku memilih UGM, aku tak akan banyak belajar. Kebudayaan yang sama, teman-teman yang sama. Karena banyak temanku yang kuliah di UGM atau universitas lainnya di Yogya.

Pilihan kuliah di HI UNPAD, pada awalnya memang bukan hal mudah. Kehidupanku berjungkir balik. Hari-hari pertama kulewatkan dengan kesepian. Saat makan sendirian, dan melihat orang lain makan bersama keluarganya, aku teringat saat-saat di rumah.

Itu belum seberapa dibanding permasalahan lain yang terus menghadang. Kos-kosan yang ternyata sulit air, membuatku belajar menghargai air. Padahal di rumah aku sangat malas hanya untuk menyalakan air keran. Aku yang begitu penakut dihadapkan pada kosan yang sunyi, dikelilingi rumpun bambu, dan kuburan. Hingga aku tak berani pulang lebih dari Maghrib pada awalnya.

Permasalahan tentunya tak berhenti di sana. Di kampus aku harus beradaptasi dengan teman-teman yang berkarakter sangat berbeda yang pernah aku tahu. Aku hanyalah seorang remaja kampung, di tengah anak-anak Jakarta yang gaul, pede, dan lebih segalanya.

Itu pun, pikiranku masih harus terpecah denga uang saku yang mepet. Saat harus belajar kadang harus menahan perut yang keroncongan karena uang sudah begitu mepet, sementara hari-hari masih panjang sebelum bulan baru...

Ya..., tapi justru dari sanalah aku belajar tentang kehidupan. Aku belajar mengelola hidupku sendiri. Aku belajar untuk tidak mengeluh. Aku belajar menerima keadaan, dan memecahkan masalah tanpa orang yang bisa diajak berbagi.

Dari sanalah hidupku kemudian dimulai untuk cepat beradaptasi dengan keadaan, dan pantang menyerah. Perjalanan yang panjang dan keras itu, membawaku pada diriku yang sekarang.

Aku belajar untuk mentoleransi banyak perbedaan. Belajar tentang konsistensi, akan apa yang ingin aku tuju. Karena begitu banyak godaan, disaat yang sama pengawasan begitu longgar.

Banyak orang mungkin terjerembab, tapi aku selalu mengingatkan akan tujuan awal aku disana. Aku belajar memasuki berbagai komunitas. Dari mereka-mereka yang aliran Marxis garis keras, para hedon yang doyan pesta, nongkrong di mall dan kafe, kelompok yang serius belajar dan berdiskusi, kalangan penyair yang doyan merenung dan merenung, hingga para aktivis kampus yang doyan terlibat dengan berbagai kegiatan. Namun aku tak ingin terlarut dalam salah satunya, karena aku adalah milik IMPIANKU.

Heran juga kalo dipikir, kok bisa ya aku membagi waktu untuk begitu banyak kegiatan??? Dari mereka semua aku tak merasa ada komunitas yang lebih hebat dari yang lain. Dari tiap komunitas itu aku mendapatkan pembelajaran berbeda yang semakin memperkaya pengetahuanku.

Dan saat ini, saat aku berada di UGM. Kampus yang banyak diimpikan banyak orang... aku telah mempunyai bekal yang kuat. Aku telah membuktikan bahwa pilihanku dulu TIDAK SALAH. Seandainya aku dulu memilih UGM, apakah aku akan mempunyai karakter sekuat ini???

Aku tak yakin... seandainya kala itu pilihanku jatuh pada UGM. Maka aku hanyalah pribadi yang sama seperti masa SMU-ku. Pemalu, menghadapi hidup dengan penuh rasa curiga, dan selalu pesimis.

Kesulitan, demi kesulitan membuatku menjadi orang berbeda. Oleh karena itu, aku selalu menantang diriku untuk berani mencoba sesuatu yang asing. Kalaupun aku terseok-seok toh aku belajar banyak hal.

Karena aku mempunyai begitu banyak agenda, dan agenda itu tak akan terlunasi tanpa kerja keras dan air mata......



Yogyakarta, 220606

Audition Makes You The Next Big Thing…

Beberapa orang teman terheran-heran saat aku bilang dulu sering ikutan audisi pencarian bakat semisal Pop Star, AFI 1 dan 2, MTV VJ Hunt. Mereka sepertinya setengah tak percaya. Beberapa bertanya”Loe pengin jadi artis???” Aku bilang TIDAK. Bagi orang lain jelas audisi-audisi itu merupakan jembatan menuju impian menjadi artis.

Tapi jujur dari dalam hati aku memang tak ingin... karena dunia keartisan menurutku mempunyai konseukensi menggadaikan privasi. Sementara aku sangat tidak ingin privasiku diganggu. Lalu ngapain bersusah payah??? Pertanyaan yang bagus...

Melalui audisi aku hanya ingin menggembleng mentalku. Bayangkanlah betapa kita harus belajar bersabar, mengantri demi mendapat nomor peserta selama beberapa waktu, lalu setelah itu menanti lagi berjam-jam untuk audisi. Lalu tantangan berikutnya, mengalahkan rasa malu beraksi di depan kamera, dan begitu banyak peserta lainnya. Dan naasnya hanya untuk ditolak.

Apakah orang-orang yang bermental lemah mampu melakukannya??? Walaupun kadang setelah audisi aku merasa kecewa, tapi jelas ini memberikan banyak pelajaran. Kegagalan sendiri sudah merupakan pelajaran.

Pelajaran berikutnya adalah, harus beradaptasi dalam waktu yang cepat. Aku harus mampu membuat diriku nyaman di lingkungan yang sangat asing. Tapi itu berguna saat aku harus membawa diri dalam lingkungan apapun.

Proses ini yang kadang tidak dilihat orang lain. Bagaimanapun kehidupan ini adalah proses untuk menjadi sesuatu. Dan agar menjadi sesuatu itu, aku menempa diriku dengan banyak hal berbeda, yang bukan menjadi tujuan utamaku. Namun itu adalah hal yang akan memberikan kontribusi memuluskan jalan menuju apa yang aku inginkan.

Saat-saat audisi akan selalu kukenang sepanjang masa. Aku tak akan pernah malu mengatakannya. Karena itu juga saat-saat yang menyenangkan hihihi. Saat aku keluar dari rutinitas yang terkadang membuat jenuh dan muak.

Yogyakarta, 220606

Saturday, June 17, 2006

Berbicara Tentang Kita Yang Terlalu Barat

Mengapa kritik ini sangat sering kudengungkan??? Karena begitu banyak kesedihan yang mendalam. Selain hiruk-pikuk tentang rasionalitas, dan khas ketimuran yang irasional. Ada hal lain lagi yang lebih menyayat.

Sering kali aku mengamati, begitu banyak generasi muda, terutama balita di kota-kota besar yang tak bisa berbahasa Indonesia. Bukankah ini menyedihkan??? Gejala ini banyak terjadi pada anak-anak kalangan kelas atas yang mengenyam pendidikan di sekolah internasional.

Oke-oke saja bersekolah di sekolah internasional. Tapi kalo sampe gak bisa bahasa Indonesia, karena sehari-hari berbahasa Inggris bukannya itu namanya kebablasan. Karena di rumah pun kebanyakan orang tua itu bersosialisasi dengan anaknya dalam bahasa Inggris....

Bayangkan anak Anda baru menginjak balita dan sudah dicekoki bahasa asing. Ironis sekali bukan??? Padahal kata para ahli psikologi dalam usia seperti itu sebaiknya anak-anak itu cukup diperkenalkan dengan bahasa ibu.

Ya dengan gejala sosial yang seperti ini maka jangan heran bila ke depan kita akan semakin amburadul. Jangan-jangan bahasa Indonesia pun akan menghilang dari bumi tercinta.

Karena bahasa bukan sekedar untuk komunikasi, bahasa mengandung makna pemahaman budaya. Bila yang pandai berbahasa Indonesia saja, pemahaman tentang dirinya saja kacau. Gimana dengan generasi yang hanya mengenal bahasa Inggris??? Aku bahkan tak ingin membayangkannya...


Yogyakarta, 150606

Lagi-Lagi Berita Kompas

Hari ini aku terkaget-kaget saat membaca halaman terdepan Kompas yang memuat berita tentang Merapi yang menyemburkan awan panas sangat jauh hingga memasuki pemukiman warga. Padahal sehari sebelumnya, status merapi baru saja diturunkan.

Dan yang lebih lucunya lagi, ada beberapa bagian dari berita tersebut yang memuat pendapat para pemimpin negeri ini, dan beberapa tokoh lainnya, agar ini tidak dikaitkan dengan “takayul”, atau pemikiran yang tidak rasional lainnya.

Bukannya dengan insiden ini kita mesti belajar, bahwa ternyata ilmu pengetahuan yang agung pun punya kelemahan???? Mengapa kita masih saja begitu naif??? Sudah begitu jauhkah diri kita dari sejarah, dan cerminan diri kita sebagai sosok Timur atau seorang Jawa???

Aku benar-benar sedih demi bangsa ini. Mungkin pendidikan di sekolah tentang sejarah selama ini membodohkan. Sejarah dulu adalah subyek yang paling favorit aku benci. Ya jelas saja, karena aku hanya disuruh ngapalin tahun perang, kemerdekaan, atau apapun lah.....

Tapi tak bisakah kita mempelajari sejarah dengan lebih benar??? Please dehhh, bahkan para intelektual bangsa ini kan cukup pinter. Atau jangan-jangan pada terjebak penyakit malu, dan gengsi… untuk mempelajari apa yang disebut klenik itu???

Padahal mungkin klenik dan semacamnya mempunyai filosofi yang mendalam, yang kurang kita pahami. Budaya Timur yang high context memang lebih banyak menggunakan simbol, yang tak bisa diartikan mentah-mentah. Sementara sebagian generasi muda kita, belajar dan berpikir ala logika Barat, semua itu harus terbuka dan mudah untuk dicerna. Ya jelasss ndak nemu jawabnya… Generasi baru kita terbiasa menemukan arti dengan instan, tidak biasa lagi dengan bahasa simbolik.

Aku kok cenderung berpikir, ini teguran kepada manusia Indonesia agar belajar kembali mengenal dirinya. Ibaratnya kita itu sedang ditunjukkan cermin, betapa kita terlalu banyak membohongi diri kita sendiri. Apakah kita akan berkaca dengan baik. Itu tergantung kita masing-masing. Aku tak akan memaksakan pandangan ini pada orang lain. Ini berpulang pada masing-masing


Yogyakarta, 150606

Esia with Its Great Ad

Dua hari belakangan ini Esia sangat heboh dibicarakan, terutama oleh para pemasar dan pelaku dunia periklanan. Iklan Esia yang tampil di harian Kompas dua hari berturut-turut luar biasa menarik hati orang.

Dengan pendekatan emosional yang kental, Esia melakukan kritik tajam, dengan sangat menyentuh... Aku pikir nampaknya Esia ingin bangkit kembali dengan positioning memberikan tarif yang paling murah, setelah di awal tahun digempur habis-habisan oleh Fren yang memberikan tarif yang lebih murah.

Hal lain yang menarik adalah Esia memberikan sesuatu yang sangat orisinal dalam hal periklanan produk jasa telekomunikasi. Sesuatu yang aka melekat begitu kuat dibenak orang yang membacanya. Di tengah era banjir informasi sehingga tidak mudah membuat hal semacam itu.

Padahal ketika awal kemunculannya, aku bahkan sangat tidak mengerti iklan Esia yang ditayangkan. Iklan TV pertamanya sangat membingungkan, bahkan aku tak menangkap kalo Esia itu perusahaan telekomunikasi

Namun ternyata Esia belajar dengan sangat cepat untuk melakukan banyak perubahan, hingga setelah berbagai iklan sebelumnya yang membuat kaget para pesaing. Kini Esia kembali membuat kejutan baru....

Yogyakarta, 150606

Tuesday, June 13, 2006

Ribut-Ribut Modernisasi

Tulisan ini adalah sebuah tanggapan atas komentar yang dilayangkan seseorang pada tulisanku sebelumnya “Kompas Hari Ini”. Aku menjadi sangat penasaran untuk segera menulis, mengalahkan beberapa ide tulisan lainnya yang sudah mengantri di otak. Sebelumnya saya mengucapkan beribu terima kasih padanya, karena telah membaca karya serabutan ini yang lumayan gak penting. Karena tentunya dibutuhkan sedikit konsentrasi, dan waktu luang membaca sebuah tulisan.

Yang kedua, karena telah banyak memberikan pengetahuan baru dalam kuliah singkat beliau tentang modernisasi. Untuk membuat komentar sepanjang itu tentunya dibutuhkan effort, dan memakan waktu yang cukup panjang. Semoga saja orang yang telah membuat komentar itu mampir kembali, dan membaca tulisan ini.

Yang ketiga, berterima kasih karena telah memberikan suatu masukan baru. Ternyata cara menulisku masih sulit dimengerti. Hmmm berarti ada logika antarparagraf yang tidak runutut. Atau hal lain yang salah dalam caraku menulis.

Tanggapan itu memang sangat bagus. Tapi kalau boleh melakukan sekedar jawaban, atau mungkin pembelaan??? Kayaknya ada konteks yang berbeda dalam memandang soal modernisasi ini.... Namun harap maklum bila kurang memuaskan, karena aku hanyalah seorang bodoh dengan bekal pengetahuan terbatas, yang berusaha memamerkan kebodohannya hihihi. Jadi harap maklum...

Aku lebih melihatnya dari sudut pengembangan pengetahuan, (dengan jelas disini menolak menggunakan ILMU). Karena keilmuan dan keabsahan ilmiah, merupakan bagian dari proyek modernisasi.

Yah setidaknya begitulah yang pernah aku tangkap dari pelajaran di saat kuliah, dan juga beberapa buku yang aku baca. Sangat setuju dengan komentar yang diberikan tentang pengertian modernisasi, membawa seseorang untuk terbuka pada hal-hal yang baru, menyangkut teknologi baru, dan sebagainya.

Tapi ada satu yang mungkin terlupa, bahwa dibalik indahnya janji modernisme, ada agenda tersembunyi untuk membuat kita seragam. Berpikir bahwa kebenaran itu tunggal, hanya ada satu cara menuju Roma. Secara kata para sastrawan teh, “Ada Seribu Jalan ke Roma”, hehehehe.

Pada tahapan mana yang paling jelas keseragaman itu??? Yang paling utama tentunya dalam pengetahuan. Modernisme menciptakan sebuah standar apa yang bisa dikatakan sebagai ilmu dan bukan.

Dan itulah yang menjadi bagian dari kritik pedas penentang modernisme, seperti Thomas Kuhn, Feyerabend, dan beberapa pemikir lainnya. Yang menarik bagi aku justru mengapa terlalu banyak orang memberhalakan ILMU??? Ehmmm tampaknya hegemoni Amerikanisme begitu mendarah daging.

Apakah Jepang yang sangat maju itu hanya berharap pada ILMU, kok kayaknya tidak ya. Mereka masih percaya tuh dengan ajaran nenek moyang, yang bagi kita sering disebut sebagai takayul.

Aku mikirnya kok justru..., kalo mo maju yang jadi diri sendiri. Jangan mengadopsi gaya Amerika atau manapun. Galilah nilai-nilai bangsa kita. Kadang kita terlalu malu, tapi justru membuat kita mudah goyah dan terombang-ambing. Kita ingin menjauh dari sejarah. Padahal kita tidak bisa lepas darinya. Jangan-jangan kita sedang mengalami amnesia berjamaah???

Silahkan, aku menanti kritik-kritik selanjutnya....

Yogyakarta, 120606

Monday, June 12, 2006

AFI Tampaknya Tinggal Kenangan…

Akademi Fantasi Indosiar (AFI) tampaknya hanya bisa termangu membayangkan kesuksesan yang pernah diraihnya di masa lalu. Gaung AFI saat ini tampaknya semakin tidak terdengar, terkalahkan oleh Indonesian Idol. Ada apa sebenarnya???

Tampaknya ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, AFI terlalu aji mumpung di awal. Merasa acaranya laris manis di pasaran Indosiar, terlalu cepat membuat sekuelnya. Ketika sekuel AFI 2 dibuat dengan jarak yang berdekatan, dan ini masih bisa ditoleransi.

Tapi saat, AFI 2 belum juga mencapai babak final, dan Indosiar sudah berancang-ancang dengan AFI sekuel berikutnya. Aku sudah mulai menebak penonton akan segera muak. Dan ternyata memang prediksi ini tidak meleset. Karena setelah AFI 2, kejayaan tampaknya mulai enggan menyapanya. Manajemen Indosiar tidak berpikir jangka panjang untuk menjaga mereknya agar berumur panjang.

Penyebab kedua, kampanye Indonesian Idol untuk menjatuhkan AFI dengan mengatakan kontes menyanyi adalah mencari penyanyi dengan suara dan penampilan terbaik disambut baik pemirsa yang mulai jenuh dengan linangan air mata dan melodrama ala AFI. Hal ini seakan memperoleh momen yang sangat tepat, karena Indosiar tidak memperhatikan bahwa pemirsa pun punya satu titik kejenuhan apabila dibombardir terus-menerus...

Hingga akhirnya, AFI 2006 meski slogannya, ”Bukan ajang coba-coba”. Tetap saja tidak mampu menjaring penyanyi terbaik. Bisa Anda bandingkan gaya bernyanyi antara peserta AFI 2006, dan Indonesian Idol , bak bumi dan langit. Keduanya saat ini sedang tayang bersamaan, walaupun di hari yang berbeda. Peserta AFI, walau telah dipilih dengan lebih ketat, tetap saja buruk, dan terlihat masih mentah sebagai calon bintang di atas panggung.

Lalu mengapa terjadi??? Padahal seleksi untuk AFI 2006 lebih ketat, Tri Utami turun langsung untuk melakukan audisi??? Sebenarnya ini bukan hal yang mengangetkan. Karena dalam benak konsumen (baik itu pemirsa dan calon peserta) AFI itu bukanlah tempat bagi orang-orang yang mempunyai kualitas suara terbaik. Dan pandangan ini tak bisa diubah begitu saja, dengan slogan baru...

Persepsi yang telah tertanam dalam benak konsumen tentang AFI yang begitu kuat, menyebabkan para pendaftar yang mengikuti audisi AFI juga mempunyai kualitas kelas dua. Jadi bila kita melihat bagaimana para finalis AFI yang ternyata tak seperti yang dijanjikan ya harap maklum.

Perubahan positioning AFI ini justru semakin melemahkan persepsi konsumen. Dan meningkatkan citra positif di benak konsumen terhadap Indonesian Idol. Karena bagaimanapun juga bisik-bisik yang aku dengar di antara para penyanyi yang bermimpi menjadi penyanyi ternama, mengikuti audisi AFI hanya menjadi bahan cemoohan karena yang telah tertanam dalam benak mereka, AFI tidak mencari penyanyi terbaik...

Yogyakarta, 120606

Thursday, June 08, 2006

Inkonsistensi…

Semalam aku baru saja menulis betapa aku membenci mereka yang terlalu rasional dan kebarat-baratan dalam cara pandangnya. Tapi di sisi lain, aku pikir aku juga seringkali menertawakan mereka-mereka yang suka dengan berbagai acara TV yang menyuguhkan mistik dan sintron religi yang dikemas hiperbola.

Lalu aku bertanya-tanya pada diri sendiri, benarkah aku telah memiliki cara pandang yang konsisten??? Benarkah aku sekonsisten itu hingga berhak mengkritik orang lain???

Entahlah kehidupan terkadang memang penuh paradoks. Seringkali aku merasa ada pertarungan dalam hati kecilku tentang banyak hal. Pertarungan yang sangat klasik, tentang apakah harus konsisten, atau perlu fleksibel.

Ketika aku menjadi lebih fleksibel, perasaan bersalah muncul karena aku telah mengkhianati apa yang selama ini aku yakini. Namun bersikap sebaliknya juga tak menyelesaikan masalah. Berkeras kepala, membuatku tak bisa tidur semalaman berpikir tentang betapa egoisnya aku, tidak mau mendengar pendapat orang lain, dan mengerti situasi yang sedang dihadapi.

Aku tak tahu apakah orang lain juga mengalami hal serupa. Atau aku saja yang terlalu mendramatisir keadaan. Maklumlah aku orang yang paling ahli untuk hal beginian hehehehe.

Hingga saat ini aku masih terus mencari kira-kira formula apa yang paling tepat untuk diri sendiri. Apakah harus menyeimbangkan keduanya, antara pilihan konsistensi dan fleksibilitas??? Atau haruskah bergantung pada kondisi dan situasi??? Kalau memang harus seperti itu, seberapa jauh, dan dalam batas mana boleh, dan tidak boleh dilakukan???

Tampaknya aku harus membuat definisi ulang tentang apa sebenarnya nilai yang aku anut dalam hidup. Karena inilah yang menjadi fondasi untuk segalanya. Agar aku tak selalu kehilangan kendali, dan arahan bagi diri sendiri.

Ehmmm, ternyata aku begitu lemahnya. Bahkan hanya untuk mengendalikan diri sendiri pun aku belum mampu. Lalu bagaimanakah aku akan mampu menjadi pemimpin bagi orang lain???

Sekali lagi aku diingatkan masih begitu banyak pekerjaan rumah bagi diriku sendiri.....


Yogyakarta, 080606

Kompas Hari Ini

Di Kompas hari ini, ada sebuah artikel yang menarik. Dan kebetulan cara pikir penulis tersebut, sama persis dengan apa yang aku pikirkan. Artikel itu mengkritik soal gempa bumi di Yogya yang merupakan teguran alam, karena masyarakat Yogya, yang di dalam artikel tersebut disebut Mataram, telah kehilangan jati dirinya.

Kedua, tulisan itu juga menyinggung hancurnya Ambarukmo Plaza dan Saphir Square yang merupakan simbol modernisasi Yogya. Kedua bangunan ini dianggap telah mengkhianati identitas masyarakat Yogya.

Mengenai yang pertama, jelas sangat kentara. Orang mulai merasa malu berpikir tentang kearifan lokal yang dianggapnya hanya takayul. Beberapa dosenku di kampus juga mengatakan hal serupa. Masyarakat kita memang telah keblinger dengan modernisasi.

Merasa telah kuliah di luar negeri, lalu berpikir kearifan nenek moyang itu tak benar. Semuanya terlalu menggilai empirisme, dan keilmiahan. Yayaya, mungkin aku saja yang kurang intelek...

Ya ndak papa dibilang nggak intelek. Tapi ternyata memang benar adanya ramalan para leluhur, akan datang zaman kalabendu. Di mana bangsa ini kocar-kacir dirundung bencana. Sekali lagi ini mengingatkan bahwa tak semuanya harus rasional dan empiris....

Lalu kehancuran Ambarukmo Plaza dan Saphir Square seperti mengingatkan kembali masyarakat Yogya, untuk kembali ke identitasnya semula. Tentang impian orang akan masyarakat yang sederhana, dan tanpa hura-hura.

Ini sekaligus mengingatkan pada tulisanku yang lalu “Histeria ala Yogya”. Ya..., ternyata histeria itu tak bisa berlanjut... Padahal dua hari sebelum gempa aku masih menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa histerianya para muda-mudi Yogya begitu antusias untuk mengantri di depan bioskop Ambarukmo Plaza, meski baru akan dibuka sejam lagi.

Sekarang histeria itu hanyalah kenangan. Mereka yang ingin menikmati film ya harus cukup puas dengan menyewa DVD bajakan di tempat persewaan yang berjajar sepanjang jalan.

Terkadang..., sesuatu itu sepertinya terjadi begitu kebetulan... tapi aku kok bukan golongan yang percaya bahwa semuanya serba kebetulan. Semua peristiwa itu mempunyai sebab dan kaitan dengan masa lalu. Suatu momen tak akan bisa berdiri sendiri, dia berkait dengan masa lalu, dan dia adalah embrio yang akan menggambarkan masa depan.

Semoga saja, gempa yang terjadi bukan hanya mampu membuat kita meratapi tentang betapa banyaknya kerusakan, dan begitu banyaknya korban. Tapi juga merenungi banyak hal lainnya, terutama tentang kearifan lokal yang selama ini sering disepelekan.

Ingatlah leluhur kita bukanlah orang bodoh. Mereka mungkin tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, dan bergelar kesarjanaan. Tapi mereka mempunyai pengetahuan dan pandangan yang tak kalah dengan generasi sekarang.

Sekali lagi perlu dicamkan keilmuan hanyalah satu bagian dari cara memperoleh pengetahuan. Ada banyak cara lainnya, yang terkadang kita terlalu angkuh untuk mengakuinya. Dan merasa diri kitalah yang paling benar, dan paling hebat.....


Yogyakarta, 070606

Sunday, June 04, 2006

Pelajaran Dari Seorang India…

Beberapa hari yang lalu, aku menjadi penerima tamu beberapa mahasiswa National University of Singapore (NUS) yang dating ke MM UGM. Banyak pelajaran sebenarnya yang aku dapat dari obrolan dengan mereka. Namun satu hal yang masih terngiang di telingaku.

Seorang mahasiswa NUS yang berasal dari India, memberikan komentar, atau kritik pedas tepatnya. Kira-kira begini komentarnya, “Kita semua berbicara tentang Asianisasi dan mengalahkan Amerika. Tapi bagaimana mungkin, kalo tidak menguasai bahasa Inggris. Di Indonesia saya tidak menemukan koran berbahasa Inggris. Orang Indonesia juga tidak bisa berbahasa Inggris. Ya kalian memang bahasa Inggris (mengacu pada presentasi mahasiswa MM UGM). Tapi bahasa Inggris kalian tidak dimengerti oleh orang Amerika”.

Perkataan itu memang sangat berani. Apalagi buat orang Yogya, mungkin ini bisa dianggap penghinaan. Namun aku justru merasa tersentil dengan kritiknya. Iya juga ya..., apakah bahasa Inggrisku dimengerti oleh orang asing selain orang Indonesia???

Saat itu aku memang tidak presentasi (ini bukan pembelaan, memang benar adanya). Namun kritik orang India itu memberikan peringatan keras bagi diriku sendiri. Aku tidak bisa puas dengan bahasa Inggris yang kumiliki. Aku harus lebih banyak lagi belajar.

Aku harus lebih banyak lagi belajar mendengar percakapan Inggris dalam film, atau berita, atau apapun yang diucapkan oleh native speakers. Aku harus bisa membuktikan walaupun aku tidak pernah makan les bahasa Inggris, walau aku tak pernah pergi ke mana pun selain di Indonesia. Aku bisa berbahasa Inggris dengan baik. Aku harus paling tidak mirip dengan aksen orang Amerika atau Inggris.

Ini tak ada hubungannya dengan nasionalisme. Aku tetaplah si Tuhu yang orang Indonesia, dan beretnis Jawa. Tapi aku juga ingin menjadi makhluk internasional, yang tak canggung bergaul dengan siapapun. Kalau orang India bisa berbahasa Inggris dengan aksen yang bagus, kenapa aku tidak???

Aku belajar untuk tidak mencari kambing hitam dan pembelaan. Aku belajar memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada. Walaupun itu kecil, lebih baik segera digunakan. Dibandingkan aku mempunyai banyak kesempatan dan peluang, tapi kebingungan, dan akhirnya tak satu pun termanfaatkan. Ini bukan saatnya lagi berkeluh kesah Bung....


Yogyakarta, 260506

God Must Be So Nice…

Beberapa hari yang lalu seseorang memberiku uang. Ya… jumlahnya tidaklah banyak, bagi temenku itu hanya sekedar jatah bensin dua hari. Tapi buat aku, jumlah segitu sangat berharga. Apalagi bulan ini kayaknya defisit abissss, tapi kok ya..., Tuhan itu Maha Penyayang.

Sesuatu kok selalu dateng tepat pada waktunya..., sekali lagi aku diajarkan untuk pandai bersyukur. Honestly saat menerima sejumlah uang itu aku menangis terharu. Berjingkrak layaknya seorang anak kecil yang baru pertama kali diberi uang saku.

Bukan hanya uang sejumlah itu sangat berharga buat aku. Tapi aku juga merasa tersanjung, begitu banyak orang yang memperhatikan aku. Begitu banyak orang yang mengasihi aku...

Dan juga tentunya yang tak kalah penyayang adalah kedua orang tuaku. Aku yakin, aku menerima banyak pertolongan tak terduga, karena kebaikan orang tuaku di masa lalu. Aku sendiri gak merasa aku adalah orang yang baik hati dan dermawan. Aku mendeskripsikan diriku sebagai monster jahat yang egois. Semoga aku segera belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, aminnnn.

Dari sini aku belajar ternyata sesuatu yang terjadi saat ini, tak akan pernah lepas dengan peristiwa masa lalu. Ada begitu banyak hal yang terjadi, tapi itu semua bukan serba kebetulan. Jalinan masa lalu, akan mempengaruhi jalan ke depan.

Dan aku sangat patut berterima kasih pada orang tuaku. Kebaikan mereka ternyata berbuah padaku. Jujur saja dulu aku merasa, orang tuaku kok maksa banget ngebantuin orang lain. Aku pikir apa untungnya??? Kadang juga merasa cemburu kok kayaknya orang lain lebih sering dibantu dibanding anaknya sendiri.

Ternyata perkataan itu benar adanya. Mereka selalu berujar, ”ehhh sapa tahu nanti anakku kalo kesusahan ada juga yang membantu”. Ehhhmmm ternyata aku kadang memang kelewatan. Maafkanku Bapak, Ibu... kadang aku memang kelewat mencurigai banyak hal. Padahal yang memetik untungnya adalah aku.


Yogyakarta, 260506