Monday, October 08, 2007

"Hubbu", antara Dunia Pesantren dan Kejawen


Novel ini adalah pemenang Penghargaan Sastra GKJ 2006, ditulis oleh Manshuri. Saat membaca ringkasan ceritanya, langsung aja tertarik. Apalagi desain sampulnya sangat unik. Walaupun desain sampul yang unik, bukan berarti isinya pasti bagus. Tapi paling tidak, itu menarik orang untuk mengambil, dan mencari tahu lebih lanjut.

Novel ini, mengangkat tema yang sangat unik. Karena jarang sekali novel Indonesia mengangkat tema dunia pesantren. Tokoh utamanya adalah Jarot, atau Abdul Sattar. Dia lahir dari keluarga santri yang sangat kolot, di sebuah desa, di daerah Jawa Timur. Saking kolotnya, digambarkan Jarot dipukul, dan dihukum hanya gara-gara ikut nonton pertunjukan wayang yang dianggap haram.

Jarot akhirnya memberontak dengan ketatnya ajaran pesantren. Dia tertarik untuk mempelajari dunia luar. Pertama yang dirambah adalah dunia kejawen, dengan segala mistiknya. Lalu Jarot remaja memilih kuliah di Surabaya yang merupakan representasi kota besar, dengan tata nilai yang jauh berbeda. Di sini Jarot mulai belajar lebih banyak tentang pemikiran Barat, termasuk di dalamnya Postmodernisme, Marxisme, dan Teori Kritis. Karena dalam salah satu bagian, diceritakan Jarot fasih berdebat tentang Derrida, Max weber, Gayatri Spivak dll.

Novel ini mengikuti alur yang sangat carut-marut. Ada sudut pandang pertam, kedua, dan ketiga. Namun memang sangat pas untuk menggambarkan konflik batin seorang anak manusia yang terjepit antara dua identitas Islam dan Jawa.

Satu hal yang menarik menurut aku dari novel ini adalah, obsesi penulis yang ingin mencari titik temu antara Kejawen dan Islam, yang selama ini sepertinya ada tembok yang begitu tinggi. Namun sayangnya, pertemuan itu pun tampaknya masih menggantung, atau sengaja dibiarkan begitu agar pembaca mencari jawabnya sendiri???

Mengutip hasil penelitian dari Clifford Geertz, tentang pengelompokan masyarakat Jawa yang dibagi menjadi tiga, yaitu Abangan, Priyayi, dan Santri. Nah di sini, novel ini sepertinya mencoba mengangkat konflik batin akut, Jarot, yang seorang Santri, tapi ingin belajar lebih banyak tentang Kejawen.

Ini berarti dia akan masuk ke ranah kaum Abangan yang dianggap musyrik, karena walaupun memeluk agama Islam, tapi masih mempraktekkan ilmu kebatinan, mistik, dan beberapa peninggalan ajaran Hindu.

Hmmm, tampak banyak perenungan lain dari novel ini. Very recommended lah untuk dibaca. Pas banget dengan ulasan, di sampul buku ini. Bahwa karya ini menjadi pemenang penghargaan GKJ, karena karya ini sangat lengkap,dan kaya.


Jakarta, 081007
Bentar Lagi Pulang...

No comments: